FYI.

This story is over 5 years old.

KonMari

Aku Pakai Metode ala Marie Kondo Merapikan Timeline Medsos Dari Akun Ngeselin

Siapapun yang 'tidak memberi kebahagiaan' pas mainan Twitter bakal ku-unfollow. Hasil eksperimen tadi kutuliskan di artikel ini.
Memakai metode Marie Kondo untuk bebersih timeline Twitter
Screenshot via Netflix / Kolase oleh Samantha Cole

Aku memfungsikan linimasa media sosial sebagai surga pelarian dari kesumpekan dunia nyata. Makanya di Twitter, ada setumpuk akun yang ku-mute karena enggak enak kalau sampai di-unfollow, tapi malas aja ngelihat kicauan mereka di timeline. Sebenarnya aku tahu sikapku ini bermasalah, masih enggak tega unfollow, dan entah kenapa aku enggak bisa melepaskan teman dunia maya itu. Bisa dibilang aku menimbun akun-akun ini di rumah maya.

Iklan

Setelah metode Marie Kondo heboh akhir-akhir ini, aku jadi tertarik mencobanya. Buat yang belum tahu, dia konsultan bebersih rumah asal Jepang sekaligus pencipta metode KonMari, membantu klien membersihkan barang-barang yang enggak “menimbulkan kebahagiaan” dalam hidup, metodenya kini jadi serial Netflix. Mungkin sekarang lah waktunya menangani ruang digital yang berantakan dan mengembalikan kebahagiaan ke timeline Twitterku, meminjam prinsip KonMari.

Tokimeki Unfollow, aplikasi ciptaan Julius Tarng, membantuku melakukan bersih-bersih timeline. Aplikasi ini akan mempertanyakan setiap orang yang kufollow serta tweet-tweet terbaru mereka, satu per satu, dan memintaku mempertimbangkan apakah akun tersebut masih membawa kebahagiaan. Kalau iya, mereka tetap ku-follow. Kalau enggak, sudah waktunya unfollow sekalian. Ada opsi ketiga untuk menambah akun ke sebuah daftar netral, kalau kedua pilihan tersebut terlalu ekstrem.

Tokimeki adalah kata orisinal yang dipakai dalam metode KonMari, dapat diterjemahkan sebagai "menimbulkan kebahagiaan." Saat kuhubungi via email, Tarng menyatakan arti sesungguhnya dari kata ini adalah "apapun yang membuatmu bahagia, termotivasi, bernostalgia, atau sesuatu yang terasa penting bagimu."

Aku mulai dengan orang-orang pertama yang aku follow saat bikin akun Twitter, sesuai dengan metode yang dianjurkan Tarng. "Pengalaman bersama mereka biasanya menarik. Melihat interaksimu dulu sama akun follower awal membantumu mengingat lagi kepribadian yang lama, melihat siapa yang dulu kamu ikuti, dan teman-teman yang sudah kamu lupakan," katanya.

Iklan

Artinya, aku melihat kembali mantan teman-teman sekelas jurusan komunikasi dari tahun ketiga kuliah, ketika kami dipaksa membuat akun Twitter. Kebanyakan dari orang-orang ini berhenti nge-tweet setelah semester itu. Kebanyakan feed mereka bermula dan berakhir dengan postingan "halo dunia, ini tweet pertamaku!"

Postingan kuno ini enggak membawa kebahagiaan, tapi aku kok merasa susah ya meng-unfollow mereka. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba terkenal dan mulai nge-tweet lagi? Buat aku, ini bisa dihitung sebagai nostalgia. Ya sudah, semuanya kusimpan.

Setelah menyisihkan orang-orang ini yang tampaknya tetap membuat kehidupan offlineku nyaman, aku berpindah ke akun resmi media: Wall Street Journal, Associated Press—semua perusahaan media yang kamu follow pas baru bikin akun buat ngisi timeline. Beberapa akun ini kusimpan, tapi enggak banyak. Aku jadi ingat kalau pernah memblokir akun resmi the Atlantic. Aku sadar pas lagi ngecek setting; aku enggak ingat pernah memblokirnya atau apa yang dilakukan Atlantic sampai harus diblokir. Mungkin malah mereka yang tahu.

Lambat laun aplikasi TokiMeki memunculkan akun mantan pacar dan teman-teman mereka. Aku udah enggak pernah ngobrol sama mereka lagi, dan timeline mereka isinya omongan olahraga doang. Ini orang-orang pertama yang aku unfollow. Wah, rasanya lega.

Lalu ada akun selebritas yang harus kupilah: Anderson Cooper, Mindy Kaling, dll. Terus ada akun lucu-lucuan, yang aneh-aneh (contohnya @coffee_dad). Kebanyakan akhirnya akun macam itu ku-unfollow. Mereka enggak menimbulkan kebahagiaan. Enggak ada yang sampai kubenci kok, cuma emang hatiku sudah tak tertarik saja. Tapi aku tetap follow @Bourdain.

Iklan

Proses memilah teman Twitter ini ternyata memakan banyak waktu. Menurut Tarng, proses memilah tadi adalah tujuan utamanya menciptakan alat bebersih timeline. "Melakoni KonMari tidak gampang, dan bisa memakan banyak waktu," kata Tarng. "Buatku, prosesnya yang lebih penting—karena kita akan berefleksi, meneliti satu per satu, mengapa kamu mengikuti setiap akun, dan membuat keputusan apakah kamu masih mau follow mereka atau tidak."

Sembari aku menerapkan prinsip KonMari di feed, aku memperhatikan bagaimana kebiasaan medsosku telah berevolusi seiring waktu. Aku sempat nge-unfollow banyak organisasi media, kemudian lebih sering nge-follow orang yang bekerja untuk media-media tadi (namanya juga anak komunikasi yang pengin kerja di media, kebutuhanku waktu itu cari koneksi).

Aku mulai mengikuti orang yang aku temui di acara tertentu. Aku follow mereka karena mengikuti topik yang mereka bahas pada hari itu doang. Bukan karena ngefans. Terus lama-lama aku lupa unfollow—kontribusi utama kenapa linimasa Twitterku kacrut banget. Banyak orang yang aku baru follow merupakan narasumber yang rencananya mau kuwawancara, tapi aku harus menarik perhatian mereka dulu.

Aku sadar caraku menggunakan fungsi follow berubah drastis dibandingkan pas aku baru mulai menggunakan Twitter pada 2012. Sekarang follow kupakai bukan untuk mengikuti feed seseorang selama-lamanya, melainkan biar mulus masuk dan keluar dari kehidupan mereka ketika omongan mereka penting bagiku, pada saat tertentu saja.

Iklan

Cara Tarng merancang Tokimeki Unfollow mencerminkan kecemasanku sendiri. Aplikasi ini enggak akan menunjukkan bio akun, "karena aku tahu alasan banyak nge-follow lebih karena profil mereka di dunia nyata, bukan karena apa yang mereka nge-tweet," katanya.

Aplikasi ini tidak memperbolehkanmu nge-mute atau menonaktifkan retweet. "Aku ingin menantang diriku untuk mengatasi rasa harus nge-follow orang karena kewajiban sosial," kata Tarng. Banyak orang yang ku-follow jatuh di kategori kewajiban sosial doang. Sebenarnya banyak juga kenalanku di dunia nyata yang kukenal ala-ala doang. Bedanya, orang kayak gitu enggak mengungkapkan opini bodoh mereka di depan mata selama berjam-jam, setiap hari.

Filsuf eksistensialis selalu menganggap manusia adalah neraka bagi sesamanya. Jika memang orang lain adalah neraka, harus kuakui Twitter merupakan kutukan yang lebih ekstrem. Untunglah, sesudah meng-unfollow 50 orang—tinggal 1.150 lagi—aku yakin sedikit lebih bahagia. Sebab, di dunia maya ini, aku telah berusaha melakoni proses meditatif untuk mempertimbangkan hubungan dengan akun-akun yang selama ini tanpa pikir panjang ku-follow.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard