Wawancara

Mira Lesmana Bicara Soal Sensor dan Posisi Perempuan di Industri Film Indonesia

Di momen Hari Perempuan Internasional, produser kenamaan ini membahas perlunya perbaikan kondisi bagi pekerja film perempuan di Tanah Air, terutama usai pengakuan pahit Mian Tiara mengemuka.
Untitled design - 2020-03-08T112454
Potret Mira Lesmana dari arsip Netflix Indonesia.

Karir Mira Lesmana adalah wajah industri film Indonesia yang perjalanannya dipenuhi gelombang dinamika: mulai dari debat politik, pengembangan industri, hingga munculnya ruang buat isu perempuan. Nama Mira eksis di industri film mulai dekade 1990-an, ketika ia merintis berdirinya rumah produksi MILES FILMS. Salah satu pencapaian penting mereka pada saat itu ialah serial dokudrama Anak Seribu Pulau yang ditayangkan di stasiun tv swasta Indonesia.

Iklan

Saat Mira mulai membangun reputasinya, Orde Baru masih berkuasa, kendati memasuki fase senjakala. Meski begitu, taring rezim tiran Soeharto ini tetap buas menyasar segala aspek kehidupan. Di industri film, taring tersebut muncul dalam rupa sensor━dan segala peraturan ketat lain yang membatasi kreasi para sineas.

Kondisi tersebut bikin Mira jengah dan karenanya ia memutuskan melawan. Pada 1995, bersama sutradara Riri Riza (yang kelak jadi kolaborator jangka panjangnya), Rizal Mantovani, dan Nan T. Achnas, Mira membuat omnibus bertajuk Kuldesak. Selama kurang lebih tiga tahun, mereka memproduksi film ini secara independen dan sembunyi-sembunyi agar tak kena ciduk Departemen Penerangan.

Enam bulan usai Orde Baru tumbang, Kuldesak dirilis di kota-kota besar seperti Jakarta sampai Surabaya, mencatat box office, sekaligus disebut-sebut menjadi titik bangkit industri perfilman lokal yang sempat mati suri satu dekade sebelumnya karena bioskop dianggap kalah bersaing dengan televisi.

JB Kristanto, dalam ulasannya di Harian Kompas pada 5 Desember 1998 (yang kemudian disertakan dalam buku Nonton Film Nonton Indonesia) menulis bila Kuldesak menjadi produksi film yang berbeda dari film-film Indonesia terdahulu. Para pembuat Kuldesak, terang JB Kris, "boleh dibilang berangkat tanpa gagasan, atau kalaupun ada, gagasan kecil dan remeh."

"Mereka hanya ingin lain dan sangat menikmati membuat film tanpa beban gagasan, tradisi, sekat-sekat negara, dan sebagainya, hingga bahasa, idiom, bisa diambil dari mana saja."

Iklan

Sejak itu, jalan Mira terbuka lebar ke industri film, namun dia berganti peran menjadi produser. Tangan dinginnya di lini produksi menghasilkan sederet film yang banyak menarik minat penonton terhadap film dalam negeri, sebagian bahkan sudah menempati posisi legendaris di genrenya. Mulai dari Petualangan Sherina (2000), Ada Apa Dengan Cinta (2002), Gie (2005), Laskar Pelangi (2008), hingga Athirah yang memborong enam Piala Citra pada hajatan Festival Film Indonesia (FFI) 2016.

VICE atas undangan dari Netflix Indonesia dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional 2020, berkesempatan berbincang dengan Mira. Netflix memilih Mira terlibat bersama 55 tokoh perempuan industri hiburan dari berbagai negara dalam kurasi film "Because She Watched" yang tayang di layanan streaming itu sejak 4 Maret 2020. Kami membicarakan posisinya sebagai perempuan di industri film dalam negeri, gelombang semangat #MeToo yang menguak adanya skandal serupa di perfilman Indonesia, sampai harapan-harapan yang terus dia rawat soal posisi perempuan dalam jagat sinema.

Berikut petikannya:

VICE: Anda oleh kritikus disebut bagian dari "Indonesian New Wave". Salah satu kredonya memperjuangkan ekspresi visual yang lebih murni dan bebas, serta menentang sensor. Dua dekade reformasi, kebijakan sensor masih ada. Apakah sensor masih menjadi hambatan bagi sineas Indonesia berkarya sekarang?
Mira Lesmana: Menurut saya, ini [sensor] adalah battle yang cukup panjang. Ada dinamika yang muncul mengiringinya. Bisa dibilang, ada masa ketika [industri film] sedikit lebih maju. Ada juga bagian ketika ini mundur. Contohnya adalah waktu dulu kita maju sampai Mahkamah Konstitusi meminta sensor dihilangkan dari ketentuan Undang-Undang Perfilman, berdasarkan prinsip-prinsip free speech, di mana kebebasan berekspresi harus didukung secara penuh.

Iklan

Ini sebetulnya sudah ada di [ranah] pers, tapi memang di film ketinggalan. Mengapa ketinggalan? Karena, pada dasarnya, pertumbuhan industri [film] sendiri pada saat itu perlahan. Walaupun kalah di MK dan sensor masih ada, muncul satu opini [dari MK] yang membenarkan bahwa itu [sensor] memang kedaluwarsa sekali. Di era sekarang, sensor sebetulnya tidak lagi memotong adegan. Yang mereka lakukan adalah memberi klasifikasi. Ini sesuai dengan tujuan kita dulu di mana sensor memang idealnya seperti itu. Ada klasifikasi yang ditujukan untuk menjaga anak-anak dari tontonan yang memuat violence maupun sexual content. Karena inti dari sensor adalah perlindungan anak-anak.

Tapi, tidak bisa dipungkiri, mereka [Lembaga Sensor Film] punya kekuatan yang berlebihan. Mereka bisa mengatakan "film ini tidak bisa diputar." Sayangnya, kekuatan tersebut meluas sampai eksternal di mana sekarang sering kita jumpai kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama dan moral menekan sebuah film tertentu harus diturunkan, sekalipun film bersangkutan sudah lulus sensor. Kejadian-kejadian seperti ini banyak bermunculan dan mudah sekali dilakukan sehingga menjadikan kebebasan berekspresi terancam. Bagaimana ke depannya, tentu kita harus bisa memastikan kita tidak boleh bungkam. Karena sensor-sensor semacam ini dapat memukul mundur upaya-upaya yang telah dilakukan dalam kurun waktu lama.

Di tengah kian sulitnya kita membicarakan hal-hal yang berlawanan dengan sensor, saya masih lega dan bersyukur ketika film Mas Garin [Kucumbu Tubuh Indahku, 2019] masih tetap dipertahankan, diputar di bioskop-bioskop, menang di festival, dan berkeliling dunia. Bagi saya, ini sebuah pernyataan yang tajam.

Iklan

Industri film—di mana saja—punya masalah soal keterwakilan perempuan. Seperti apa kondisinya di Indonesia merujuk pengalaman anda pribadi?
Sebetulnya, waktu dulu memulai pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, perempuan menggiring roda produksi di industri film. Ada saya, Nia Dinata, Nan T. Achnas, sampai Christine Hakim. Di televisi pun juga sama saja. Banyak perempuan yang jadi penggerak produksi. Perbedaannya antara dulu dan sekarang adalah saat ini filmnya semakin banyak, tapi male dominated-nya juga kian tinggi. Ada tendensi [pria] merasa terancam [dengan kehadiran perempuan]. Ini tidak bisa dilepaskan dari sistem produksi era dulu yang kebanyakan produksi independen. Sekarang, sistem [produksi] studio makin tumbuh, yang dibarengi dengan male dominated. Karena ada anggapan studio itu tempatnya laki-laki. Ini yang bikin terganggu. Makanya, kita harus lebih hati-hati dan perbanyak karya dari filmmaker independen.



Sementara di saat bersamaan, dalam kurun empat tahun terakhir, dengan makin naiknya angka penonton [di bioskop-bioskop], saya melihat ada juga prestasi yang dihasilkan perempuan. Banyak film yang dihasilkan oleh perempuan mencatat box office. Ada film saya Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016), filmnya Lala Timothy yang Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (2018), atau Perempuan Tanah Jahanam (2019) yang diproduseri Tia Hasibuan dan Shanty Harmayn.

Itu baru di ranah produksi. Di kursi penyutradaraan pun banyak bermunculan sineas-sineas perempuan yang menjanjikan. Ada Upi Avianto [My Stupid Boss, My Generation] maupun Gina S. Noer [Dua Garis Biru]. Ini membuktikan dalam empat sampai lima tahun terakhir, ada momentum bagi perempuan untuk berkontribusi pada kekayaan film Indonesia.

Iklan

Inisiatif apa lagi yang sekiranya bisa dilakukan agar industri perfilman di negara ini semakin ramah untuk siapa saja—terkhusus perempuan?
Ada anggapan film sangat fisik karena diisi banyak laki-laki. Bagi saya, itu bukan hal yang mencemaskan selama mereka menghormati keberadaan perempuan dan memberikan perempuan ruang berkarya. Problemnya adalah di sudut pandang dan film-film yang dihasilkan. Itu yang bisa jadi sangat berbahaya. Sederhananya, semakin banyak value dan sudut pandang yang hanya berorientasi pada kedudukan laki-laki, maka value dan posisi perempuan semakin sempit. Ini akan beda hasilnya jika keberadaan perempuan makin banyak. Hasilnya adalah film dengan banyak tema, yang tidak sekadar berbicara tentang ke-macho-an laki-laki. Ini yang mesti kita jaga.

Anda memilih Roma untuk kurasi "Because She Watched" di Netflix. Apa pertimbangan yang melatarinya? Adakah isu dari film Alfonso Cuarón itu yang memiliki irisan dengan kondisi di Tanah Air?
Saya pilih Roma karena film ini secara indah dan realistis menunjukkan solidaritas sesama perempuan dan betapa dengan saling mendukung satu sama lain, perempuan bisa menemukan kekuatan untuk menghadapi rintangan apa pun. Selain itu, karakter yang memiliki kekuatan dan kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan hidupnya, menjunjung tinggi nilai harga diri dan keberanian, serta tidak takut untuk menjadi diri sendiri adalah karakter yang patut dicontoh dan menjadi inspirasi perempuan muda.

Iklan

Pada 23 Januari 2020, aktor Mian Tiara, lewat utas di Twitter, bercerita ihwal pelecehan seksual yang dialaminya dari "seorang aktor senior”"dalam proses syuting film pendek. Mian sempat menahan diri tak bersuara, sebab trauma dan memikirkan konsekuensi yang akan ia peroleh, sebelum akhirnya mau diwawancarai tiga media: Tirto, The Jakarta Post, dan Magdelene dalam forum terbatas.

Gerakan #MeToo beresonansi sekaligus efek yang besar bagi perbaikan hak dan keamanan lingkungan kerja perempuan di Hollywood. Bagaimana dengan Indonesia, terlebih setelah kasus Mian Tiara mengemuka?
Menurut saya, persoalan ini harus terus dibicarakan, tak sekadar sesama perempuan, tapi juga di kalangan pria. Kita sama-sama memastikan kondisi aman dapat diciptakan. Berbicara soal sexual harrasment, tentu melibatkan posisi pelaku yang biasanya cukup powerfull. Posisi itu, secara langsung atau tidak, membuat perempuan jadi diam dan takut dipermalukan. Alhasil, yang muncul adalah pertanyaan yang justru menyudutkan korban; “Mabuk enggak?” atau “Kamu pakai baju apa?

Setiap kasus yang muncul, pasti perempuan yang lebih dulu dipertanyakan.

Dari #MeToo, kita belajar untuk menghapus keadaan semacam ini. Dari #MeToo pula kita bisa melihat bagaimana upaya kolaboratif lahir dalam membantu menciptakan keamanan untuk pekerja perempuan di industri perfilman. Upaya kolaboratif ini nanti yang menjadi pelindung bagi korban atau perempuan dari serangan balik seperti pencemaran nama baik.

Ini juga yang nantinya bekerja secara bersama dalam mencari siapa predator [seksual] yang ada, mencatat namanya, dan memastikan pelaku tidak punya akses lagi ke dalam industri film, selain juga berusaha mengumpulkan bukti dan saksi. Kita sama-sama berbagi [informasi] dan memasang warning system agar kejadian semacam ini tidak terulang. Ketika berbicara di industri film, maka kita bisa mengawalinya dengan menciptakan ruang yang aman di film set. Andaikata peristiwa [pelecehan atau kekerasan seksual] terjadi, kamu punya tempat berlindung dan bercerita. Kalau ada yang melihat [peristiwa serupa], maka harus segera dilaporkan. Sembari jalan, kita dapat memberikan empowerment, enlightenment, tentang apa yang harus perempuan ketahui. Dan yang terpenting adalah bahwa mereka enggak sendirian.

Apakah kesadaran semacam itu sudah ada di industri film kita?
Sekarang ini sudah mulai bermunculan. Sebelum [kasus] Mia, [kekerasan seksual] sebetulnya sudah sering dibicarakan. Tapi, yang ada justru pemakluman. “Biasalah, itu cowok-cowok cuma becanda di set.” Semakin lama, kesadaran itu semakin tumbuh. Setelah Mia, muncul beberapa orang yang punya pengalaman yang sama. Dari sini, saya percaya, suaranya tambah besar.