Kisah Seekor Kucing yang Sanggup Memprediksi Kematian
Foto ilustrasi oleh Lisa Woakes/Unsplash 

FYI.

This story is over 5 years old.

Catatan Dokter

Kisah Seekor Kucing yang Sanggup Memprediksi Kematian

Oscar si kucing hanya mau mendusel ke 50 pasien. Semua pasien tadi meninggal dunia tak lama kemudian. Mungkinkah dokter mereproduksi kemampuan Oscar untuk pengembangan dunia medis?

Dari sekian banyak penghinaan kecil yang dialami ahli onkologi muda di tahun terakhir proses koas, mungkin cerita inilah yang paling aneh: Seekor kucing hitam-putih berusia dua tahun bernama Oscar ternyata lebih andal daripada kebanyakan dokter dalam hal memprediksi kapan pasien yang sakit parah akan meninggal dunia.

Kisah ini muncul di Jurnal The New England Journal of Medicine pada musim panas 2007. Diadopsi sejak masih jadi bayi oleh staf medis, Oscar biasa bermain-main di satu lantai bagian panti jompo Steere House di Rhode Island, Amerika Serikat. Ketika kucing ini akan mengendus-endus, menjenjangkan lehernya, atau meringkuk di samping pasien tertentu, oleh para penghuni panti tindakannya dipahami sebagai tanda kematian akan datang. Para dokter akan memanggil keluarga datang untuk kunjungan terakhir mereka. Selama beberapa tahun, kucing itu hanya mau meringkuk di samping 50 manula. Semua orang itu meninggal tak lama kemudian.

Iklan

Tidak ada yang tahu bagaimana kucing mendapatkan keterampilan mengendus kematian manusia. Mungkin hidung Oscar belajar mendeteksi beberapa bau kematian yang unik—bahan kimia yang dikeluarkan oleh sel yang mati, misalnya. Mungkin ada tanda-tanda lain yang tidak bisa dipahami. Awalnya saya tidak memercayainya, tetapi kecerdasan Oscar dikuatkan oleh dokter lain yang menyaksikan kucing ini beraksi. Seperti disampaikan oleh sang penulis artikel dalam jurnal tesebut: "Tidak ada yang meninggal di lantai tiga kecuali Oscar mengunjunginya dan meringkuk di sampingnya sebentar."

Cerita ini membekas di hati saya, karena pada musim panas itu saya sedang merawat S., seorang tukang ledeng berusia 32 tahun pengidap kanker esophagus. Dia telah merespons dengan baik kemoterapi dan radiasi, dan kami membedah kerongkongannya. Tak ada sel ganas yang terdeteksi dalam tubuhnya.

Suatu sore, beberapa minggu setelah perawatannya selesai, saya dengan hati-hati membicarakan soal sekian protokol kalau-kalau ia tetap meninggal akibat penyakitnya. Dokter jelas ingin menyembuhkan pasien, kata saya pada S., tetapi selalu ada kemungkinan kecil kankernya kambuh. Dia memiliki seorang istri muda dan dua anak, dan seorang ibu yang mengantarnya setiap minggu untuk kemo. Mungkin, saya bilang, S. sebaiknya membahas skenario andai dia meninggal kelak dengan keluarganya secara terang-terangan.

Tapi S. keberatan. Dia mendapatkan kembali kekuatannya dari minggu ke minggu. Semangatnya naik. Kankernya hilang. Saya merasa enggan membuatnya murung saat banyak hal bisa dirayakan. Saya setuju dengan enggan; tidak mungkin kanker akan kembali.

Iklan

Nyatanya kanker itu kambuh, bahkan bisa dibilang kambuh parah. Dua bulan setelah dia meninggalkan rumah sakit, S. kembali menemui saya dengan semprotan metastasis di hatinya, paru-parunya, sampai di tulang-tulangnya. Rasa sakit ini sangat menakutkan sehingga hanya dosis tertinggi obat penghilang rasa sakit yang akan mengurangi penderitaannya. S. menghabiskan minggu-minggu terakhir hidupnya dalam keadaan nyaris koma, tidak dapat menyadari keberadaan keluarganya di sekitar tempat tidurnya.

Ibunya memohon padaku pada awalnya untuk memberi lebih banyak kemoterapi, lalu menuduhku memberikan prognosis keliru pada keluarga. Aku menahan lidahku dengan rasa malu. Semua dokter, aku paham betul, memiliki catatan yang buruk dalam memprediksi akurat siapa pasien kami yang akan meninggal dunia. Kematian adalah kotak pandora utama kami. Itu rahasia yang tak pernah bisa tersingkap sepanjang sejarah dunia kedokteran.

Merujuk sebuah survei yang dipimpin oleh para peneliti di University College London tentang lebih dari 12.000 prognosis dokter dari rentang kehidupan pasien yang sakit parah, hits dan miss-nya sangat luas. Beberapa dokter memprediksi kematian secara akurat. Sedangkan yang lain memprediksi kematian hampir tiga bulan lebih cepat; namun yang lainnya hanya melebih-lebihkan. Tidak ada sama sekali akurasi dalam prognosis dokter.

Tetapi bagaimana jika suatu algoritma dapat memprediksi kematian? Akhir 2016, seorang mahasiswa pascasarjana bernama Anand Avati di departemen ilmu komputer Universitas Stanford, bersama dengan tim kecil dari fakultas kedokteran kampusnya, mencoba "mengajari" suatu algoritma agar sanggup mengidentifikasi pasien yang sangat mungkin meninggal dalam jangka waktu yang ditentukan. "Tim perawatan paliatif di rumah sakit memiliki tantangan," kata Avati kepada saya.

Iklan

Tonton dokumenter VICE mengenai sebuah gereja yang menjanjikan jemaatnya teknologi untuk hidup abadi, mengklaim temuan ini berlandaskan sains:


"Bagaimana caranya menemukan pasien yang dalam tiga sampai 12 bulan sekarat untuk pengujian algoritma tersebut?" itu pertanyaan awal tiap anggota tim pimpinan Avati. Masa sekarat adalah titik terpenting dalam setiap perawatan penyakit yang bisa memberi indikasi paling berbobot soal kemungkinan matinya manusia. Sebutan ilmiahnya fase 'palitif', alias pasien dianggap sudah tidak dapat disembuhkan secara medis, baik itu memakai obat ataupun operasi.

"Rentang waktu sekarat lebih lama dari 12 bulan dapat membebani sumber daya yang tidak perlu secara berlebihan, menyediakan terlalu banyak data. Sebaliknya, jika kematian datang kurang dari tiga bulan setelah prediksi, tidak akan ada waktu persiapan yang nyata untuk kematian, datanya terlalu sedikit, akan terlambat memberi prognosis," kata Avati.

Upaya mengidentifikasi kondisi medis pasien dalam periode waktu yang sempit dan optimal, Avati tahu, akan memungkinkan dokter untuk menggunakan intervensi medis lebih tepat dan lebih manusiawi. Andai algoritma ini bekerja, tim perawatan pasien paliatif akan dibebaskan dari keharusan menjelajah grafik secara manual, memburu pilihan paling bermanfaat.

Avati dan timnya mengidentifikasi sekitar 200.000 pasien yang bisa dipelajari. Para pasien mengalami berbagai macam penyakit: kanker, penyakit syaraf, jantung dan gagal ginjal. Wawasan utama tim ini adalah menggunakan catatan medis rumah sakit sebagai mesin waktu proxy. Katakanlah seorang laki-laki meninggal pada Januari 2017. Bagaimana jika kita menggulirkan waktu kembali ke "titik terbaik fase perawatan paliatif"—rentang antara Januari dan Oktober 2016 ketika perawatan akan paling efektif?

Iklan

Tetapi untuk menemukan titik itu untuk pasien tertentu, Avati tahu, kita mungkin perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi medis sebelum rentang yang dipatok peneliti. Bisakah kita mengumpulkan informasi tentang laki-laki ini selama periode pra-rentang ini yang akan memungkinkan seorang dokter memprediksi kematian dalam rentang waktu tiga hingga 12 bulan? Masukan macam apa yang mungkin mengajarkan algoritma semacam itu untuk membuat prediksi?

Avati mendapatkan informasi medis yang sudah dikodekan oleh para dokter di rumah sakit: diagnosis pasien, jumlah hasil scan yang dipesan, lama waktu di rumah sakit, jenis prosedur yang dilakukan, dan resep obat yang ditulis. Informasinya memang terbatas — tidak ada kuesioner, percakapan, atau pengendusan bahan kimia — tetapi obyektif dan sudah distandarkan di seluruh pasien.

Input ini lalu dimasukkan ke dalam jaringan saraf dalam — struktur perangkat lunaknya dinamai demikian karena meniru cara kerja neuron otak. Tugas algoritma ini yaitu untuk menyesuaikan bobot dan kekuatan setiap bagian informasi guna menciptakan skor probabilitas bahwa seseorang akan meninggal dalam waktu tiga hingga 12 bulan.

Untuk melatihnya, “algoritma kematian” ini mencerna dan menyerap informasi dari hampir 160.000 pasien. Setelah semua datanya dicerna, tim Avati mengujinya pada 40.000 pasien yang tersisa. Algoritmanya berfungsi dengan baik. Jumlah tebakan yang meleset sangat rendah: Sembilan dari 10 pasien yang diprediksi akan meninggal dalam waktu tiga hingga 12 bulan benar meninggal dalam jangka waktu tersebut. 95 persen pasien yang probabilitasnya rendah bisa bertahan lebih dari 12 bulan. (Data yang digunakan algoritma ini sangat bisa disempurnakan di masa depan. Nilai lab, hasil scan, catatan dokter atau pemeriksaan pribadi pasien bisa ditambahkan ke dalam campuran, meningkatkan daya prediksi.)

Iklan

Apa yang “dipelajari” algoritma tentang proses kematian? Apa pelajaran yang bisa diambil oleh ahli onkologi? Inilah yang aneh dari sistem deep learning. Sistem bisa mempelajari sesuatu, tapi tidak bisa memberikan alasannya; sistem bisa memberikan probabilitas, tetapi kesulitan mengungkapkan alasan mereka melakukan itu. Ini sama saja seperti anak kecil yang belajar sepeda. Mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana bisa naik sepeda saat ditanya. Mesin algoritma akan kebingungan ketika kita tanya, “Kenapa?” Semuanya menjadi misteri.

Apabila kamu melihat kasus tiap orang, kamu akan melihat pola yang terduga dan tidak terduga. Seorang pria yang mendapat skor 0.946 meninggal dalam waktu beberapa bulan, sesuai prediksinya. Dia menderita kanker kandung kemih dan prostat. Dia menjalani 21 scan, dan pernah dirawat selama 60 hari — semuanya diambil oleh algoritma sebagai tanda kematian yang akan datang. Namun, jumlah bobot yang mengejutkan terjadi karena scan berasal dari tulang belakangnya dan sumsum tulang belakangnya menggunakan kateter — fitur yang tidak mungkin saya dan rekan sebut sebagai hal yang memprediksi kematian (pemindaian M.R.I. tulang belakang, yang baru saya sadari, kemungkinan besar menandakan kanker di sistem saraf — situs mematikan untuk metastasis).

Membaca artikel tentang “algoritma kematian” mengganggu pikiran. Saya tidak bisa berhenti memikirkan pasienku S. Kalau algoritma ini sudah ada dulu, apakah saya akan menggunakannya saat memeriksanya? Tentu saja. Apakah ramalam macam itu bisa membuat S. dan keluarganya lebih siap menghadapi kematiannya? Tentu saja. Tapi saya tetap tidak bisa menyingkirkan perasaan aneh saat memikirkan bahwa algoritma bisa lebih memahami pola kematian daripada kebanyakan manusia.

Saya pun bertanya-tanya. Kenapa program yang sanggup memprediksi kematian akan jauh lebih diterima kalau wujudnya adalah kucing belang hitam putih bukannya data probabilitas statistik? Silakan anda yang menjawabnya sendiri.


Siddhartha Mukherjee adalah editor-at-large Tonic—situs kesehatan bagian dari VICE.com. Dia penulis buku "The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer", sekaligus pemenang Penghargaan Pulitzer 2011 untuk genre nonfiksi. Dia juga pernah memenangkan sayembara The Gene 2016, dan penghargaan The Laws of Medicine. Mukherjee adalah guru besar ilmu kedokteran di Columbia University, spesialis kanker, sekaligus peneliti penuh waktu. Opini ini sebelumnya tayang di situs berikut.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic