Pelecehan Seksual

Sori Kawan-Kawan, LinkedIn Bukan Tempat Cari Jodoh

Emangnya belum cukup pakai Tinder?
Ilustrasi tangan jahil menarik baju perempuan di Linkedin

Katanya hidup jauh lebih mudah di era modern, tapi sepertinya ini enggak berlaku dalam urusan percintaan. Sebagian besar dari kita sekarang mencari pacar lewat aplikasi kencan online. Sayangnya, rajin swipe kanan bukan berarti akan lebih cepat menemukan yang cocok. Terkadang kita match sama orang yang ngebosenin dan garing abis. Jika sudah sampai tahap ketemuan, hubungannya belum tentu klop. Mau tak mau kita harus mencari yang baru.

Iklan

Enggak itu saja. Ada risiko akun medsos dikepoin teman kencan yang di- ghosting sama kalian. Misalnya, mereka tiba-tiba menanyakan kabar di LinkedIn, kayak pengalaman pribadiku.

Aku match sama perwira Marinir Kerajaan di Bumble satu setengah tahun lalu. Tubuhnya tinggi tegap; tampan bagaikan Pangeran Eric. Aku naksir berat dengannya, tapi hubungan kami kandas setelah aku pindah ke London dan dia kembali bertugas. 16 bulan setelah nomorku dihapus, dia menambahkanku sebagai koneksi di LinkedIn.

Isi pesannya sok puitis, sengaja biar mendapat perhatianku. Dia beralasan enggak pernah menghubungiku lagi karena kehapus. Dia menyesal sudah memperlakukanku dengan buruk, dan ingin membuktikan kepadaku lelaki macam apa dia sebenarnya. (Tapi dia enggak pernah menampakkan batang hidungnya.)

Mencari jodoh di jejaring sosial profesional rupanya sedang ngetren belakangan ini. “Kencan modern bisa sangat menantang,” tutur Meredith Golden, ghostwriter biodata aplikasi kencan. “Kebanyakan orang kurang pintar memanfaatkan gadget mereka.”

Pengalamanku dengan sang perwira untungnya masih dalam batas wajar. Tak seperti aku yang cepat move on, Nicki Donohoe berhadapan dengan sisi tergelap pencarian jodoh di LinkedIn. MUA asal London itu rutin menerima pesan genit dari lelaki tak dikenal. Mereka akan marah jika pesannya enggak dibalas. Beberapa menyuruhnya “santai aja kali”, sedangkan lainnya mengambil langkah lebih ekstrem. “Ada cowok yang mengancam akan memerkosa di gang kecil dan membunuh orang tuaku. Dia menggunakan nama Harry Potter.”

Iklan

Sebagian lelaki mempelajari profil LinkedIn kenalan sebelum kencan. Nicki Rodriquez, eksekutif PR dari Essex, bercerita mantan kekasih sudah tahu banyak tentang dirinya bahkan sebelum dikenalkan teman. Rupanya dia mengunjungi profil LinkedIn Nicki, dan enggak terima kepribadian Nicki tak sesuai dengan yang dibaca di internet. “Laki-laki lebih suka menggali tentang kehidupanmu dari jejaring sosial ketimbang aplikasi kencan. Perempuan harus menyadari betapa berbahayanya ini.”

Beberapa perempuan enggak membiarkan begitu saja pesan misoginis yang mereka terima. Pada Mei 2019, jurnalis Talia Jane buka-bukaan soal pelecehan seksual yang dialaminya di internet. Dia menjabarkan dalam utas Twitter bagaimana pesan yang awalnya bersifat profesional mendadak berubah jadi menyeramkan. Setelah berpura-pura menawarkan pekerjaan, pengirim pesan mengatakan “ada cum di wajahnya”. Talia awalnya terkejut setengah mati, baru kemudian menyadari seperti inilah realitas hidup perempuan.

LinkedIn message interface

Laman pesan pribadi LinkedIn.

Talia mengekspos namanya setelah lelaki itu berjanji akan menyumbangkan $1.000 (Rp14 juta) ke organisasi perempuan jika identitasnya dirahasiakan. Orang itu diskors setelah Talia melaporkannya ke redaktur pelaksana. “Bagi saya, melakukan perubahan sistemik lebih penting daripada membiarkannya begitu saja,” ujarnya.

Perilaku tak tahu diri ini enggak bisa dibenarkan. Namun, tren ini kemungkinan disebabkan oleh ketidakseimbangan gender. Studi yang diterbitkan Ogury menunjukkan jumlah pengguna laki-laki di Tinder lebih banyak daripada perempuan, yaitu sembilan banding satu. Menurut laporan Statistica pada Juli tahun lalu, pengguna laki-laki di LinkedIn hanya 57 persen.

Iklan

Perempuan yang berprofesi sebagai pekerja lepas rentan menjadi sasaran, terutama ketika mereka berusaha mengembangkan bisnisnya. Tak jarang perempuan diajak kencan dengan kedok wawancara kerja. Mereka telat menyadarinya. “Sudah beberapa kali aku menerima lamaran nikah di LinkedIn. Aku bahkan pernah kencan sekali dari situ,” kata Melanie May, jurnalis perjalanan dan otomotif dari Irlandia. “Sepertinya lelaki mendekati perempuan dengan cara seperti ini karena mereka bisa banyak tahu tentang kita dari profil, dan saingannya juga sedikit.”

Walaupun Melanie enggak pernah mengalami situasi menakutkan, mencari jodoh di LinkedIn dapat membahayakan keamanan freelancer perempuan lain. Account manager lepas Alice Cousins sering diajak kenalan lewat LinkedIn sama cowok-cowok di luar bidangnya. Dia berujar, “Aku sendiri bingung tren ini muncul dari mana. Mungkin mereka kayak begini karena merasa lebih superior di LinkedIn daripada di Tinder. Tapi jujur, sikap ini bikin perempuan risi karena mereka tahu kita bekerja di mana saja.”

Pada akhirnya, tingkat pelecehan di LinkedIn mendorong munculnya jejaring khusus perempuan. Organisasi seperti BAWE (British Association of Female Entrepreneurs) memberikan bantuan untuk para wiraswastawan perempuan. Jejaring DevelopHer mendukung kemajuan perempuan di dunia teknologi. Bumble mengembangkan Bumble Bizz pada 2017, dan meluncurkan fitur khusus perempuan Maret tahun ini. “Kami sering mendengar cerita perempuan yang menerima pesan tak senonoh di platform profesional,” tutur juru bicara Bumble. “Fitur khusus perempuan Bumble Bizz bisa tercipta berkat pengguna kami. Perempuan meminta fitur ini dan kami menyanggupinya.”

Iklan

Ketika ditanyakan langkah LinkedIn melindungi pengguna perempuan, juru bicaranya menjawab: “Kami bisa dan akan memblokir keanggotaan mereka yang melanggar kebijakan LinkedIn. Kami akan menyelidiki setiap laporan, dan mengambil tindakan yang sesuai.”

Itu berarti pengguna perempuan di LinkedIn masih harus melindungi dirinya sendiri. Staf LinkedIn mengatakan untuk “mewaspadai profil yang mengandung kata-kata kotor, menggunakan nama palsu, atau menirukan tokoh publik.”

Melindungi diri memang penting, tapi akan lebih baik lagi jika platformnya aktif memberikan keamanan bagi penggunanya. Perempuan seharusnya enggak perlu menyensor portofolio mereka hanya untuk mengusir para cowok haus belaian. Tapi yah, sikap sok superior lelaki yang sudah mendarah daging enggak akan hilang begitu saja setelah mereka diblokir tim moderasi LinkedIn. Semuanya dimulai dari diri mereka sendiri. Perempuan mungkin akan lebih menghargai keterampilan profesional mereka kalau laki-laki berhenti memprioritaskan egonya.

@jj_phillips1

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK