Perlindungan Satwa

Pamer Konten Satwa Liar di Medsos Membahayakan Upaya Konservasi Indonesia

Di banyak negara, tren memamerkan satwa liar di media sosial justru memicu perdagangan liar dan perburuan satwa tersebut. Peran satwa di ekosistem aslinya juga hilang.
Tren pamer konten satwa liar ala alshad ahmad membahayakan konservasi di Indonesia
Tangkapan layar video keluarga Raffi Ahmad dan Alshad Ahmad yang berswafoto di kandang harimau. Sumber foto: Akun Youtube RANS Entertainment

Akhir April 2022, media sosial diramaikan dengan konten yang diunggah seorang pesohor, Alshad Ahmad, yang ogah mengembalikan tiga harimau peliharaannya ke alam liar. Dia berdalih upaya mengoleksi binatang liar sebagai bagian dari upaya pelestarian satwa, karena hutan yang menjadi habitat bagi sebagian satwanya tengah ‘dalam bahaya’.

Iklan

Bukan hanya harimau, Alshad juga memelihara satwa liar yang dilindungi seperti binturong, rusa, hingga elang. Binatang-binatang ini kerap dipamerkan Alshad melalui akun Youtubenya, yang ditonton jutaan orang. Dia juga membawa satwa liar tersebut saat melakukan sejumlah aktivitas seperti berbuka puasa, bahkan saat menyambangi anak sepupunya, Raffi Ahmad, yang baru lahir.

Selain Alshad, media sosial juga jadi ajang sejumlah orang untuk memamerkan aktivitasnya dengan satwa liar. Misalnya, akun Audrey A, mengunggah video beruk peliharaannya tengah melahap nasi padang, pisang goreng, hingga es krim. Video ini meraup 808 ribu penonton.

Ada juga selebritas Irfan Hakim, melalui akun Youtube deHakims Aviary, yang kerap memamerkan peliharaan burung-burungnya. Beberapa di antaranya termasuk kategori satwa dilindungi.

Satwa liar bukan untuk dikoleksi

Screen Shot 2022-06-16 at 15.05.03.png

Peneliti satwa liar yang juga asisten direktur Center for Orangutan Protection (COP), Indira Nurul Qomariah, menyayangkan ulah beberapa pesohor yang memaksa satwa liar untuk berperilaku seperti manusia.

Menurut dia, aksi memamerkan beragam tindakan satwa liar yang tidak sesuai kebiasaan alamiahnya tak sesuai dengan prinsip kesejahteraan hewan. Kesejahteraan tersebut, dalam konsep etika lingkungan, terjabar dalam lima poin kebebasan (five freedoms). Salah satunya poinnya menegaskan bahwa satwa seharusnya bebas mengekspresikan kebiasaan alamiahnya.

Iklan

“Ini bukan masalah legal, tapi yang ditampilkan di media sosial. Misalnya monyet dikasih baju disuruh duduk. itu perilaku yang tak normal. Satwa harus diperlakukan sesuai perilaku alaminya,” kata Indira, dalam Instagram live The Conversation Indonesia, “Satwa Liar: Dilindungi atau dikoleksi?” pada Selasa, 14 Juni 2022.

Indira mengingatkan aksi pamer tersebut dapat berbahaya bagi kelangsungan konservasi satwa liar Indonesia. Pasalnya, tak sedikit warganet yang berkomentar seputar keinginannya untuk melakukan hal yang sama. Apalagi, video tersebut ditonton jutaan orang.

Beberapa kolektor satwa memang mencoba melakukan upaya reproduksi peliharaannya. Namun, dia menganggap, konservasi bukan hanya sekadar menambah jumlah. Sebab, satwa liar memiliki fungsi yang terkait erat dengan ekosistem aslinya.

Misalnya, harimau di hutan berperan sebagai predator atas babi – hewan yang kerap memakan tanaman pertanian ataupun perkebunan. Nah, berkurangnya jumlah harimau akhirnya meningkatkan populasi babi sehingga menambah beban bagi petani atau pekebun.

Contoh lainnya adalah aktivitas orangutan yang bermanfaat terhadap penyebaran benih-benih tanaman tertentu di habitatnya. Ada pula kelelawar pemakan buah (kalong), yang berjasa pada penyerbukan durian.

“Kalau (satwa liar) dipelihara, peran ekologinya hilang,” kata Indira.

Argumen Indira seputar dampak satwa liar yang menjadi ‘konten’ turut diperkuat analisis Zara Bending, peneliti Center for Environmental Law dari Macquarie University, Australia. Dalam telaahnya, Zara memaparkan tren memelihara berang-berang (otter) di Jepang yang dipamerkan di media sosial justru memicu perdagangan liar dan perburuan satwa tersebut. Hal itu membuat keberadaan mereka menjadi terancam.

Iklan

“Ini juga termasuk ‘selfie satwa liar’ yang dibagikan di media sosial oleh turis, kolektor hewan peliharaan, dan selebritas,” tulis Zara dalam artikelnya di The Conversation.

Mencintai tak mesti memiliki

Peneliti satwa liar sekaligus salah satu pendiri lembaga penelitian dan pemberdayaan konservasi di Sulawesi, PROGRES, Sheherazade, turut mengamini pendapat Indira. Menurut perempuan yang kerap disapa Shera, aspek paling penting dalam konservasi adalah pembangunan kesadaran masyarakat untuk berkontribusi dalam upaya konservasi.

Shera mengatakan, kesadaran ini perlahan-lahan bisa dibentuk melalui gerakan sederhana di tingkat individu. Misalnya dengan berkomitmen untuk tidak memelihara satwa liar – bukan sebaliknya.

Kecintaan warga terhadap konservasi dapat dipupuk dengan mengunjungi taman nasional ataupun mengikuti kegiatan seperti jelajah burung (bird watching) untuk melihat aktivitas satwa langsung di habitatnya. Shera juga merekomendasikan gerakan konservasi warga yang bisa menjadi sarana kaum muda berkontribusi untuk kelestarian satwa liar.

Di internet, warga bisa turut berkontribusi dengan melaporkan berbagai konten yang tak mengindahkan etika kesejahteraan hewan, termasuk satwa liar. Cara lainnya adalah dengan menandatangani petisi yang terkait dengan perlindungan satwa.

Namun, langkah ini tak bisa menjadi kartu truf untuk kesuksesan upaya konservasi. Upaya penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan yang berkelanjutan tetap harus dilakukan pihak terkait seperti pemerintah, swasta, perguruan tinggi, hingga masyarakat sekitar.

“Kita harus memahami mencintai (satwa liar) tak harus memiliki,” tutur dia.


Robby Irfany Maqoma adalah Editor Lingkungan di The Conversation Indonesia. Dalam penulisan artikel ini, Robby mewawancarai Sheherazade Jayadi dari PROGRESS Sulawesi serta Zara Bending dari Centre for Environmental Law, Macquarie University

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.