Menyambangi Luar Batang, Pusat Gerakan Anti-Ahok
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Menyambangi Luar Batang, Pusat Gerakan Anti-Ahok

Komunitas di Jakarta Utara ini merupakan salah satu motor gerakan paling gigih berupaya menggulingkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Kami mendatangi warga dan tokoh masyarakat demi memahami akar perlawanan mereka.

Jalan sempit di sekitar Masjid Luar Batang sangat sepi ketika saya tiba. Tak ada orang ataupun kendaraan bermotor lalu lalang. Padahal dulunya masjid ini merupakan pusat kegiatan masyarakat hingga di kecamatan sekitarnya. Masjid bersejarah di Jakarta Utara tersebut berabad-abad ramai dikunjungi warga, terutama pemuda setempat. Situasi berubah setelah pemerintah aktif mewacanakan rencana penggusuran kawasan pemukiman sekitar Luar Batang. Kini, pemukiman Luar Batang—yang telah berdiri sejak abad 17—menjadi titik pusat salah satu perseteruan sosial dan politik terbesar di negeri ini.

Iklan

"Sudah engga ada anak muda nongkrong di sekitar sini," kata seorang perempuan paruh baya, penjual minuman di dekat masjid. "Mereka pada takut sama intel."

Penduduk kampung Luar Batang saat ini merupakan salah satu gerakan kolektif paling gigih melawan Gubernur Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama. Masyarakat Luar Batang mulai menunjukkan ketidaksukaan secara terbuka pada Ahok, setelah April lalu pemerintah DKI mengumumkan tenggat penggusuran lebih dari 1.000 penduduk di kawasan Pasar Ikan, yang sangat dekat posisinya dari Masjid Luar Batang. Pejabat DKI Jakarta merasa punya alasan kuat menggusur warga. Pemprov mengaku khawatir pada ancaman banjir yang mengancam Pasar Ikan dan pemukiman Luar Batang, sebab data menunjukkan adanya kenaikan permukaan laut. Kawasan itu, menurut pemprov, paling terancam penurunan ketinggian tanah di Jakarta sebanyak 25 cm per tahun.

Pemerintahan Ahok bukan cuma berencana menggusur kedua pemukiman tersebut. Pemprov DKI hendak mengubah Pasar Ikan menjadi lebih ramah turis, bagian dari promosi wisata bahari di utara Jakarta. Sementara Masjid Luar Batang akan diubah statusnya menjadi situs keagamaan yang dilindungi. Skenario pemerintah dari penggusuran ini pada akhirnya mendorong pariwisata sekitar Kota Tua, sekaligus mengurangi banjir tahunan yang melanda ibu kota.

Namun penduduk Pasar Ikan dan Luar Batang menolak meninggalkan kampung halaman mereka. Lebih dari 4.000 aparat pemerintah—gabungan dari personel militer, polisi, dan Satpol PP—mendatangi Pasar Ikan pada April 2016, merespon protes warga yang berlangsung selama berminggu-minggu sebelumnya. Daerah ini akhirnya tetap digusur, sekarang hanya tersisa puing-puing di sana.

Iklan

Beberapa warga memutuskan bertahan dengan tenda di kawasan Pasar Ikan.

Adapun kawasan Luar Batang urung digusur, akibat macetnya pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) yang dimaksudkan pemerintah DKI menjadi lokasi rumah baru warga. Seiring tertundanya rencana penggusuran, perlawanan warga Luar Batang bertambah sengit. Ketika saya mengunjungi sisa pemukiman ini, masyarakat Luar Batang menjadi salah satu penentang Ahok yang paling keras. Warga setempat membentuk organisasi masyarakat yang disebut Laskar Pembela Luar Batang. Di sebuah tembok, terpampang spanduk bertuliskan, "Jangan hancurin kampung kami dengan uang". Di berbagai sudut terpajang spanduk-spanduk dan coretan bernada serupa.

Perseteruan ini lambat laun menjadi isu skala nasional. Jakarta bersiap menggelar pemilihan gubernur yang sangat sengit antara Ahok, selaku petahana, dengan dua calon gubernur lainnya. Ahok sedang menghadapi ancaman penjara selama lima tahun akibat kasus penistaan agama, setelah dia mengkritik interpretasi Al Quran tentang larangan umat Islam memilih pemimpin non-Muslim di Pulau Seribu. Kasus penistaan agama itu memicu unjuk rasa lebih dari 100 ribu orang pada 4 November lalu.

Unjuk rasa damai itu berubah menjadi protes yang dibumbui sentimen sektarian dan rasis. Pada malam demonstrasi 4 November, gerombolan orang menyerang pengendara sepeda motor dan menjarah sebuah mini market di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Beredar kabar massa berupaya merangsek masuk kediaman pribadi Ahok di Pantai Mutiara, yang dihuni banyak warga etnis Tionghoa. Kericuhan ini sempat menimbulkan kekhawatiran di antara penduduk keturunan Tionghoa, mengingatkan mereka pada tragedi Mei 1998. Polisi segera menangkap beberapa tersangka provokator kericuhan. Setelah pemeriksaan beberapa jam, juru bicara kepolisian menyatakan pelaku kerusuhan di Penjaringan berasal dari Luar Batang. Ketua Laskar Pembela Luar Batang sempat diperiksa oleh polisi, namun segera dilepas akibat kurangnya bukti.

Iklan

Daeng Mansyur Amin membantah pernyataan polisi. Dia adalah tokoh masyarakat sekaligus Sekretaris Masjid Luar Batang. Mansyur mengatakan tuduhan polisi sebagai usaha pemerintah mendiskreditkan warga Luar Batang. Tak ada bukti di lapangan, versi mereka, yang mendukung pernyataan kepolisian.

"Jangan hinakan kami dengan penjarahan ya. Kita ini bergerak atas dasar nama agama. Laskar Luar Batang lahir dalam rangka melawan kezaliman. Saat penjarahan terjadi, saya tanya orang [Penjaringan] saja, dia engga meyakini bahwa itu orang Luar Batang karena security-nya [minimarket] enggak kenal."

Mansyur, mengaku mewakili seluruh komunitas Luar Batang, mengatakan pihaknya hanya membantu mengatur transportasi dan logistik peserta demonstrasi 4 November yang berpusat di sekitar Istana Negara. Kekerasan dan penjarahan yang terjadi bukan tanggung jawab mereka. Keterangan itu sudah disampaikan Mansyur dan kawan-kawannya kepada polisi.

"Kita jawab dengan apa adanya bahwa kalau dibilang menggerakan masyarakat luar batang untuk demo membela Al Quran, iya," ujarnya

Pernyataan Mansyur menyiratkan banyak hal. Perlawanan komunitas Luar Batang dimulai dari masalah ekonomi dan hak asasi warga atas tempat tinggal. Seiring bertambah panasnya perselisihan warga yang terancam digusur dengan pemerintah DKI—ditambah masuknya kelompok advokasi warga dari kalangan ormas Islam—pertempuran ini mendadak masuk ke wilayah yang sangat sensitif: agama.

Iklan

"Buat kami, warga Luar Batang memang kampung yang punya sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap kekejaman," kata Mansyur.

Ian Wilson menyaksikan pergeseran orientasi perlawanan warga Luar Batang dengan mata kepalanya sendiri. Saat ini, banyak orang dalam komunitas Luar Batang menganggap tuduhan penistaan agama sebagai alat paling efektif melengserkan Ahok dari kursi DKI-1. Wilson, akademisi dari Murdoch University, Australia, tinggal di Luar Batang saat mengerjakan riset tentang penggusuran di Jakarta. Isu agama ini, menurut Wilson, dimanfaatkan secara sadar oleh warga untuk melawan balik kebijakan pemprov mengubah tata ruang Luar Batang dan Pasar Ikan.

"Saya rasa tak semua orang mengerti apalagi memperhitungkan dampak yang lebih luas dari politisasi agama ini," ujarnya. "Awalnya mereka cuma tak suka Ahok, biang segala masalah dalam hidup mereka. Mereka ingin melihat Ahok jatuh. Kalau memang jalannya lewat tuduhan pencemaran agama, bagi mereka itu bukan masalah."

Menurut perkiraaan Wilson, komunitas Luar Batang mulai mengadopsi pandangan politik bernada rasis dan sektarian setelah beberapa ormas Islam menawarkan strategi protes baru. Tujuannya agar skala protes membesar dan tuntutan mereka lebih diperhatikan oleh pemerintah maupun media massa. Kelompok Islamis itu, salah satunya Front Pembela Islam, sangat aktif mendampingi warga Luar Batang. Strategi baru itu terbukti berhasil mendorong gagasan melengserkan Ahok yang awalnya berkutat hanya di Jakarta, menjadi sebuah isu nasional. Pelan-pelan kemarahan komunitas Luar Batang pada Ahok mulai diwarnai sentimen rasial. Sang gubernur, dalam beberapa percakapan warga, dituding mengusung kepentingan bisnis pemodal asal Tiongkok saat menggusur pemukiman di utara Jakarta.

Iklan

"Selalu ada rasisme yang tersembunyi di dalam gerakan ini," kata Wilson. "Ada seorang politikus dari etnis Cina yang berani bicara blak-blakan dan kerap ceplas-ceplos. Bagi sebagian orang, fakta ini menambah rasa sakit dan amarah yang mereka rasakan. Belum lagi, selalu ada orang yang siap mengipasi kemarahan mereka dengan teori-teori konspirasi."

Warga di salah satu puing-puing Pasar Ikan.

Mansyur membantah argumen yang menyatakan protes warga Luar Batang terkait agama dan etnis Ahok. "Kami tidak membenci Ahok karena dia Tionghoa, kami tidak membenci Ahok karena dia Kristen, tapi karena kebijakannya."

Bagi Mansyur, penggusuran maupun sengketa politik kali ini bagian dari sejarah panjang perjuangan komunitas Luar Batang. Pemukiman ini didirikan pada abad 17, muncul secara organik di luar pagar kayu Kongsi Dagang Belanda (VOC). Batas itu dulunya berfungsi menghalangi perahu tanpa izin milik penduduk setempat, supaya tidak berlabuh di kawasan pelabuhan yang dikuasai VOC. Alih-alih menghalangi perahu penduduk masuk pelabuhan, batas kayu itu belakangan melahirkan sebuah perkampungan di sekitarnya.

"Buat kami, Luar Batang memang kampung yang punya sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap kekejaman," ujarnya.

Masjid Luar Batang adalah bangunan yang menyatukan warga. Masjid tua itu, menurut catatan sejarah, adalah lokasi Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk asli Batavia. Warga setempat percaya nama kampung mereka, Luar Batang, diambil dari kejadian mistis menghilangnya jenazah sang habib dari keranda (kurung batang) ketika hendak dikebumikan. Nama Luar Batang bisa berarti "di luar keranda."

Puing-puing di bekas lokasi Pasar Ikan.

Satu lagi pendapat yang lebih banyak diterima tentang asal usul nama Luar Batang, adalah kajian sejarah yang sudah dijabarkan sebelumnya, yang menyatakan nama itu merujuk pada pemukiman di luar batas (batang) kayu VOC.

Mansyur berdiri di luar Masjid Luar Batang, ketika mengajak saya membahas penggusuran Pasar Ikan. Kawasan itu, terletak hanya beberapa ratus meter dari tempat kami berdiri. Puing-puing yang terlihat dari sana mewakili apa yang ditakuti oleh penduduk Luar Batang.

"Pasarnya dibantai, perkampungannya dibantai," ujarnya. Suaranya pelan, cenderung halus, saat mengucapkan kata-kata itu. "Anda bisa bayangkan kalau anda dalam waktu sekejap kehilangan rumah dan kehilangan mata pencaharian."