Kekerasan Seksual

Niat Pemerkosa Anak di Bekasi Nikahi Korban demi Kurangi Hukuman Tuai Kecaman

Si pelaku anak anggota DPRD Bekasi itu tak hanya memperkosa, tapi juga menjual korban. Komnas Perempuan mengecam niat ini sebagai kekerasan seksual berbasis gender.
Pengacara sebut anak anggota DPRD Bekasi yang perkosa ABG ingin nikahi korban agar kurangi hukuman
Aktivis di Jakarta menggelar unjuk rasa menuntut pemerintah serius menangani kasus kekerasan seksual pada 10 Februari 2020. Foto oleh Adek Berry/AFP

Bambang Sunaryo, kuasa hukum pelaku pemerkosa anak di bawah umur berinisial AT (21) di Bekasi, resmi memberikan kontribusinya pada kompetisi opini buruk 2021. Minggu kemarin (23/5), Bambang mengungkap keinginan kliennya menikahi korban, PU (15). Doi berharap bisa bertemu orang tua korban untuk membicarakan kemungkinan pernikahan ini sebagai salah satu “jalan terbaik yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang kadung keruh”.

Iklan

Gimana, emosi sudah mulai membuncah mendengar niatan ini? Tenang, masih ada lanjutannya.

Bambang mengaku pelaku dan keluarganya sudah merestui niatan ini. “Saya juga sudah berdiskusi sama AT, saya tanya senang atau tidak sama PU [korban], dia jawab senang. Saya tanya lagi sayang apa tidak, dia jawab sayang. Lalu, saya tanya lagi, terpaksa atau tidak [untuk menikahi], lalu dia jawab tidak, tulus jawabnya,” kata Bambang kepada wartawan, dilansir Republika. Doi bahkan sudah berencana meminta dispensasi umur menikah kepada pengadilan agama apabila kedua keluarga sepakat.

Jika pembaca masih bingung apa yang dimaksud “jalan terbaik”, maksudnya adalah opsi yang paling menguntungkan untuk pelaku. Dikutip Kompas, Bambang berharap pernikahan ini bisa meringankan hukuman pelaku. “Saya berharap ini AT dan PU ini bisa kita nikahkan, kita urus ya walaupun proses hukum tetap berjalan. barangkali bisa untuk meringankan karena ini sudah terjadi,” ucap Bambang.

Rasa sayang itu nyatanya tidak lebih dari omong kosong. Kepada Kepala Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi Novrian, PU mengaku bukan hanya diperkosa AT, namun juga disekap di kamar sembari diperjualbelikan lewat aplikasi MiChat. PU menyebut ada 4-5 orang laki-laki yang berhubungan seksual dengannya dari transaksi yang dilakukan AT, dengan bayaran Rp400 ribu. Akibatnya, PU mengalami trauma berat dan dilaporkan terkena penyakit kelamin. Kini AT sedang dijerat dengan UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun.

Iklan

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) sekaligus tokoh dengan gaya rambut paling konsisten se-Indonesia Seto Mulyadi mengecam wacana pelaku menikahi korban. Ia menduga tindakan ini dilandasi niat membebaskan pelaku dari jeratan hukum pidana.

“Memang ada sebagian kasus demikian [menikah untuk bisa lepas jeratan hukum]. Mohon kepolisian harus tetap tegas dengan mengacu kepada UU Perlindungan Anak,” kata Kak Seto kepada Kompas. “Menikahnya saja sudah salah, apalagi melakukan kekerasan seksual. Apa pun alasannya, melakukan hubungan [seksual] dengan anak di bawah 18 tahun itu melanggar UU Perlindungan Anak.”

Daripada korban dibikin makin menderita dengan harus melihat wajah pelaku pemerkosa setiap hari, hal terpenting yang harus segera didapatkan korban justru adalah proses pemulihan. Namun, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi khawatir kompensasi ini bisa terwujud. Pasalnya, belum ada sistem yang mengintegrasikan prosedur hukum dan pemulihan fisik, psikologis, serta ekonomi dalam kasus kekerasan seksual. Siti menyebut polisi semestinya segera merujuk korban kepada Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) di wilayah Bekasi.

“Masalahnya, mungkin tidak banyak lembaga yang memberikan hal ini [layanan pemulihan], termasuk juga keterbatasan P2TP2A baik dari segi sumber daya manusia maupun anggaran karena belum ada mandat yang secara tegas dari undang-undang misalnya agar pemerintah daerah mengalokasikan pembiayaan untuk korban melalui P2TP2A,” ujar Siti kepada VICE dalam artikel kami sebelumnya. “Jadi sistem peradilan kita sampai saat ini belum terintegrasi dengan layanan [pemulihan] korban.”

Menanggapi niat pelaku menikahi korban, Siti menilai ini bisa jadi dasar kepolisian untuk menuntut tambahan hukuman kepada AT. “Rencana menikahi korban adalah bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, yaitu pemaksaan perkawinan yang dilarang dalam Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Itu [perkawinan] justru menambah beban trauma untuk korban dan tidak membantu proses pemulihan korban,” kata Siti kepada Kompas.