Opini

Daripada Parno Kata ‘Anjay’ Bakal Merusak Moral Bangsa, Mari Kita Serius Belajar Bahasa

Yth. Penjaga moral bahasa Indonesia, sebenernya kalian tahu enggak sih apa yang kalian omongin? Berikut argumen balasan menolak imbauan berhenti pakai kata 'anjay' dari seorang polisi bahasa.
Komnas Perlindungan Anak mengimbau masyarakat tak lagi menggunakan kata anjay
Ilustrasi larangan memaki via akun Flickr Roger Gregory/lisensi CC 2.0

Belum sembuh trauma akibat nonton so-called dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara demi menulis ulasannya buat VICE, menyusul video viral lain yang sama kacaunya. Tontonan yang saya maksud adalah video YouTube “NGOMONG ANJAY BISA MERUSAK MORAL BANGSA!!!” buatan Lutfi Agizal. Sayang sekali, video jelek ini tak bisa diabaikan karena damage-nya yang luar biasa. Anjay, (((damage))). 

Sejak Sabtu (29/8), video tersebut beserta aduan Lutfi via media sosial kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendominasi headline media massa. Merespons aduan tersebut, Komnas PA lantas bikin edaran yang isinya mengimbau khalayak agar tak lagi memakai kata anjaySurat ini ironis banget. Mencoba ngomongin bahasa, suratnya sendiri kalau mau diulas secara kebahasaan, bisa jadi satu artikel sendiri. Skip aja.

Iklan

Yang perlu kita tahu, surat tersebut ingin menyatakan bahwa Komnas PA menyadari kata anjay, pelesetan dari anjing, adalah makian yang berpotensi dianggap ofensif sama yang ngedengerin. Eksesnya, jika anjay diutarakan kepada anak-anak, mungkin-mungkin saja penuturnya dianggap melakukan kekerasan verbal berujung ancaman pidana.

Sebagai biangnya headline, sudah menjadi tugas saya di VICE untuk menyaksikan video “NGOMONG ANJAY BISA MERUSAK MORAL BANGSA!!!” buah karya Lutfi Agizal. Sesudah menonton tayangan yang dilabeli “edukasi” tersebut, sebagai orang yang sering dikatai teman tongkrongan sebagai “polisi bahasa”, saya merasa perlu mengedukasi Lutfi balik.

Lutfi harus tahu, videonya yang bertagar #EdukasiLihatAjaDulu sudah tidak masuk akal sejak pembukaan. Dari banyak tagline yang tampil bergantian di pembukaan video, ada kata “Tidak menghakimi” yang jelas berkebalikan 180 derajat dari isi video kali ini. Sejak awal, Lutfi sudah pasang posisi bahwa kata anjay adalah kata yang buruk. Sikap ini konsisten sampai akhir meski pakar bahasa yang ia wawancarai mencoba menetralisir pandangannya.

Lucunya, semangat pemurnian moral berbahasa yang dibawa Lutfi tidak sejalan dengan keterampilan berbahasanya. Misalnya, saat ia bilang ingin membahas “kalimat viral”. Contoh kalimat viral itu, mengutip Lutfi, adalah “anjayanjirbgst yang artinya, menurut kami adalah sebuah kata-kata yang kasar”. 

Iklan

Lutfi yang baik. Pertama, anjayanjir, dan bangsat itu adalah kata, bukan kalimatAnjay mana boleh disebut sebagai kalimat, kan yang namanya kalimat butuh salah satu dari dua syarat ini: terdiri dari subjek dan predikat, atau kalau enggak, merupakan kata atau rangkaian kata yang ditutup dengan titik.

Lutfi yang baik juga perlu berlatih menjadi pewawancara yang lebih baik. Tahap yang paling dasar ya dengan menyimak betul-betul perkataan narasumber. Kalau Pak Dr. Tommi Yuniawan, M.Hum. mengatakan dirinya doktor ilmu pendidikan bahasa, jangan dipelintir jadi pakar tata bahasa. Kalau Pak Tommi bilang ia dosen di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes, jangan bilang, “Oh, di Kaprodi Bahasa dan Sastra Indonesia”. Dan kalau Pak Tommi bilang lagi bahwa prodi itu ada di bawah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, jangan dibalik jadi “Sastra dan Bahasa Indonesia” dong.

Untungnya, Pak Tommi ini sopan sekali. Melihat Lutfi sejak awal sudah dipenuhi prasangka bahwa kata anjay tidak bermoral, ia berkali-kali minta maaf setiap akan mengucapkan anjay. Artinya Pak Tommi memilih diksinya dengan penuh penghormatan kepada Lutfi. Tapi saya juga enggak bisa nyingkirin perasaan, kayaknya Pak Tommi ini geli sendiri sama pewawancaranya. Masak Lutfi bilang dia ingin “berkonsultasi tentang bahasa-bahasa Indonesia kepada Bapak”. Ada-ada aja.

Lagian, meminta Tommi menegaskan anjay bersinonim dengan anjing itu salah sasaran. Siapa yang harus ditanya? Tentu pengguna katanya, yaitu (menurut Lutfi) para influencer yang memopulerkan kata ini di kalangan anak-anak. Merekalah yang harusnya jadi subjek “riset” Lutfi. Lutfi juga harus tunduk sama kata mereka apabila anak-anak dan influencer itu enggak tahu anjay = anjing terus punya arti versi mereka sendiri. 

Iklan

Maksud saya begini. Dari ratusan juta penduduk Indonesia, sangat sedikit yang tahu staf itu berarti sekelompok petinggi yang membantu pekerjaan sang kepala. Kalau ngomongin makna denotatif paling asali, semua orang yang nulis “salah satu staf” bisa dihakimi salah. Tapi Bahasa tidak bekerja dengan cara demikian. 

Vonis saya, video berdurasi setengah jam ini, ketimbang disebut video edukasi, lebih tepat disebut video contoh orang udah diedukasi tapi tetap ngeyel. Kayak waktu Tommi terus-terusan menjelaskan ekspresi bahasa itu kontekstual, Lutfi juga terus-terusan mengejar agar anjay divonis sebagai kata kasar.

 Keseluruhan video ini juga merupakan gambaran orang yang percaya, bahasa punya makna satu, baku, dan statis. Kita bisa pungut banyak sekali argumen untuk membantahnya. Misalnya, dengan mengulik konsep bernama diglosia. Atau yang gampang aja, praktik berbahasa di seluruh Indonesia sudah memeragakan bahwa semua kata bisa diolah sebagai makian. Contoh paling klise adalah kata “Matamu!” yang sangat populer di Jogja.

 (Diksi makian bisa dibagi dalam dua kelompok besar: makian yang mengandung unsur manusia dan yang tidak. Makian yang tidak mengandung unsur manusia terbagi lagi menjadi makian yang mengandung unsur: binatang, benda-benda, makhluk halus, makanan, kotoran, tumbuhan, dan sifat binatang. Tuh, Lutfi kebayang enggak nama tumbuhan bisa diolah jadi makian? Belum lagi bila kita ngomongin fungsi kata makian.

Semua ahli bahasa di dunia udah mengakui, salah satu fungsi makian adalah pengungkap rasa kagum. Jadi kenapa pernyataan serupa dari netizen perlu disanggah? Mereka sudah bener kok. Belum lagi kalau mau singgung sejarah penabuan kata makian. Kalian bisa baca sendiri semuanya di buku ini.)

Akhirulkalam, saya sih ngerasa imbauan pelarangan kata anjay sebagai akibat aduan Lufti Agizal cuma bakal bikin ahli bahasa ketawa. Motifnya mulia, tapi modal pengetahuannya minim. Berhubung saya orang Indonesia, ini saatnya saya mengambil hikmah: ya semoga momen ini bikin orang lebih tertarik belajar serba-serbi bahasa. Minimal, dimulai dari puisi “Asu”-nya Joko Pinurbo dulu.

Fyuh! Semoga minggu depan enggak ada video-video absurd viral lagi deh.