FYI.

This story is over 5 years old.

Kencan

Saya Sering Dibilang 'Selera Bule', Istilah Itu Pujian atau Hinaan Sih?

Di Indonesia ada stereotip warna kulit cowok/cewek favorit bule. Saya pun bertanya pada sosok-sosok masuk kategori 'Sebul' soal kebenarannya.

Perempuan berjilbab hitam itu menatap saya. Sekejap kemudian, dia membebekan ramalan soal masa depan saya. Nada suaranya yakin sekali. "Nanti, kamu bakal kawin sama bule." Perempuan berhijab itu teman sekampus. Dia menjelaskan panjang lebar alasannya kenapa yakin saya bakal menikahi pria kulit putih. Setelah mendengar ramalannya, saya mah woles aja. Waktu itu, usia saya baru 19 tahun. Mimpi tentang pangeran berkuda putih yang datang melamar sudah lama sekali saya tinggalkan. Lima tahun kemudian, ketika saya menulis artikel ini, "ramalan" teman saya masih meleset. Kayaknya dia emang engga sehebat Mama Lauren.

Iklan

Tapi, masih ada pertanyaan yang menggantung: kenapa juga harus kawin sama bule? Barangkali, ramalan itu didasarkan pada warna kulit saya yang gelap. Kulit saya emang engga putih seperti standar cantik di Indonesia.

Standar kecantikan di Indonesia tuh ribet banget. Mayoritas orang Indonesia berkulit gelap, sayangnya sebagian media yang berkomplot dengan perusahaan kosmetik sepertinya tak bosan meyakinkan kita bahwa "cantik" itu berarti punya kulit berwarna terang, mirip kayak porselen lah. Akibatnya, punya kulit gelap dianggap kurang menguntungkan, apalagi kalau dihubungkan sama urusan mencari pasangan. Uniknya, kamu tahu siapa yang selalu dianggap tak peduli dengan gelapnya kulit orang Indonesia? WNA berkulit putih. Kenapa? Mungkin karena ada semacam anggapan bule selalu memandang perempuan Indonesia yang berkulit gelap itu eksotis (demikian juga cowok berkulit legam, terutama stereotip cowok surfer atau anak pantai di Bali. Mereka selalu dianggap selera bule).

Jelas, anggapan ini rasis. Stereotipe ini, baik untuk cowok/cewek Indonesia ataupun bule, jadinya macam pedang bermata dua. Ya contohnya teman saya tadi (dan beberapa teman lainnya di kesempatan berbeda), yang yakin banget saya jenis perempuan "selera bule" atawa 'sebul' cuma gara-gara warna kulit. Tanpa disadari, ucapannya bisa dimaknai sebagai ejekan (lagi-lagi karena kulit saya masuk kategori sawo mateng gelap); tapi kalau dipikir-pikir lagi, masih bisa juga dianggap pujian (saya bakal kawin sama bule, yang dia anggap ganteng. Di Indonesia mah banyak bule sering dianggap ganteng tanpa alasan jelas). Bisa juga, sebutan itu pada saya adalah cara lain untuk menuding saya punya bakat menjadi "bule hunter": perempuan yang cuma mau mengencani lelaki kulit putih.

Iklan

Tafsiran campur aduk soal 'Selera Bule' ini disebabkan campuran objektifikasi perempuan, eksostime, dan stereotipe budaya yang sudah terlanjur melekat, sampai susah untuk menebak apakah teman saya dulu niatnya memuji atau mengolok-olok. Huft.  Jangan lupa, dari tadi yang dibahas soal selera bule ini pangkalnya adalah masalah stereotipe, jadi baiknya santai ajalah ya. Boro-boro nikah beda ras (pasti ada aja orang nyinyir).Hubungan antar agama saja di negara ini aja masih jadi persoalan pelik. Tak cuma di Indonesia, di Amerika Serikat sana pun hubungan antar ras masih berat dijalani. Setidaknya di Negeri Paman Sam hampir setengah generasi millenial pernah mengencani orang dari ras berbeda. Itu pun terjadi di keluarga besar saya. Beberapa kerabat malah menikah dengan bule dan hubungan mereka baik-baik saja.

Jadi, benarkah ada orang-orang di luar sana yang mempercayai stereotipe soal cewek/cowok selera bule? Saya menemui beberapa orang untuk mencari jawabannya.

Dimas Edi Sembada, 24, Fotografer Freelance

Dimas Edi Sembada

VICE Indonesia: Elo termasuk orang yang percaya sama stereotipe "selera bule" ga?
Bener juga sih sebenernya kalo ada stereotipe kayak begitu. Soalnya hal itu tuh terjadi karena perbedaan ras, terutama antara Indonesia dan bule: putih, blonde, mata berwarna.

Jadi menurut lo lebih ke fisik atau ke karakter yang disebut "selera bule" ini?
Fisik. Karena kalo karakter, mau bule atau orang Indonesia sama aja. Beda sih, tapi sedikit.

