Konflik Rusia-Ukraina

Industri Migas AS Tanpa Malu Berusaha Cari Untung dari Perang di Ukraina

Lembaga pelobi industri minyak Amerika merasa dapat kesempatan meraup untung dari pelonggaran kebijakan, ketika Rusia sebagai raksasa energi di Eropa disibukkan dengan konflik.
Pelobi Industri Migas Amerika Serikat Berusaha Cari Untung dari Perang di Ukraina
Foto ilustrasi bisnis migas oleh FREDERIC J. BROWN/AFP via Getty Images

Institut Perminyakan Amerika (API) berusaha mencari keuntungan sesaat di tengah konflik yang sedang berkobar antara Rusia-Ukraina. Kisruh di Eropa Timur itu, menurut API, merupakan kesempatan baik untuk menuntut pelonggaran kebijakan di sektor migas, sehingga mereka tidak diatur emisi karbon atau peduli pada perubahan iklim.

Iklan

Melalui thread di Twitter yang diunggah pada 23 Februari 2022, kelompok pelobi itu merilis “rekomendasi kebijakan” untuk memastikan keamanan pasokan migas bagi pemerintah Amerika Serikat. Jika Rusia serius menyerang Ukraina, maka produksi migas dunia akan terganggu, mengingat status mereka sebagai salah satu pemasok gas alam terbesar dunia saat ini.

API, yang mewakili ratusan perusahaan sektor migas, menganggap di tengah momen perang antara Rusia-Ukraina, Gedung Putih wajib memberi kelonggaran bagi pemain minyak di AS melakukan pengeboran serta mencari sumur minyak baru di daerah zona hijau yang selama ini dilindungi.

Permintaan lain dari API adalah agar sektor migas di Amerika Serikat tidak lagi diregulasi secara ketat dalam hal emisi karbon. Perlu diingat, sektor migas di negara manapun merupakan salah satu faktor yang mempercepat terjadi perubahan iklim, sehingga industri ini termasuk yang aktif menentang segala bentuk aturan untuk transisi ke energi terbarukan.

Rangkaian twit dari API itu tentu saja segera panen hujatan di kolom komentarnya. Netizen langsung menyadari kalau rekomendasi API secara tidak langsung hendak menyatakan, karena Rusia sibuk perang, maka AS harus menyediakan peluang bagi perusahaan migas dalam negeri untuk cari untung di pasar internasional. Tak hanya itu, API juga dianggap parasit karena memanfaatkan situasi perang supaya industri mereka diizinkan beroperasi tanpa harus terlalu peduli pada lingkungan.

Iklan

“Selamat, inilah yang disebut sebagai kapitalisasi bencana 👏,” ujar salah satu pengguna Twitter merespons thread tersebut

“Pemain migas ini cuma peduli pada duit di tengah ancaman perang antara Rusia dan Ukraina,” tulis akun Twitter lainnya.  

Akibat keputusan Vladimir Putin menyerang Ukraina, negara-negara besar menjatuhkan sanksi ekonomi berlapis. Jerman, di antaranya, menunda kelanjutan pembangunan proyek Nord-Stream 2 yang diniatkan sebagai penyalur gas dari Rusia ke kawasan Eropa Barat. Penundaan proyek itu akan memukul perekonomian Rusia, namun dianggap sebagai peluang bagi pemain migas Amerika karena mereka bisa jadi alternatif pemasok energi bagi Benua Biru.

API sendiri, tanpa malu-malu mengakui memang itu harapan mereka jika sampai pecah perang yang menganggu pasokan energi Eropa. “Akan lebih baik jika Amerika yang memimpin pasokan energi bagi Eropa,” ujar Mark Green, salah satu peneliti API, dalam kajian yang terbit pada 17 Februari lalu.

Andai proposal API tidak dituruti pemerintah AS sekalipun, pemain migas di Negeri Paman Sam sudah mendulang untung. Saham perusahaan migas Amerika Serikat melonjak drastis pada akhir sesi perdagangan bursa Dow Jones pada 24 Februari. Harga minyak juga sudah melambung akibat invasi Rusia ke Ukraina.

Penulis sekaligus aktivis isu lingkungan Kare Aronoff, dalam kolom opini terbarunya, menyatakan negara-negara Eropa justru harus memanfaatkan situasi buruk di Eropa Timur sebagai tanda untuk mencari alternatif selain migas. Transisi ke energi terbarukan akan membuat Eropa tak lagi terikat pada dominasi Rusia.

“Jika kita terus mempertahankan ketergantungan pada energi fosil, maka setiap konflik yang melibatkan negara produsen migas akan jadi komoditas politik,” tulis Aronoff. “Kita harus menyadari, pemain migas sebetulnya menanti-nanti terjadi perang, karena mereka bisa mendapat keuntungan dari gangguan pasokan migas di dunia.”