Saya Stuntman Asal Amrik yang Jago Masak Makanan Indonesia
Semua foto oleh Javier Cabral.

FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Saya Stuntman Asal Amrik yang Jago Masak Makanan Indonesia

Saya stuntman, pengusaha katering, sekaligus tukang antar makanan underground kuliner Indonesia di Los Angeles. Kenapa saya jago masak makanan Indonesia? Begini ceritanya.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Saya menjuluki diri "bandit masakan Indonesia", karena saya punya bisnis layanan makanan siap antar underground di Los Angeles. Nama bisnis saya ini Lasian Kitchen. Kalau kamu pernah nonton film kung fu ‘80an berjudul Wheels on Meals, dibintangi Jackie Chan, di situ tokoh utama jadi lelaki yang mengantarkan makanan keliling kota pakai mobil mungil. Kayak gitulah kira-kira yang saya lakukan. Bedanya dari Jackie Chan, saya pakai motor. Perkenalkan, saya sehari-hari bekerja sebagai stuntman film laga, pengusaha katering, dan pengantar makanan DIY.

Iklan
stunt_chef_steve_on_bike

Steve dengan motor dua taknya.

Saya baru saja balik dari lokasi syuting Supergirl, di mana saya harus menghindari mobil-mobil yang mengarah ke saya dalam kecepatan 40 km/jam. Saya mengambil banyak peran sepanjang karir saya selama 30 tahun, dari “laki-laki Barat yang jahat” di industri film Hong Kong—yang, pada era keemasannya merupakan industri film terbesar ketiga di dunia—sampai menjadi stuntman di Buffy the Vampire Slayer. (Saya waktu itu menggantikan Spike). Tapi, sejujurnya, menghindari mobil-mobil, loncat antar gedung tinggi, dan dipukuli dalam adegan kelahi tiga-lawan-satu di ujung tebing, tidak ada apa-apanya dibandingkan belajar memasak makanan rumit khas Indonesia. Saya jadi tertarik dengan masakan Asia pada 80an dan 90an, saat saya berkeliling Asia karena memerankan laki-laki Barat yang jahat, atau menggantikan aktor-aktor dalam adegan berbahaya. Semakin kamu berani, semakin mudah kamu mendapatkan tawaran. Saya hampir enggak mengenal rasa takut, jadi saya bekerja di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina. Meski demikian, di Asia, tidak ada yang namanya layanan katering film, berbeda dari produksi film di AS. Tapi, kami punya nenek-nenek berwajah masam yang memasak di lokasi, layaknya juru masak darurat. Mereka mahir memasak mie, kari, dan masakan unik lainnya yang menggugah selera. Nenek-nenek dan tante-tante ini adalah guru pertama saya dalam hal masak-memasak makanan Asia Tenggara.

Steve Tartalia saat beraksi.

Saya ingat, kali pertama saya terpukau dengan masakan Asia Tenggara adalah saat saya terlibat dalam produksi film Thailand berbujet rendah di Chiang Mai. Cita rasa yang begitu kuat ditemukan pada daerah itu—saat kamu menyuapkan makanan ke mulut, dan menghirup aromanya, dan hidup bersamanya setiap hari—kamu jadi terbiasa. Obsesi saya dengan masakan Indonesia muncul rada belakangan di LA pada 2008. Saya memutuskan untuk menambahkan Kuntau Silat dalam resume bela diri saya, dan mulai makan masakan Indonesia di sebuah restoran dekat tempat latihan. Saya menjadi sangat, amat gembira saat makan masakan Indonesia. Tapi, rasanya masakan itu jarang konsisten di restoran langganan saya. Jadi, saya mencoba membuatnya sendiri di rumah dan akhirnya berhasil menguasai sebagian besar masakan Indonesia. Saya kira, karena saya sudah memiliki landasan yang cukup kuat dalam masakan Vietnam, Thailand, dan Malaysia, saya dapat dengan mudah bikin masakan Indonesia. Eh, ternyata, susah banget cuy. Karena Indonesia terdiri dari 17,500 pulau dan masakan khas negara itu serumit kedengarannya. Pada saat itu, saya mulai menyambangi restoran Indonesia lainnya, bernama Simpang Asia. Saya jadi akrab dengan juru masak di situ, dan ngarep dia bakal berbagi tips memasak. Eh, tapi dia enggak mau cerita apa-apa. Dia sering bilang, “Kalaupun kamu kasih saya $100,000, saya enggak bakal ngasih tau apa-apa, tapi terima kasih ya sudah sering makan di sini.” Suatu waktu, dia mengundang saya ke sebuah pesta besar yang diadakan para konsulat Indonesia. Sebagian besar masakan di situ ludes sesampainya saya di sana, tapi saya kebagian sepiring kecil sayur-sayuran bumbu Bali dan saya kesengsem. Saya kembali ke rumah dan mencoba membuat masakan itu, berulang kali. Saat saya akhirnya cukup puas dengan kreasi saya, saya membawanya ke Simpang Asia, dan juru masak di sana mengenalkan saya pada kawannya yang orang Bali dan mahir memasak. Dia kemudian mengenalkan saya pada lima juru masak Indonesia lainnya, lalu 20 juru masak yang lain lagi, terus begitu. Mereka kemudian mengundang saya ke acara kawinan dan pesta keluarga mereka. Siasat saya adalah membuatkan masakan khas si juru masak di rumah. Mereka bakal tersanjung dan akhirnya ngasih tahu saya tips-tips memasak yang mereka punya. Inilah cara saya belajar memasak makanan khas Indonesia, dari satu pesta keluarga ke yang lain. Saya mendedikasikan lima tahun berturut-turut untuk memelajari hal tersebut.

Udang acar kuning.

Setiap resep tersimpan dalam kepala saya; saya tidak menggunakan buku masak papaun. Saya merasa seperti Keanu Reeves di The Matrix dan mengunduh resep-resep masakan ke kepala saya setelah melihat seorang nenek memasaknya. Terkadang saya bahkan bermeditasi untuk memvisualisasikan teknik dan resepnya. Terkadang, saya bahkan bertanya pada dewa-dewa, “Plis lah bantuin saya.” Karena itu semua, sekarang saya mengetahui 150 masakan Indonesia. Saya lumayan tradisional saat memasak, jadi saya menggunakan banyak bawang putih, cabai, kemiri, bawang merah, daun salam, belimbing, kunyit segar, dan rempah-rempah Indonesia lainnya yang intens. Walaupun saya mengganti gula merah (yang sebetulnya bahan masakan tradisional Asia Tenggara) dengan gula putih karena, ya, ini LA bossq. Saya mulai merambah bisnis katering karena katering di lokasi kerja sering bikin jengkel. Seringkali, rasanya hambar! Film pertama yang menggunakan jasa katering saya adalah 17 Again dengan Zac Effron. Saya menjadi peran pengganti untuk adegan berbahaya di film itu dan saya bertaruh dengan seorang rekan kerja bahwa saya bisa bikin masakan lebih enak ketimbang katering yang ada. Saya membawa sampel dan kru di sana menyukainya. Lalu saya menyediakan katering untuk kerja lembur selama tiga hari berturut-turut untuk film selanjutnya, Alice in Wonderland. Nah, ada tapi-nya: Tapi, saya belum pernah ke Indonesia. Tapi, kalau kamu kasih tahu fakta itu ke pelanggan saya yang orang Indonesia yang pesan makanan ke saya sehari-hari, mereka enggak bakal percaya. Untungnya, di LA ada komunitas Indonesia yang besar, sekitar 150,000 penduduk menurut konsensus terbaru. Suatu hari, kalau saya bisa menemukan rekan yang sreg, saya bakal membuka restoran betulan. Sementara itu, saya bakal terus menjadi Steve si Juru Masak Berbahaya.

Kisah ini diceritakan pada Javier Cabral, yang pernah ke Indonesia dan sepakat Steve jago bikin masakan Indonesia.