Opini

Relawan Rumah Aman Lampung Perkosa Lagi Penyintas Pemerkosaan, Bukti Urgensi RUU PKS

Kasus mengerikan di Lampung Timur itu tak cukup memakai UU Perlindungan Anak dengan ancaman vonis kebiri kimia. Sistem perlindungan korban pemerkosaan terbukti tak berjalan baik di Indonesia.
Relawan Rumah Aman P2TP2A Lampung Timur Perkosa Lagi Penyintas Pemerkosaan
Ilustrasi perempuan depresi oleh Priscilla Du Preez/via Unsplash

Ngerasa enggak sih, kadang dunia bisa kejam banget dan manusia begitu jahat? Kenapa, misalnya, mesti ada penderitaan yang sebegitu parah buat remaja 13 tahun di Lampung Timur ini? Sudah diperkosa oleh paman sendiri, saat direhabilitasi malah diperkosa dan dijual ke lelaki hidung belang oleh relawan yang harusnya mendampingi.

Penderitaan korban berlangsung sejak Januari-Juni (ada yang menulis Maret-Juni) tahun ini. Setelah pemerkosaan oleh pamannya terbongkar, korban diinapkan di rumah aman milik Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Korban didampingi relawan pria berinisial DA sembari proses hukum pamannya berlangsung.

Iklan

DA kemudian membawa korban selama sebulan ke rumah pelaku. Di sanalah kejahatannya bermula. Namun, "Dia tak hanya mengalami kekerasan dari DA, tapi juga DA menawarkan kepada pihak lain untuk dijajakan. Pengakuan korban, dia pernah dibawa orang berinisial B yang kemudian terima uang Rp 700 ribu. Rp 500 ribu untuk korban, Rp 200 ribu untuk si DA," kata Direktur YLBHI LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan, kepada Detik.

Memasuki bulan Juni, vonis untuk si paman jatuh. Tiga belas tahun penjara. DA kemudian mengantar korban pulang ke rumahnya. Tapi saking bejatnya, di rumah korban pun pelaku masih sempat memerkosanya. Itu terjadi pada malam 28 Juni ketika pelaku datang dan karena rumahnya jauh, harus menginap di rumah korban.

"Di situ [korban] diancam akan dibunuh, diancam, disantet jika melaporkan. Karena terancam itu, berdasarkan pengakuan korban dia empat kali diperkosa di rumahnya itu. Mungkin dari situ dia sudah menyatakan tidak tahan lagi. Tapi tidak bilang ke ortunya dulu, tapi ke temannya," tambah Chandra.

Peristiwa ini ditangani Polda Lampung dan Polres Lampung Timur setelah korban beserta keluarga melapor Kamis pekan lalu (2/7). Saking biadabnya peristiwa ini, menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar, pelaku harus dihukum seberat-beratnya menggunakan undang-undang yang mengatur kebiri kimia untuk penjahat seksual kepada anak.

"Pelaku bisa dijerat dengan mengacu pada UU 35 /2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU 17/2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016," terang Nahar.

Iklan

UU 17/2016 Pasal 81 ayat 3, 6, dan 7 UU memang mengatur hukuman yang lebih berat untuk tujuh jenis orang yang menyetubuhi anak atau membuat anak bersetubuh. Mereka adalah orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, serta aparat yang menangani perlindungan anak. Ancaman hukumannya? Maksimal penjara 20 tahun, denda 6,5 miliar, dikebiri kimia, dipasangi alat pendeteksi, dan dibuka identitasnya ke publik.

Ketika berita ini mulai tersiar dua hari lalu, pelaku sempat dikira sebagai kepala P2TP2A Lampung Timur. Belakangan, ia diketahui hanya berstatus relawan, meski sehari-hari biasa menggunakan seragam ASN. Juga belum ada laporan pelaku sudah ditangkap karena statusnya baru naik menjadi tersangka per hari ini setelah visum korban keluar.

Polisi tengah mendalami kemungkinan ada tersangka lain. Sementara itu, staf advokasi LBH Bandar Lampung Anugrah Prima mengkhawatirkan ada lebih dari satu korban. Sebab, ketika korban dititipkan di rumah aman, ada dua anak lain yang berada di sana.

Ekses dari peristiwa ini, Kepala Dinas PPPA Lampung Theresia Sormin meminta rumah aman P2TP2A Lampung Timur segera dibekukan. Mestinya sih permintaan ini diladeni tanpa banyak alasan lagi. Apalagi dalam hasil investigasi Lembaga Advokasi Anak “Damar” Lampung, ada tiga kejanggalan di lembaga P2TP2A yang dibentuk khusus Pemkab Lampung Timur ini.

Iklan

Pertama, Damar menemukan bahwa P2TP2A tak memiliki SOP penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. Kedua, rekrutmen pengurusnya bukan berlandaskan kemampuan dan keberpihakan pada korban. Ketiga, dan ini yang paling aneh, kru lembaga ini ada yang laki-laki. Menurut Damar, petugas lembaga untuk perempuan dan anak korban kekerasan ya harus perempuan dong.

Kejadian ini mau enggak mau mengingatkan kita sama nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang resmi dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020 persis di hari korban melaporkan kasusnya ke polisi. Coba kalau RUU udah disahkan. Trauma korban enggak serta-merta hilang memang, tetapi setidaknya korban akan menerima hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan.

Bukankah enggak ada ruginya ya mengesahkan RUU yang cuma mau melindungi korban kejahatan yang bengis dan biadab kayak gini? Kita yang nulis berita aja tersiksa menghadapi kabar kasus kayak gini atau kayak kasus empat tahun lalu di Lampung Timur juga, pas ada anak 10 tahun tewas diperkosa sepuluh orang?

Heran deh ada orang yang sampai merasa kriminalitas kayak gini enggak perlu diseriusi. Di situ saya merasa dunia ini kejam dan manusia begitu jahat.