Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany.
Semasa muda dulu, penulis buku anak-anak Batsheva Dagan mengalami berbagai penderitaan akibat kekejaman Nazi. Lahir di Polandia, perempuan 94 tahun ini melarikan diri ke Jerman pada 1940-an dan bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk keluarga anggota Nazi terkemuka.
Videos by VICE
Batsheva ditangkap di Schwerin sebelah timur laut Jerman, dan enam kali dipindahkan dari penjara sebelum akhirnya meringkuk di Auschwitz pada Mei 1943. Setelah itu, dia dipindahkan ke kamp konsentrasi khusus perempuan di Ravensbrück.
Orang tua Batsheva dibantai di kamp Treblinka, sedangkan adik perempuannya ditembak mati ketika berusaha kabur dari ghetto di Radom, Polandia. Dua saudara laki-lakinya juga tewas dalam Holocaust. Hanya Batsheva yang selamat. Setelah dibebaskan, dia merantau ke Israel dan tinggal di Holon, sebuah kota dekat Tel Aviv.
Dia tak gentar menyuarakan kebenaran tentang Shoah — istilah Holocaust dalam bahasa Ibrani — terutama ketika pendukung partai sayap kanan Jerman AfD terus bertambah berkat kampanye mereka menyangkal peristiwa Holocaust.
VICE berbincang dengan Batsheva membahas masa lalunya yang kelam, pembalasan dendam dan inspirasinya dalam menulis buku anak-anak bertema Holocaust
VICE: Halo, Batsheva. Negara apa yang kamu anggap ‘rumah’ sekarang?
Batsheva Dagan: Sekarang Israel, tapi kalau dulu Polandia. Saya beberapa kali berkunjung ke Polandia untuk keperluan pekerjaan di Warsaw dan Auschwitz. Saya senang setiap pergi ke sana, karena saya masih lancar berbicara dalam bahasanya.
Kenapa kamu menulis buku anak-anak tentang Holocaust? Bukankah topiknya terlalu suram?
Saya mengajar anak TK setelah bebas. Murid-muridku sering menanyakan tato angka yang ada di lengan kiri. Saya menulis buku juga karena mereka. Harapannya bisa menjawab pertanyaan mereka dengan cara yang mudah dipahami.
Menurutmu, perlukah anak-anak belajar tentang Holocaust?
Anak-anak pasti akan mempelajarinya juga, tak peduli apa pendapat kita tentangnya. Itulah mengapa kita perlu mengajarkan mereka dengan benar. Jangan terlalu fokus pada bagian menakutkannya saja. Mengajarkan kejadian sebenarnya memang penting, tapi mereka juga perlu tahu kalau masih ada hal-hal baik yang terjadi di dalam kamp, seperti tahanan yang saling bahu-membahu. Saya ingin anak-anak menyadari bahwa dalam hidup ini, selalu ada yang namanya pilihan baik dan buruk.
Adakah momen indah di Auschwitz?
Tentu ada. Selama di kamp dulu, kami selalu berbagi roti. Saya membagi rata rotinya dengan tujuh perempuan lain. Di dalam buku saya, ada puisi yang menceritakan bagaimana kami makan roti dan menghitung porsinya. Penderitaan sudah menjadi bagian dari hidup selama periode kelam ini, sehingga saya memilih untuk selalu menyimpan harapan.
Adakah temanmu yang mendukung Nazi?
Tidak ada, karena orang Yahudi dianggap sebagai sumber malapetaka. Majikan saya dulu memajang foto Hitler berukuran besar di kamar tamu. Saya harus membersihkannya setiap hari. Ketika saya kembali ke rumah mereka untuk mengabarkan masih hidup, sang nenek di keluarga itu mengatakan: “Führer telah mengkhianati kami.”
Pernahkah kamu terpikir membalas dendam?
Entahlah. Mungkin ya. Atasanku dijatuhi hukuman mati setelah perang. Sebelum dieksekusi, dia bilang tidak menyesali perbuatannya karena melakukan itu demi tanah air. Jiwa patriotiknya sudah kelewatan. Dia tidak memikirkan diri sendiri, dan cuma bisa mengikuti apa kata orang.
Kamu takut mati atau tidak selama di kamp?
Hidupku dipenuhi ketakutan waktu itu, tapi saya berusaha mengendalikannya dengan melakukan apapun yang saya bisa di Auschwitz. Saya membaca tulisan sesama tahanan. Saya melakukan hal-hal positif dan mempelajari banyak hal. Saya dulu belajar bahasa Prancis sama perempuan Belgia.
Apakah menurutmu orang Jerman telah belajar dari kesalahan mereka?
Tidak semua, karena sampai sekarang masih ada orang neo-Nazi di Jerman. Padahal banyak orang Jerman jadi korbannya juga.
Bagaimana pendapatmu tentang orang Jerman yang tidak menentang Hitler? Apakah mereka otomatis disebut pelaku?
Kita tidak bisa berpikiran begitu. Banyak orang Jerman takut mengungkapkan pendapat mereka secara terbuka karena situasinya sangat berbahaya dulu. Tapi memang, banyak juga yang bersikap acuh tak acuh. Orang Jerman sekalipun banyak yang masuk kamp, tapi mereka diperlakukan lebih baik. Mereka tidak mendapat nomor seperti tahanan lainnya. Perempuan di kamp Auschwitz juga diperlakukan lebih baik. Pokoknya, semua tahanan yang masih punya rambut sudah pasti orang Jerman.
Adakah hal-hal yang belum siap kamu ungkapkan?
Kadang-kadang saya bermimpi buruk masih ditahan di kamp. Tapi untungnya saya bisa selamat dan hidup sampai sekarang.
10 Pertanyaan Penting adalah kolom VICE mengajak pembaca mendalami wawancara bersama sosok/profesi jarang disorot, padahal sepak terjangnya bikin penasaran. Baca juga wawancara dalam format serupa dengan topik dan narasumber berbeda di tautan berikut:
10 Pertanyaan Bikin Penasaran yang Ingin Kalian Sampaikan Pada Ahli Kung Fu di Jakarta
10 Pertanyaan Unik yang Ingin Kamu Ajukan Kepada Anggota Freemason
10 Pertanyaan Penting yang Ingin Kamu Ajukan Untuk Pawang Harimau