Opini

Benarkah 2020 Tahun Terburuk Sepanjang Sejarah, atau Itu Perasaan Kita Doang?

Faktanya, ada tahun-tahun di masa lalu dengan penderitaan lebih parah. Kalau kamu sampai merasa kondisi sekarang suram, ternyata ada penjelasan ilmiahnya lho.
2020 tahun terburuk berdasar data sejarah dan penjelasan ilmiah
Ilustrasi anak muda depresi [kiri] via Pixabay; ilustrasi kalender meja via Unsplash

Mungkin, kelak, beberapa teman seangkatan kita bakal ngomong gini ke anaknya: "Nak, kamu tuh lahir pas zaman susah."

Terus si anak ngejawab, "Nabi Muhammad juga lahir pas zaman susah sampai semua orang lebih inget beliau lahir di Tahun Gajah ketimbang angka tahunnya." Teman kita bakal mengutuk si anak sebagai "enggak mau ngerti apa yang dulu dirasain ortunya."

Tapi serius, beneran enggak sih 2020 emang the worst year ever?

Iklan

Bau-baunya enggak. PSBB masih enggak seberapa dengan teror 1965-1966 di Indonesia, ketika orang hati-hati banget untuk keluar rumah karena pembantaian sedang terjadi di mana-mana. Covid-19 juga bukan pandemi paling istimewa untuk tahun yang luar biasa. Data mengatakan, sejak 1996, setiap tahun kita lalui bersama pandemi yang bergantian muncul di muka bumi. Yang artinya, kita udah diberi 24 tahun bersiap-siap, serta Bill Gates bukan cenayang (tapi kalau mau disebut elit global bagian dari kaum 1% terkaya masih bisa sih hehehe). Tiga pandemi dengan korban terbanyak telah terjadi sepanjang peradaban manusia dan Covid-19 bahkan tak masuk peringkat ke-10. Nomor satu diduduki wabah cacar sepanjang 1877-1977 yang menewaskan 500 juta orang. Lalu sampar atau wabah hitam atau maut hitam, yang menerjang Eropa, Asia, dan Afrika Utara selama tujuh tahun membunuh sekitar 75 juta hingga 200 juta orang. Sedangkan flu spanyol yang belakangan disebut seolah-olah ia saudara tuanya Covid-19, ada di peringkat ketiga dengan 17 juta hingga 100 juta kematian dalam kurun 1918-1920. Yep, dua tahun saja yang meninggal segitu banyak. Kalian tahu mengapa? Flu spanyol terjadi tepat ketika Perang Dunia I (1914-1918) baru saja berakhir. Di sekujur sejarah pandemi, wabah memang agak berjodoh dengan perang. Lalu, apa yang membuat tahun ini seperti penuh aura gelap yang kabutnya lebih pekat dibanding tahun mana pun yang pernah kita alami? Ini adalah krisis paling gila yang pernah dihadapi 150 juta orang Indonesia di era sesudah kemerdekaan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi ada 270 juta tinggal di Indonesia pada 2020. Sebanyak 150 juta berusia di bawah 35 tahun yang artinya, orang tertua di kelompok ini baru berumur 13 tahun saat Krisis 1998 terjadi.

Iklan

Mereka tak benar-benar tahu tantangan apa yang dihadapi orang tua mereka di periode itu. Dan jangan salah, krisis menghantam namun UMKM justru moncer, investasi emas menguntungkan sebagian orang, dan mereka punya mata air besar kegembiraan berkat lengsernya Presiden Suharto. Itu yang tak kita punya. Sumber kebahagiaan untuk mengimbangi kesialan demi kesialan ini. Semakin banyak twit, meme, dan video lucu diproduksi, sepertinya kita justru makin tak bahagia.
Kita sedang capek. Kaleidoskop 2018 dan 2019 bisa menjelaskan lini masa penyumbang rasa lelah itu: tahun politik, bencana alam, krisis ekologi, perlambatan ekonomi, penggeseran norma-norma lama. Saya menilai politik adalah bagian paling toksik dari semuanya. Dia membuat kita berhenti berharap karena akrobat elit politik lebih sering berhasil mementahkan niat-niat baik yang kecil dan individual itu. Di lain waktu, harapan justru menambah derita. Masalah sepanjang 2019 terjadi dalam interval rapat sampai bikin sulit bernapas. Menjelang tahun baru doa langsung dipanjatkan tengah malam, "Semoga 2020 lebih baik," tapi arang untuk bakar-bakar jagung dan sate bahkan belum dibereskan, ketika banjir besar menyerbu sebagian kota di Pulau Jawa akibat perubahan iklim. Mestinya kita bisa lebih tangguh sekarang kalau saja kita punya mesin waktu untuk mencicipi fase penjajahan Jepang, era tanam paksa, atau mundur ke tahun 1800 ketika VOC bangkrut dan Kerajaan Belanda menjadi penguasa pengganti diwakili Tuan Besar Guntur Daendels. Generasi yang melalui itu semua dipastikan bisa mendefinisikan “the new normal” jauh lebih ekstrem.
Tapi tiap orang adalah anak zamannya masing-masing.

Kita adalah anak zaman media sosial yang tak berpantang mengeluh, menangis, gembira, memaki di dunia maya. Jauh lebih ekspresif dalam menunjukkan emosi dibanding generasi lama. Sering membaca "2020 tahun paling brengsek" dan ungkapan sejenisnya selama tiga bulan terakhir, saya kini sulit membedakannya dari tone twit manja lain seperti: "Apa cuma aku yang…." Tahun 2020, saudara-saudara, tak banyak berbeda dengan tahun-tahun lain. Jika kamu tak merasakan penderitaan pada tahun-tahun sebelumnya, itu tanda kamu bergelimang anugerah (dan mungkin… privilese?).

Oh ya, jika kamu tak sulit makan dan masih selalu sehat selama pandemi ini, sebaiknya kurangi mengeluh karena tak bahagia. Sebab, selama ini kamu salah. Definisi bahagia sama sekali bukan tentang "tidak menderita".