seksisme

Membalas Pameran Seksis, Perempuan Tiongkok Menilai Penis Seniman Lelaki Pakai Skor

Seniman bernama Song Ta menilai penampilan ribuan perempuan tanpa izin. Para perempuan balas mengejek ukuran penis seniman bersama kawan-kawan lelakinya yang seksis.
Emoji terung dan tangan mencubit
Ilustrasi: VICE World News

Lin Yutong, 23 tahun, menebak ukuran penis dan performa seks 14 seniman laki-laki ternama di Tiongkok berdasarkan dimensi wajah dan jari mereka.

Dia berniat membalas Song Ta, seniman yang diam-diam merekam 5.000 mahasiswi di sebuah kampus lalu menilai penampilan mereka. Song menggabungkan seluruh rekaman menjadi video berdurasi tujuh jam yang diberi judul “Uglier and Uglier”. Skornya terpampang besar di bagian bawah video.

Iklan

Proyek tersebut sebetulnya sudah dirilis pada 2013, tapi mengundang kontroversi setelah diputar dalam pameran seni museum Shanghai baru-baru ini. Netizen Tiongkok marah besar karena seniman tersebut dianggap melanggar privasi para mahasiswi dan melanggengkan objektifikasi pada tubuh perempuan.

Kecaman demi kecaman yang diterima pihak museum memaksa mereka menghentikan pameran Song Ta, sekaligus melayangkan permintaan maaf ke publik pada awal Juni 2021.

Reaksi keras terhadap “karya seni” Song menandakan perempuan Tiongkok semakin berani melawan seksisme dan pelecehan yang mereka terima sehari-hari. Namun, tindakan agresif seperti mempermalukan kelamin laki-laki dinilai dapat memperparah kebencian dalam debat gender yang semakin panas di sana.

Dalam karya Lin berjudul “Pedoman Mengenali Sayuran”, para seniman laki-laki dipasangkan dengan jenis sayuran yang dianggap mirip penis mereka. Contohnya, Song mendapat skor 68 dari 100 dan penisnya disamakan dengan terung. Seniman dan aktivis politik Ai Weiwei memperoleh skor 56,2 dan gambar ubi jalar.

Karya seni 'Uglier and Uglier" Song Ta (kiri) dan gambar terung (kanan)

Lin Yutong memasangkan karya seni Song Ta ‘Uglier and Uglier’ (kiri) dengan foto terung. Foto: Lin Yutong

Lin menjelaskan dalam catatan kaki, para seniman yang lolos mendapat skor di atas 60, sedangkan mereka-mereka yang nilainya tak sampai 50 berarti penis mereka “jelek banget”. Skor terendah dari ke-14 lelaki itu adalah 47,8.

Song dan Ai tidak menanggapi permintaan VICE World News untuk berkomentar.

Karya seni Ai Weiwei (kiri) dan gambar ubi jalar (kanan).

Karya seni Ai Weiwei (kiri) dipasangkan dengan foto ubi jalar. Foto: Lin Yutong

Perempuan yang tinggal di Fuzhou, kota di bagian tenggara Tiongkok, menyebut karyanya menawarkan perspektif baru dalam objektifikasi tubuh perempuan. Sementara laki-laki dengan santai ngomongin ukuran payudara dan vagina, perempuan hampir tidak pernah membahas penis laki-laki. Bahkan dengan teman dekat sekali pun, Lin mengatakan perempuan jarang membicarakan genital.

Iklan

“Kami mengobjektifkan laki-laki karena sudah mati kutu,” tutur Lin, lalu menambahkan dia tidak memiliki masalah pribadi dengan seniman-seniman tersebut. “Saya sadar ini tidak dapat mendekatkan kita pada kesetaraan, tapi bisa memulai diskusi tentang itu. Setidaknya saya tidak diam saja.”

Belakangan ini, perempuan Tiongkok semakin vokal mengkritik body shaming dan misogini. Mereka sudah muak dipandang sebelah mata. Kualitas mereka hanya dinilai dari ukuran payudara, warna kulit, bentuk tubuh dan keperawanannya. Mereka kini membalas dengan mengolok-olok tubuh dan penis laki-laki.

Beberapa dari mereka memanggil laki-laki “jarum”, “tusuk gigi” dan “jamur enoki” — semuanya berarti titit kecil — untuk mengkritik sikap seksis atau ketidaktahuan laki-laki, yang menurut perempuan produk masyarakat patriarkis.

“Laki-laki selalu duduk ngangkang di kereta. Apa mereka tidak punya tempat untuk menaruh jamur enokinya?” seorang perempuan berkomentar di situs mikroblog Weibo.

“Jamur enoki ngatain orang gemuk?” bunyi komentar lain. “Kalian masih bisa menurunkan berat badan kalau gemuk. Apa lagi yang mau dihilangkan kalau kecil?”

Ketika ditelusuri pada platform media sosial seperti Weibo dan Douban, kata kunci “jamur enoki” menghasilkan ratusan postingan yang mengkritik laki-laki. Sejumlah warganet membuat analisis panjang tentang ukuran laki-laki Tiongkok yang mengecewakan bagi mereka, mengutip laporan dari penjual kondom.

Iklan

Aktivis perempuan Xiao Meili berujar, dengan menyindir alat kelamin laki-laki, banyak perempuan memprotes body-shaming yang selama ini mereka alami.

Namun, warga Chengdu ini juga beranggapan taktiknya berpotensi mempromosikan narasi yang mengaitkan maskulinitas dengan penis besar.

“Saya paham kenapa orang menyebutnya cara melawan mereka yang berkuasa,” katanya. “Perempuan tidak punya banyak pilihan untuk menyerang laki-laki. Terkadang perempuan hanya bisa memanfaatkan apa yang ada di depan kita saat marah.”

Emoji cubit dengan berbagai ekspresi

Menyindir ukuran penis sering terjadi di seluruh dunia, tapi praktik ini menjadi sangat kontroversial di negara-negara yang gerakan feminisnya menghadapi penolakan kuat dari laki-laki yang frustrasi menjadi sasaran dalam masyarakat yang penuh persaingan.

Kaum perempuan di Korea Selatan menggunakan emoji cubit untuk menghina penis kecil, sebagai bentuk memprotes ketimpangan gender. Namun, banyak laki-laki yang melihat aktivisme semacam itu sebagai agenda membenci kalangan mereka.

Di Tiongkok, para lelaki yang tersinggung menyerang aktivis perempuan karena mereka merasa feminisme telah mengobarkan perang antara dua jenis kelamin. Beberapa menuduh perempuan meremehkan lelaki Tiongkok dan lebih menyukai lelaki ras asing yang penisnya besar.

Kailing Xie, peneliti gender dan politik di University of Warwick, berpendapat sikap paling agresif di kalangan feminis — yang sering dibesar-besarkan di media sosial — dapat memicu perpecahan dan berpotensi mencoreng gerakan itu sendiri.

Dia lebih lanjut menjelaskan, penis-shaming dapat meningkatkan stereotip bahwa perempuan hanya peduli dengan ukuran penis laki-laki. Menurutnya, hal ini dapat menghambat perempuan dalam memahami pentingnya memuaskan diri sendiri.

“Memang bagus perempuan muda merasa berani untuk membicarakan seks,” ujarnya. “Tapi mempermalukan genital orang tidak akan bisa menciptakan ruang yang konstruktif dan menjembatani pemahaman.”

Follow Viola Zhou di Twitter.