Human Rights Watch: Kasus Ahok Adalah 'Kemunduran Bagi Demokrasi Indonesia'

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Human Rights Watch: Kasus Ahok Adalah 'Kemunduran Bagi Demokrasi Indonesia'

Keputusan polisi menjerat Gubernur DKI itu dengan pasal penistaan agama yang kontroversial punya implikasi luas. Pasal ini sejak 1968 selalu digunakan untuk kepentingan politik, tapi tak ada yang seserius kasus Ahok.

*Artikel ini sebelumnya berjudul: 'Kasus Ahok Adalah Kemunduran Bagi Demokrasi Indonesia.' Penyesuaian judul untuk akurasi sumber kutipan.

Pegiat hak asasi manusia di Indonesia menyesalkan perkembangan kasus penistaan agama yang menimpa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama. Kasus yang ditangani Markas Besar Kepolisian RI itu dinilai menjadi preseden berbahaya bagi perlindungan minoritas serta kebebasan berekspresi di negara mayoritas muslim ini.

Iklan

"Kasus ini merupakan kemunduran," kata Andreas Harsono dari lembaga swadaya Human Rights Watch. "Perkembangan progresif di Indonesia yang kita saksikan sejak kejatuhan rezim Suharto seakan kembali ke nol."

Gubernur populer disapa Ahok itu menjadi tersangka pelanggaran pasal 156 tentang penodaan agama yang kontroversial di KUHP. Pangkal masalahnya adalah ucapan Ahok di Kepulauan Seribu saat menyitir maraknya surat Al Maidah ayat 51 di Al Quran digunakan untuk kepentingan politik. Kelompok muslim sebagian besar murka. Bahkan tokoh Islam moderat pun menyebut ucapan Ahok dalam kapasitasnya sebagai gubernur tidak etis.

Ucapan itu tempo hari menyulut unjuk rasa yang berakhir ricuh, diikuti lebih dari 150 ribu orang di Jakarta. Demonstran menuntut Ahok dipenjarakan atas kata-katanya.

Desakan demonstran berhasil memaksa Presiden Joko Widodo dan Kepolisian menanggapi serius dugaan penistaan agama yang menyangkut Ahok. Kepolisian, mengaku terbelah saat menyidik kasus ini, berada dalam situasi serba salah karena besarnya muatan politis dari kasus yang membelit sang gubernur. Kepala Kepolisian RI sampai menegaskan pihaknya tidak menyerah oleh desakan sebagian kelompok agama.

Pada akhirnya, polisi memilih meneruskan penyidikan. Ahok ditetapkan sebagai tersangka, dicekal ke luar negeri, namun tetap bisa berkampanye untuk pemilihan kepala daerah DKI yang digelar tahun depan.

Lepas dari sentimen serta tudingan bila kasus ini dipicu persaingan antar calon dalam pilkada Jakarta, Human Rights Watch menilai ada masalah besar yang dilupakan publik menyangkut penggunaan pasal penistaan agama. Pasal kontroversial itu semakin sering digunakan menjerat siapapun, termasuk seorang tokoh politik populer, beberapa tahun belakangan.

Iklan

"Ahok adalah sosok paling terkenal yang terjerat sepanjang sejarah penggunaan pasal ini di Indonesia," kata Harsono. "Di masa lalu, yang biasanya dijerat rata-rata tokoh agama minoritas. Orang-orang biasa."

Pasal penistaan agama lahir di era Soekarno. Namun selama era kekuasaan presiden pertama Indonesia ini, tidak pernah ada laporan ke polisi menggunakan pasal itu. Ketika Suharto masih berkuasa, pasal penistaan agama hanya digunakan polisi delapan kali. Sementara pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, di era keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi, pasal ini malah semakin sering digunakan. "Mencapai 200 kali dalam kurun 10 tahun pemerintahannya," kata Harsono. Dari jumlah pelaporan itu, 50 kasus di antaranya berlanjut ke pengadilan.

Peluang Ahok bebas, menurut Harsono, sangat tipis. "Tidak ada yang pernah dibebaskan dari tuntutan pasal penghinaan agama sejak 1968."

Momen unjuk rasa 4 November lalu. Foto oleh Iyas Lawrence.

Penetapan Ahok sebagai tersangka semakin memanaskan kontestasi menjelang pilkada—yang diikuti pula oleh anak sulung SBY sebagai kandidat pesaing Ahok.

Lebih dari itu, unjuk rasa umat muslim di Jakarta tempo hari sempat menyulut kekhawatiran munculnya kembali sentimen anti-etnis Cina. Ahok, tak bisa dipungkiri, tetap seorang sosok yang mewakili etnis Tionghoa asal Belitung dan penganut Kristen—status minoritas ganda—yang berhasil menjadi pemimpin politik hanya berselang 18 tahun sejak terjadi kerusuhan besar sektarian di pelbagai kota Indonesia menjelang kejatuhan Suharto.

Iklan

Momentum Ahok mewarisi tampuk gubernur—karena Jokowi terpilih menjadi presiden pada 2014—sempat dianggap positif bagi keterwakilan etnis minoritas dalam jagat politik Indonesia. Namun, demonstrasi pada 4 November lalu menyiratkan adanya sebagian elemen pengunjuk rasa yang membelokkan isu mengarah pada kebencian khusus kepada etnis Cina. Termasuk tudingan Ahok mewakili kepentingan bisnis Tiongkok.

Demikian pandangan Charlotte Setiadji, pakar sejarah komunitas peranakan Cina di Indonesia, yang kini bergiat di ISAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.

"Rasisme dan xenophobia di Indonesia masih bertahan di Indonesia," kata Setijadi. "Sentimen anti-Cina ini masih sangat mudah menyulut kemarahan massa. Bara dalam sekam ini yang tampaknya dipahami oleh beberapa kelompok kepentingan untuk menggoyahkan stabilitas politik."

Presiden Jokowi, beberapa jam setelah kerusuhan pecah di dekat Istana Negara, menyatakan ada "aktor politik" yang menunggangi protes. Beberapa aktivis dan komentator politik menuding SBY berada di balik semua kericuhan ini, tuduhan yang sudah berulang kali dibantah oleh presiden ke-6 Indonesia itu.

Apapun motif di baliknya, demonstrasi dan kasus Ahok merupakan kemunduran demokrasi di Tanah Air, menurut Yohanes Sulaiman, pengajar di Universitas Jenderal Achmad Yani. "Karena agama masih menjadi cara paling gampang untuk menyerang lawan-lawan politik," ujarnya.

Sejauh ini, Ahok masih populer dalam jajak pendapat menyangkut pilkada DKI, walau elektabilitasnya tergerus usai demonstrasi 4 November. "Walaupun Ahok tak berkurang popularitasnya sekalipun, kasus penistaan agama ini akan membuat orang semakin hati-hati saat membicarakan agama," imbuh Sulaiman.

Iklan

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah kebijakan-kebijakan pembangunan Ahok yang meminggirkan kalangan berpenghasilan rendah di Ibu Kota. Berulang kali, sebelum kasus penistaan agama muncul, Ahok dikecam pegiat perkotaan dan penduduk yang mengalami penggusuran.

Ian Wilson, akademisi dari Murdoch University di Australia, menyatakan faktor ketimpangan kebijakan pembangunan inilah yang dimanfaatkan sebagian aktor politik menjadi sentimen sektarian. Dia menilai Front Pembela Islam (FPI) berhasil memainkan peran sebagai salah satu organisator demonstrasi 4 November yang mengarusutamakan isu penistaan agama. Isu yang mudah tersulut dipicu ketidakpuasan rakyat kecil terhadap pola pembangunan Jakarta.

"Saya meneliti FPI selama bertahun-tahun, dan menurut saya kelompok ini sangat piawai menjalankan politik sektarian," ujarnya. Yang tak boleh dilupakan, FPI selama ini bergerak aktif, termasuk melakukan kegiatan sosial, di kampung-kampung termiskin Jakarta.

Kericuhan di tengah unjuk rasa damai 4 November. Foto oleh Iyas Lawrence.

Indikasi lainnya datang dari komunitas Luar batang, di Jakarta Utara. Warga tidak pernah mempersoalkan identitas Ahok sebagai seorang keturunan Tionghoa. Namun sebagian warga terlibat dalam kerusuhan di Penjaringan—berlangsung terpisah dari demonstrasi di Istana Negara—karena merasa memperoleh momentum melawan balik kebijakan Ahok yang menggusur perkampungan mereka pada Maret lalu.

"Sebagian warga Luar Batang lainnya pun kemudian sangat mengikuti isu penistaan agama. Bukan atas faktor fanatisme beragama saja, namun karena ini kesempatan membalas dendam pada Ahok," kata Wilson yang juga melakukan penelitian di Luar Batang.

Iklan

Kericuhan politik di Jakarta beberapa pekan belakangan menyerupai fenomena yang mewarnai pemilihan presiden Amerika Serikat. Terpilihnya Donald Trump menggambarkan bagaimana sebagian warga yang terpinggirkan dari kue perekonomian melawan balik. Artinya, kalangan menengah ke bawah kini berhadap-hadapan langsung dengan kelas menengah yang banyak mendukung Ahok.

"Sebagian warga miskin tertarik pada FPI karena munculnya wacana liberalisme dan nilai-nilai kelas menengah Indonesia tak lagi menghormati mereka, tidak lagi menganggap mereka ada," kata Wilson. "Ahok ada di tengah pusaran benturan nilai-nilai itu dan FPI segera menggunakannya sebagai bahan bakar."

Isu penistaan agama dan pertentangan kelas hanya satu dari sekian pertaruhan yang kini menjelang masyarakat majemuk Indonesia. Pilkada DKI sekarang digunakan partai politik di negara ini menjadi sarana mengantarkan tokoh politiknya menguasai jabatan yang lebih tinggi: presiden. Kesuksesan Jokowi menjadi cetak biru yang digunakan oleh seluruh partai yang mengharapkan kejayaan politik pada 2019. Artinya jika Ahok menang, peluangnya pindah jabatan ke Istana Negara lebih terbuka. Demikian pula bagi dua calon gubernur lainnya.

Dan tidak bisa dilupakan, Ahok sebetulnya sudah berkali-kali digoyang oleh bermacam kelompok. FPI pernah terlibat dalam demonstrasi menolak reklamasi teluk Jakarta beberapa bulan lalu. Namun saat itu gerakan protes tidak berdampak luas karena isu yang diangkat masih berkutat soal kebijakan pemerintah.

Kini, setelah polisi resmi menetapkan Ahok sebagai tersangka, jalan buat menyerang sang gubernur petahana terbuka lebar. Kelompok Islam garis keras dapat memanfaatkannya kapanpun, termasuk bila Ahok nantinya memenangi pilkada atau dibebaskan dari dakwaan.

Situasi inilah yang paling mencemaskan Harsono. Pasal penistaan agama ternyata berhasil digunakan menggoyang pilar-pilar demokrasi, di tengah panasnya momen menjelang pilkada.

"Semua ini pada akhirnya adalah manuver politik," ujarnya. "Pasal penistaan agama selalu digunakan untuk motif politik."