Layanan Streaming

Netflix Merugi Jadi Korban Kesuksesan Fitur Ciptaannya Sendiri

Netflix memelopori transformasi digital industri pertelevisian dan perfilman, tapi sekarang platform itu harus bersaing di pasar yang diciptakannya sendiri.
Tangkapan layar laman Stranger Things di Netflix
Tangkapan layar laman Stranger Things di Netflix.

Harga saham Netflix anjlok 35 persen setelah kehilangan 200.000 pelanggannya sepanjang triwulan pertama 2022. Untuk menyiasati kerugian tersebut, platform streaming online ini mengumumkan rencana merombak model bisnis. Perusahaan berniat menindak praktik berbagi akun dan password kepada orang-orang yang tidak tinggal satu rumah, yang menjadi alasan utama Netflix tak memperoleh pelanggan baru.

Iklan

Netflix memang belum sekarat. Hanya saja, bisnisnya lesu karena kejenuhan pasar. Perusahaan yang memelopori transformasi digital bagi industri pertelevisian dan perfilman dunia, kini menjadi korban perubahan yang diciptakannya dulu. Banyaknya pesaing baru yang bermunculan semakin menggeser Netflix dari kursi kekuasaan.

Para pesaing menyediakan konten arsip yang tak terhingga jumlahnya, dan merupakan hasil merger dengan perusahaan-perusahaan berpengaruh di dunia — seperti Disney+, Apple TV+ dan Amazon Prime — sehingga mereka tak perlu pusing bakar duit demi menggaet penonton. Posisi Netflix semakin dipersulit oleh kenyataan sebagian besar stafnya kurang jago beriklan.

Sejujurnya, kehilangan subscriber yang sedang dialami Netflix bukanlah hal baru. Sejak perusahaan itu menawarkan layanan streaming film dan program televisi secara online, pelanggan lama menebak biaya langganannya akan naik — dulu sekitar 9 dolar AS, setara Rp130 ribu. Dan benar saja, harganya naik satu dolar pada 2014. Ayah saya sampai bersumpah akan berhenti langganan, tapi untung saja pelanggan lama sepertinya bisa tetap membayar $9 selama dua tahun.

Iklan

Delapan tahun kemudian, Netflix memiliki empat jenis langganan. Pilihan mobile menawarkan harga ekonomis, hanya Rp54.000 per bulan. Akan tetapi, kamu hanya bisa menonton lewat ponsel dengan resolusi standar. Selanjutnya ada basic seharga Rp120.000. Resolusinya sama dengan mobile, tapi kamu juga bisa menonton di komputer dan televisi. Pilihan termahal seharga Rp186.000 menawarkan 4K + HDR dan bisa menayangkan film di beberapa perangkat pada waktu bersamaan. (Layanan streaming lain tidak menagih biaya tambahan untuk menonton dengan resolusi tinggi.)

Alasan lain ayah saya tidak jadi berhenti langganan adalah Netflix memiliki semua film favoritnya. Tapi bagaimana dengan sekarang? Apakah orang bersedia langganan sendiri-sendiri, atau dikenakan biaya tambahan karena berbagi akun, apabila kebanyakan tontonan populer tak lagi beredar di Netflix?

Netflix harus bisa bersaing jika ingin mempertahankan eksistensi pada pasar yang diciptakan olehnya. Belakangan ini, perusahaan semakin bergantung pada konten-konten original — tontonan Netflix tidak jelek, tapi cukup membosankan — karena Paramount, NBC, Disney, HBO dan Warner Brothers telah menarik sebagian besar kontennya dari platform tersebut. 

Pesaing baru bahkan bisa meraup keuntungan besar, meski jarang bakar duit kayak Netflix. Apple, misalnya, berhasil meraih Oscar tahun ini berkat film yang sangat dipuji-puji. Langganan Apple TV+ naik 25 persen setelah film tersebut menyabet piala Oscar di kategori Best Picture. Film jebolan Netflix belum pernah memenangkan kategori tersebut. Platform ini juga menghamburkan $30 juta (Rp433 miliar) untuk membuat satu episode Stranger Things, serial yang saya kira sudah lama rampung.

Netflix masih akan terus bertahan, tapi perusahaan tampaknya tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Netflix tak lagi mendominasi industri streaming digital.