FYI.

This story is over 5 years old.

Tinder dan kehidupan

Cerita Kencan Tinder Gagal ini Bakal Bikin Kamu Bersyukur jadi Jomblo

Kebayang pas kencan pertama kamu malah mandi muntahan orang.
ilustrasi oleh Nick Gazin

Emang sih, semua Tergantung sudut pandangmu. Aplikasi kencan Tinder bisa jadi sebuah berkah atau sebaliknya berubah jadi kutukan. Bagi beberapa orang, app ini adalah alat yang berguna untuk bertemu kenalan baru di tengah kesibukan sehari-hari. Namun banyak juga yang menganggap app ini berkontribusi terhadap "kultur hookup" dan justru mempersulit kita bertemu pasangan setia.

Banyak orang 'iseng' menggunakan Tinder karena mereka takut kesepian, tapi apa iya Tinder selalu menjadi opsi yang lebih baik?

Iklan

Berikut lima kisah Tinder yang canggung, lucu tapi juga mengerikan. Selamat menikmati!

DELUSIONAL TINGKAT AKUT
Saya bertemu seorang perempuan di Tinder yang rumahnya beberapa jam dari saya. Tapi ketika kamu gay, pilihan kamu terbatas, jadi ya udahlah. Saya sempat nongkrong dengan dia tiga minggu berturut-turut. Dia mengirim pesan ngajak nongkrong lagi dan saya menjawab, "Wah sori, tapi hari ini adik saya berulang tahun, jadi bakal nongkrong sama keluarga nih. Nanti kalau saya mau main ke kotamu lagi, saya kabarin." Dia merespon sepanjang tujuh halaman dan mengatakan bahwa saya akan menghancurkan hubungan yang sempurna. Dia bilang Tuhan telah berbisik bahwa kami ditakdirkan untuk bersama dan dia ingin menikahi saya. Saya enggak bales.

Beberapa hari kemudian saya mendapatkan pesan suara darinya. Dia mabuk, menangis dan menyanyikan lagu Usher "U Got It Bad." Dia menyanyikan satu lagu lagi ke pesan suara. Kemudian dia mengatakan bahwa dia masih mencintai saya. Lagi-lagi saya cuekin. Beberapa hari kemudian, dia mengirimkan foto secarik kertas yang terbakar dengan tulisan "Bucket List" di ujung atas. Tertulis dia ingin mengajak saya ke Swedia. Sisanya gak kebaca, lha wong kebakar. —Britanny, 24.

SI CELANA BASKET
Saya ketemu cowok ini di Tinder dan sudah ngobrol beberapa lama dan rasanya cocok. Akhirnya kami bertemu dan dia terlihat sesuai dengan fotonya yang lumayan, jadi oke lah. Tapi ketika dia keluar dari mobil, saya menyadari dia mengenakan celana basket. Ya saya juga lagi gak mengenakan gaun atau gimana sih, tapi masak iya pake celana basket di kencan pertama?

Iklan

Kami mulai ngobrol dan dia menyombongkan fakta bahwa gaji dia gede banget. Tapi saya cuman bisa inget, "Nyet, elo pake celana basket woy." Tapi dia terus mengumbar cerita, dia bilang bahwa temannya yang bekerja sebagai koki, membuka restoran sendiri namun penghasilannya tetap lebih kecil. Dia mengatakan temannya membuat keputusan hidup yang buruk. (Penghasilan saya bahkan gak nyampe seperempat penghasilan si koki.) Dia membawa saya ke restoran taco murah dan dalam nada yang merendahkan, dia mengatakan, "Kalau mau dibawa ke tempat-tempat yang mewah, kamu harus membuktikan kesungguhan kamu dulu." Idih, amit-amit. Saya makan taco secepat mungkin agar bisa kabur karena dia UGH banget.

Kami berjalan menuju mobil saya dan dia mengundang saya untuk kembali ke apartemennya. Tentu saja saya tolak. Dia memojokkan saya di samping mobil—dia pengen sok-sok jadi romeo gitu kali ya?—dan berusaha mencium saya. Karena hanya mengenakan celana basket, kerasa banget anunya dia bangun. Selagi dia mencoba mencium saya, saya merasakan ada yang menusuk paha saya. Jadilah saya langsung tertawa di dalam mulutnya. Ini adalah momen paling aneh dan tidak nyaman dalam hidup saya. Saya terus tertawa ketika dia akhirnya melepaskan diri dan dia bertanya, "Mau lanjut lagi gak?" Saya jawab "Ogah! Jangan pernah telepon-telepon ya. Apus aja nomer gue. Gue gak akan mau ngomong sama elo lagi. Makasih ya, dah." Pas masuk mobil dan menyetir pulang, saya masih tertawa terbahak-bahak. Lah, tiga bulan kemudian, dia malah mengirim pesan ngajak gituan. Amit-amit. —Shelby, 25

Iklan

Baca artikel VICE lain yang juga bahas soal tinder-tinderan

SALAH ORANG
Karena tekanan sosial, akhirnya saya nyoba main Tinder. Setelah nge-swipe selama dua hari, akhirnya saya match dengan seorang lelaki bernama Ryan. Dia baik, tampang lumayan, tapi saya enggak tertarik-tertarik amat. Kami sempat ngobrol sebentar dan tukeran nomer tapi gak ada kelanjutan.