Iklan

Dim, kapan elo terakhir punya pacar bule? Orang mana? Plus minusnya?
Terakhir kali dan emang cuma sekali pacaran sama foreigner orang Novosibirsk, Siberia, Rusia. Putusnya September 2015. Pacarannya tiga tahun termasuk satu tahun LDR. Overall sih pacaran sama foreigner sama aja gak ada bedanya sama pacaran sama lokal. Sama dia enaknya komunikasinya enggak banyak bertele-tele, enggak banyak kode-kodean. Tapi ya ada yang bikin ribet ngelebihin pacaran sama lokal, perkara izin tinggal, visa, bahasa, agama. Percayalah, ngurus begituan ribetnya enggak ada dua.

Menurut elo, yang bule suka dari kamu apa?
Kalo kata gue sih, mungkin karena perbedaan jadi ketertarikan. Dulu tuh mantan gue bilang selalu pengen punya warna kulit, rambut macem gue. Terus beda latar belakang budaya juga jadi muncul ketertarikan. Sisanya sih dia bilang suka karena sifat.

Elo pernah ngerasa dijadiin fantasi eksotis sama mantan ga?
Perwujudan fantasi sih enggak ya. Cuma ada rasa saling mengagumi aja gitu satu sama lain. Karena perbedaan satu sama lain.

Kalo mantan elo bukan bule, dengan ciri fisik dan kepribadian yang sama, elo masih mau sama dia gak?
Mau kok. Gue gak mandang dia bule atau bukan soalnya.

Sebutan "gold-digger", "enggak laku", sama "ndeso" atau "muka pembantu", menurut elo gimana? Pernah ngerasa marah sama stereotipe ini?
Kalo gold digger gue mau berharap apa sama mantan gue. Dia waktu itu enggak kenal siapa-siapa dan cuma punya tabungan segitu-segitu aja. Dia juga bukan ekspatriat yang kerja atau punya usaha disini. Gue sih tidak merasa tersinggung sih. Karena jujur gue senang-senang aja dengan apa yang gue punya. Kulit legam dan gue yang seperti ini. Tapi kalo lihat orang lain, memang kadang suka nganggap gitu sih. Tapi itu reasonable. Soalnya ya memang yang mereka suka mungkin yang kayak gitu. "Ndeso" means Indonesia banget mungkin ya?

Iklan

Pernah kena inferiority complex bareng mantan?
Iya karena setelah urang berhubungan sama mantan, urang baru ngeh kalo orang Indonesia tuh suka kurang bersyukur dan kadang suka berpikiran ras kita itu berada di urutan nomer dua. Padahal engga lho. Kita itu kadang ga bersyukur kalo Indonesia itu dikaruniai matahari 12 jam sehari, sepanjang tahun. Nah harusnya orang Indonesia teh jangan takut sama matahari, udah kodratnya hitam-hitam eksotis. Contohnya aja mantan gue. Dia malah pengen punya kulit cem urang. Itu kan bukti harusnya kita bersyukur punya kulit hitam.

Chris Crow, 34, Analis Keuangan Proyek Infrastruktur

Chris Crow

VICE Indonesia: Kamu bule yang menikahi perempuan Indonesia. Apa pendapatmu tentang stereotipe selera bule?
Chris: Aku pernah dengar semua stereotip itu. Kebetulan istriku berkulit lebih gelap dibanding perempuan-perempuan dalam iklan produk kecantikan di Indonesia. Jadi, sebagian stereotip itu cukup berdasar. Lelaki Barat faktanya memang sering kelihatan jalan dengan perempuan Indoensia yang berkulit gelap.

Menurutmu, kenapa sih bule suka perempuan berkulit gelap?
Bagiku, itu ada hubungannya dengan rasisme yang menempel pada standar kecantikan di Indonesia. Orang Indonesia menganggap sosok berkulit terang lebih menarik. Celakanya, iklan TV, film, reklame malah menyuburkan anggapan ini. Akibatnya, banyak perempuan berkulit gelap kurang mensyukuri kecantikan mereka. Sementara yang berkulit terang agak jumawa dengan kecantikannya.

Iklan

Misalnya…
Istriku pernah tuh kaget, gara-garanya perempuan yang kami temui di Amerika Serikat tak sengaja ngomong dia terlalu cantik buatku. Istriku ini besar di Jawa Timur. Sejak kecil dia merasa tomboi dan tidak menarik. Anggapan itu baru luntur ketika dia tinggal di Amerika Serikat selama satu tahun saat berumur 16 tahun.

Pernah tersingggung sama steroripe-stereotipe ini?
Itu tergantung pada bagaimana orang bersikap dan menyampaikannya pada kami.

Jadi, kamu pernah tersinggung?
Pernah sekali sih. Waktu itu, kami menginap di sebuah hotel, terus pesan makanan. Pas keluar dari kamar buat mengambil makanan pesanan kami, salah satu staf hotel dengan enteng sok mengajak aku bercanda, bilang istriku mirip pelacur. Dia lalu minta dilayani setelah aku "selesai". Asumsinya ini muncul karena istriku jalan dengan seorang bule. Jadi dalam pikiran si pegawai hotel ini, istriku pasti pekerja seks. Saking yakinnya, dia enteng saja menuduh istriku yang bukan-bukan. Waktu itu aku tersinggung banget sama sikap kurang ajarnya.

Apa sifat yang paling kamu sukai dari istrimu?
Aku suka jiwa petualanganya, kecerdasannya, sifatnya yang blak-blakan dan kemampuannya menertawakan diri, atau lebih tepatnya kami. Ada banyak hal lain yang bikin aku tertarik padanya.

Bagaimana rasanya menikah dengan perempuan dari latar belakang budaya berbeda?
Di Amerika Serikat, aku kadang merasa bangga karena bisa menikah dengan perempuan dari ras lain. Meski sebenarnya, aku engga terlalu mikirin itu juga. Hubungan antar ras dan persepsi di masyarakat AS adalah masalah yang rumit. Sebagai lelaki kulit putih, aku punya hasrat untuk menunjukkan bahwa aku ingin bersahabat dengan semua orang yang tak menikmati privilese orang kulit putih. Di satu sisi, menikah dengan perempuan non-kulit putih memenuhi hasratku ini. Di sisi lain, sejarah perkawinan antar ras sangat ribet dan membawa warisan kolonialisme, sekaligus relasi kuasa antar ras.

Bagiku, mereka—baik orang AS atau orang Indonesia—yang melihat kami berdua jalan bareng lalu berprasangka kalau aku selalu menjadikan istriku sebagai obyek fetis soal eksotisme semata, artinya mereka sedang menerapkan narasi kolonial dalam kehidupan domestik kami. Mungkin ada benarnya. Kecenderungan menjadikan istriku sebagai obyek fetis mungkin juga ada di awal hubungan kami. Tapi, jika kamu serius dengan pernikahanmu, semua jadi engga penting-penting amat. Pernikahan adalah perjalanan penuh tantangan, terlepas asal pasangan itu dari mana. Tak butuh waktu lama buat kamu dan pasanganmu untuk membentuk sebuah identias baru—irisan budaya antara kalian berdua yang indah dan sangat spesial. Bisa jadi yang menyatukan kalian itu gara-gara kesamaan sederhana, kayak sama-sama suka buang sampah. Buang sampah itu engga ada eksotis-eksotisnya sama sekali kan?!

Nola Bangapadang, 26, Maniak Fitness/Body-Building

Nola

Percaya soal stereotipe "selera bule"? Buat kamu itu hinaan apa pujian?
Engga terhina sih. Itu compliment ya buat aku. Sebenearnya it depends on bule mana, soalnya engga semua bule juga carinya yang eksotis begitu. Karena ada bule yang middle class up itu mereka prefer cewek-cewek lokal yang dengan nice lifestyle itu dan udah open minded tentang dia. Jadi bisa dibilang yang lebih equal lah. Setara dalam hal apa nih? Perkara finansial?
Education, gaya hidup sih, sama pola pikir yah. Mindset. Pernah menganggap stereotipe "selera bule" sebagai hal merendahkan buat cewek/cowok Indonesia?
Engga, gue sih orangnya santai aja, engga ribet. Engga peduli orang mau ngomong apa. Udah pernah kencan sama bule berapa kali?
Dari pertama memang gue dating sama bule. Enam kali sih. Mantan-mantan bulemu beda-beda negara?
Belanda, Rusia, Australia, Italia pernah dua kali sih. Karakteristik bule itu gimana sih ketika pacaran? Ada benang merah yang bisa ditarik?
Enggak ribet yah intinya. Mereka lebih open minded. Mereka pernah bilang yang disukai dari kamu apa?
Beda-beda… ada yang bilang personality-ku, ada yang bilang mata aku. Udah enam kali pacaran sama bule, pernah dating sama orang Indonesia juga?
Pernah dua kali. Yang bikin susahnya itu yang drama-dramanya itu. Aku engga mau ribet soalnya. Kalau udah kerja kan harus fokus. Kalau kebanyakan problem yang kecil aja dijadiin masalah, jadinya males. Berarti pacaran sama orang Indonesia menurutmu cenderung lebih ribet?
Well, yeah. Hal-hal sepele kayak dimasalahin. Waktu pacaran sama bule, pernah kena inferiority complex enggak?
Engga sih. Oh iya aku juga pernah sama orang Kanada. White Canadian (yang waktu sama aku) berpikir kalau kebanyakan orang Asia itu enggak equal sama dia. Itu yang tadi aku maksud itu, equal dalam konteks sudut pandang ya. Kalo mantan bukan bule, dengan ciri fisik dan kepribadian yang sama, elo masih mau sama dia gak?
Aku tuh sebenarnya orangnya sapioseksual ya. Aku tuh tipikal orang yang kayak gitu, jadi lebih tertarik sama mind-nya dulu. Kalau menurut aku, yang menarik orang yang open minded, mau membuka pikirannya dari berbagai perspektif. Menurut aku itu sesuatu yang susah dicari.