Minuman Beralkohol

Daerah-Daerah dengan Tradisi Miras Lokal Menolak RUU Larangan Minuman Beralkohol

Pengusul RUU itu kata warga seakan berniat menghapus budaya NTT. Sementara anggota DPRD dari Bali menilai RUU minol bertentangan dengan kebhinekaan Indonesia.
NTT dan Bali menolak RUU larangan minuman beralkohol yang dibahas DPR RI
Foto tuak [kiri] oleh Rizky Rahadianto/VICE; Ilustrasi ciu oleh Umar Wicaksono. Kolase oleh VICE

Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol oleh Badan Legislasi DPR pekan ini terus memicu pro dan kontra. Beberapa perwakilan legislatif daerah dan warga di wilayah yang memiliki tradisi minuman alkohol khawatir beleid tersebut dapat merusak keberagaman Indonesia.

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Marius Ardu Jelamu menilai, jika sampai disahkan, maka RUU larangan konsumsi minuman beralkohol itu bisa mengancam kelangsungan budaya daerahnya. NTT dikenal memiliki tradisi pembuatan minuman tradisional seperti sopi atau tuak. Naskah RUU itu sejauh ini masih spesifik melarang sopi diproduksi, didistribusikan, disimpan maupun dikonsumsi oleh masyarakat.

Iklan

Dalam Pasal 4 Ayat 2 ada definisi minuman beralkohol tradisional sebagai hasil olahan dari “pohon kelapa, enau atau racikan lainnya, seperti: sopi, bobo, balo, tuak, arak, saguer atau dengan nama lain”. Padahal, di Flores, warga lokal menyebut sopi atau tuak sebagai air kekeluargaan dan bersifat sakral. Mereka hanya mengonsumsinya ketika ada tamu penting atau acara adat khusus.

“Sehingga kalau mereka mau membuat RUU itu berarti mereka mau menghapus budaya NTT,” kata Marius kepada Kompas. Selain berdampak langsung terhadap kebudayaan, pemerintah daerah juga resah terhadap efeknya secara sosial dan ekonomi. Pasalnya, tak sedikit penduduk di sana yang menggantungkan hidup kepada pembuatan dan penjualan sopi atau tuak.

“Sulit kalau itu dihilangkan. Ini adat leluhur. Mau presiden datang atau jenderal, pasti dijemput secara adat dan disuguhi tuak putih, termasuk ayam jantan putih simbol kemurnian warga dalam menyambut tamu,” tutur warga Flores bernama Marselus Jamitan Radi kepada Media Indonesia.

Protes juga muncul dari anggota legislatif di Provinsi Bali yang keberatan dengan konsep RUU Larangan Minuman Alkohol. Perekonomian dan pariwisata di Pulau Dewata sangat erat kaitannya dengan minuman beralkohol, apapun jenis dan kadarnya.

“Kajian akademisnya [RUU Minol] sepertinya terlalu dangkal, Bali pasti menolak,” ujar Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali AA Ngurah Adi Ardhana kepada Kumparan. “Kita itu negara kesatuan yang dibangun di atas kebhinekaan, apalagi ada potensi ekonomi yang terlibat di dalamnya.”

Iklan

Dalam draf yang diunggah di situs resmi DPR RI disebutkan bahwa ada pengecualian yang memungkinkan minuman alkohol tetap diproduksi atau disajikan. Ini tercantum dalam Pasal 8 yang menyebut alkohol mendapat lampu hijau untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh Undang-undang.

Dalam bayangan pengusul RUU ini, wisatawan harus menunjukkan KTP atau kartu identitas yang setara untuk menunjukkan agamanya mengizinkan konsumsi minuman beralkohol. Namun pengecualian di pasal 8, termasuk untuk adat dan acara keagamaan, tetap bertentangan dengan pasal 4 maupun pasal 19 yang mempidanakan penyimpanan segala jenis alkohol, termasuk minuman lokal seperti tuak, sopi, atau brem.



Lebih lanjut, menurut Ardhana, DPR seharusnya tidak mengunggulkan keinginan satu kelompok saja dan mengorbankan kepentingan yang lebih besar, termasuk masyarakat adat. Ia pun menyarankan agar Senayan fokus pada pengendalian minuman beralkohol, bukan pelarangan. 

Komentar Adi Ardhana itu berkaitan dengan latar belakang adanya usulan RUU Larangan Minuman Alkohol yang disodorkan oleh PKS, PPP dan Gerindra. Ketiga partai tersebut memakai hukum dalam Islam untuk mengatur semua penduduk Indonesia, tidak peduli apa agamanya. 

Salah satu poin dalam usulan dengan jelas menyebutkan “setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual dan mengkonsumsi larangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan yang memabukkan”.

Iklan

Pernyataan anggota Fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal secara eksplisit menegaskan ada andil keyakinannya pribadi sebagai Muslim dalam usulan RUU itu. Ia mengutip surat Al-Maidah ayat 90-91 yang menyarankan Muslim menjauhi “perbuatan keji” di mana salah satunya merujuk kepada minuman keras.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali Nyoman Sugawa Korry berpendapat keinginan untuk meloloskan RUU itu tidak adil terhadap daerahnya. “Bali sebagai daerah pariwisata, kebutuhan dan konsumsi minuman beralkohol tidak bisa dihindari,” tegasnya.

Ia menambahkan,”RUU tersebut hendaknya tidak merugikan daerah-daerah yang tergantung ekonominya dari pariwisata. Di samping pula di Bali ada kewajiban-kewajiban keagamaan yang menggunakan alkohol (arak/brem). Ini juga harus mendapatkan perhatian dan atensi.”

Lembaga swadaya seperti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pengusul RUU minol tidak memiliki argumen yang kuat untuk mendorong pelarangan konsumsi alkohol di Tanah Air. Sebab, konsumsi alkohol di Indonesia hanya 0,8 liter per kapita, jauh di bawah rerata negara Asia Tenggara lainnya. Selain itu, tudingan konsumsi alkohol mendorong kriminalitas, angkanya justru sangat kecil, cenderung kasuistik, dalam penelitian yang dibuat oleh Pusat Kajian Kriminologi FISIP Universitas Indonesia.

Di sisi lain, kendati konsumsi alkohol tidak besar, namun pemasukan negara dari cukai minol cukup signifikan. Pemasukan dari cukai minuman beralkohol mencapai Rp7,3 triliun sepanjang 2019.

Sementara kepemilikan saham Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di perusahaan produsen minuman beralkohol PT Delta Djakarta Tbk tercatat naik jadi 58,33 persen pada November ini. Jumlah tersebut bertambah 32,08 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. Kini, pemerintah Jakarta mempunyai total 467.061.150 lembar saham dalam pabrik bir tersebut.