Empat bulan kemudian, saya berada di sebuah pesta rumah di mana saya bertemu cowok lain yang juga bernama Ryan. Kami langsung cocok, dan beberapa hari kemudian saya mengirim dia pesan. Kami sepakat akan makan malam dan saya akan menjemputnya di kantor.

Hari-H tiba, dan saya tiba di kantornya pukul 6.30 malam, mengabari dia saya sudah di depan kantor. Ketika dia membuka pintu mobil untuk masuk, saya sama sekali tidak mengenalinya.

Apa dia abis cukur kali? Apa dia mengirimkan rekan kantor ke bawah buat becandaan? Apa saya sudah gila? Setiap skenario saya mainkan di kepala, berusaha mencari tahu bagaimana cara seseorang yang tidak saya kenal main ngajak ngobrol seakan dia kenal saya. Berusaha tidak panik, saya mulai menanyakan pertanyaan yang pasti bisa dijawab Ryan yang saya temui di pesta. Akhirnya saya sadar bahwa saya berkencan dengan lelaki yang salah. Ketika tiba di restoran, akhirnya saya menyerah dan bertanya bagaimana kita kenalan awalnya. Dia menjawab, "Kita ketemu di Tinder."

Di saat itulah saya sadar akan kebodohan saya. Saya tidak mencatat nama belakang kontak di ponsel dan menghubungi Ryan yang salah. Merasa sangat bersalah, saya menjalani makan malam paling kikuk yang pernah saya alami. Setelah itu, saya bersumpah untuk tidak main Tinder lagi dan tidak mau berbicara dengan Ryan manapun. —Tera, 26 Serangan Kucing (dan Asma)
Saya sempat pergi kencan dengan seseorang yang sebut saja bernama Chip. Di adalah seorang DJ di acara Fashion Week. Kami makan sushi murah dan memiliki beberapa kesamaan (sama-sama Yahudi). Kami kembali ke rumahnya dan mulai bercumbu. Dia menunjukkan tato-tatonya. Ketika sedang asik, tiba-tiba sesuatu mendarat di atas kepala saya. Ternyata itu adalah kucingnya yang brengsek, yang sempat dia ceritakan sebelumnya (sampe dibikinin akun Instagram sendiri dan dia meminta saya ngefollow), saya berusaha membuat dia pergi, tapi cakarnya justru masuk ke rambut dan punggung saya.

Iklan

Setelah berhasil lepas, kami pindah ke ranjangnya di loteng (padahal dia udah 30-an lho umurnya) dan berusaha melanjutkan, tapi kucingnya terus mengikuti. Saya mulai kesulitan bernafas dan pergi ke kamar mandi untuk memulihkan diri dari serangan asma akibat kehadiran si kucing. Mata saya mulai merah dan muka penuh bercak. "Chip" berusaha mengatakan bahwa keadaan saya gak parah-parah amat tapi berhubung dia sedang ereksi, kayaknya dia punya kepentingan sendiri deh. Saya butuh inhaler dan harus keluar dari situ secepatnya.

Selama beberapa bulan setelah itu, dia terus-terusan mengirimkan foto anunya. Saya juga menyadari bahwa kucingnya memiliki 15.000 follower di Instagram. —Taylor, 24

"ENGGAK, SAYA ENGGAK BAIK-BAIK AJA"
Saya bertemu dengan cewek ini di Tinder, dan janjian ketemu ngopi. Saya sempat kencan dengan orang dari Tinder sebelumnya dan hasilnya selalu canggung, tapi dengan dia semua terasa mudah. Kami punya banyak kesamaan dan percakapannya terasa mulus. Asik deh.

Di satu titik, dia menurunkan cangkir kopinya ketika saya sedang berbicara dan dia mengibaskan rambut ke samping dan menatap mata saya langsung. Dia tersenyum. Saya balas tersenyum. Sambil terus berbicara, saya mengambil ponsel dari kantong karena ingin menunjukkan sesuatu. Tidak sadar bahwa saya masih bisa melihatnya, dengan cepat dia memasukkan jarinya sendiri ke tenggorokan untuk memicu refleks muntah.

Empat detik kemudian, saya diselimuti muntahan dia dari kepala hingga ujung kaki. Saya syok, berusaha mengerti apa yang baru saja terjadi. Dia meminta maaf dan bertanya apabila saya baik-baik saja. "Enggak," jawab saya, sembari bangun dan pergi menuju toilet untuk membersihkan diri. Ketika saya kembali, dia sudah pergi. Saya tidak pernah mendengar kabar dia lagi. —Ted, 24