Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italia
Saat di tempat umum, kamu mungkin pernah tanpa sadar berpapasan dengan penderita agorafobia. Perasaan terjebak di ruang terbuka yang penuh sesak dapat membuat seseorang dengan fobia ini kena serangan panik atau justru merasakan sakit fisik. Akibatnya, mereka memilih untuk berlindung di dalam ruangan dan jauh dari keramaian.
Videos by VICE
Davide adalah lelaki asal Florence, Italia yang sudah 10 tahun lebih tinggal sendirian di dalam apartemennya. Dia hanya keluar rumah untuk beli roti di lantai bawah. Baginya, dunia luar terasa amat melumpuhkan dan menakutkan. Kami berbincang dengannya untuk lebih memahami seperti apa rasanya mengidap fobia ini.
VICE: Apa yang membuatmu takut meninggalkan rumah?
Davide: Aku merasa enggak nyaman keluar rumah sejak kecil. Kerumunan manusia, suara keras, dan lampu-lampu menyilaukan bikin tubuhku sakit. Saat remaja, aku mulai bisa keluar rumah untuk party atau pergi ke diskotek. Aku bisa senang-senang layaknya orang normal kebanyakan. Tapi tiba-tiba, saat aku 18 tahun, aku mengalami serangkaian serangan panik setiap aku berada di tempat terbuka yang ramai. Rasanya kayak mau mati, dan satu-satunya hal yang mampu menenangkanku cuma mengasingkan diri.
Sejak saat itu, aku ogah keluar rumah padahal itu tahun terakhir di SMA. Aku enggak masuk sekolah sebulan. Lama-lama, aku menjadi terbiasa dengan kehidupan seperti ini dan dunia luar tampak jauh dari jangkauanku. Aku dulu tetap kuliah, tapi hidup kayak petapa. Kalau sekarang, beli kebutuhan sehari-hari saja rasanya berat sekali.
Bagaimana agorafobia memengaruhi kehidupanmu?
Aku jarang meninggalkan rumah. Sekalinya keluar, aku keluar pagi-pagi banget pas masih sepi. Aku bangun pukul 5 pagi, terus jalan kaki satu jam, habis itu pergi ke toko roti buat beli sarapan. Aku pernah berbulan-bulan cuma ngobrol sama petugas toko roti. Dia satu-satunya orang asing yang aku kenal. Sisanya keluarga dan lima teman dekatku. Mereka biasanya berkunjung ke rumah.
Aku menghabiskan sisa hari di ruang tamu atau dapur. Aku nonton TV, main video game, makan, olahraga, dan menjelajahi internet. Kegiatan seperti ini adalah surga bagi para pengidap agorafobia. Aku sering baca buku dan masturbasi juga. Memiliki fobia dengan tempat umum hampir mirip kayak orang pensiunan, tergantung kamu menghabiskan waktunya seperti apa.
Apa yang akan terjadi kalau kamu berada di tengah alun-alun yang padat pengunjung?
Mungkin kamu belum mendengar dua istilah ini, tapi aku biasanya mengalami derealization dan depersonalisasi yang masih merupakan gejala serangan panik. Aku merasa tubuhku bukan milikku lagi. Aku mengalami takikardia. Tanganku tiba-tiba mati rasa. Otak enggak bisa mengendalikan pikiran, dan aku jadi kayak orang enggak waras. Aku baru bisa mengendalikan diri ketika sendirian di rumah.
Kalau kamu enggak bisa keluar rumah, lalu pemasukannya dari mana?
Aku sangat beruntung menjadi anak tunggal dan orang tuaku mapan. Aku enggak perlu kerja. Ayah ibu yang memberikan apartemen ini kepadaku. Mereka juga punya apartemen lain yang disewa, jadi aku cukup menagih uang sewanya. Aku hidup dari situ. Sekali-sekali, aku meninggalkan rumah untuk ketemu pengacara atau akuntan kami.
Bagaimana dengan percintaan dan seks?
Aku dulu sempat pacaran sebelum fobianya parah, dan hubungan kami bertahan dua tahun setelah aku enggak bisa keluar rumah. Dia pasti jenuh, aku maklum. Aku pernah pacaran lagi dua kali, tapi singkat banget. Enggak ada yang bertahan. Kalau mau ngeseks, aku cukup panggil PSK. Cuma butuh beberapa menit buat menyuruh mereka ke rumahku. Yang penting bayar lebih saja. Aku melakukan ini 4-5 kali sebulan.
Anggapan macam apa yang paling bikin kamu jengkel?
Aku paling malas sama orang yang mengira aku tahan mengidap agorafobia karena hidupku berkecukupan. Katanya, aku “mampu” untuk memiliki fobia ini. Seolah-olah enggak ada cara lain buat mencari dan menghabiskan uang. “Kalau hidupmu pas-pasan, kamu pasti bisa kok keluar rumah.” Maksudnya apa coba? Ada ratusan orang yang menderita agorafobia, tapi mereka terpaksa meninggalkan rumah. Mereka sama-sama menderitanya seperti aku. Ada yang sampai bawa atau minum obat penenang biar bisa melakukan hal sekecil mungkin. Aku mengaku beruntung enggak harus kayak gitu. Emang ada orang yang kondisinya mendadak langsung membaik pas dibilang “ada yang lebih buruk daripada kamu”? Enggak ada.
Apakah kamu akan memberi tahu tentang fobia ini saat bertemu orang baru?
Tentunya. Itu sangat penting bagiku. Lebih baik mereka tahu dari awal kalau aku memiliki masalah ini.
Apakah mengidap agorafobia mengubah kepribadianmu?
Tentu saja. Tapi aku enggak pernah menyadarinya. Aku menjadi lebih perhatian dan mengerti perasaan orang, karena aku ingin orang lain memperlakukanku seperti itu.
Bagaimana dengan masa depanmu? Apakah kamu sudah pasrah akan hidup seperti ini untuk selamanya?
Aku sering memikirkan betapa enaknya kalau bisa merasakan dunia luar dan menjalani hidupku sebagaimana mestinya. Terkadang aku bisa keluar rumah dengan mudah. Misalnya untuk makan malam, ketemu teman, atau pergi ke taman. Tapi, aku harus meyakini diri sendiri kalau aku memegang kendali. Kalau aku meninggalkan rumah, aku harus mengevaluasi situasinya. Seberapa gampang untuk sampai ke rumah pas kumat? Aku mungkin enggak akan pernah menyingkirkan obsesiku dengan kontrol. Setiap aku merasa lebih baik, aku akan konsultasi ke terapis. Dia yakin cepat atau lambat itu akan terjadi kepadaku.
Pernah menjadikan fobia sebagai alasan mangkir atau menghindari sesuatu?
Oh iya dong. Aku pernah beralasan kena serangan panik biar enggak datang ke acara komuni pertama keponakan.
10 Pertanyaan Penting adalah kolom VICE Indonesia yang mengajak pembaca mendalami wawancara bersama sosok/profesi jarang disorot, padahal sepak terjangnya bikin penasaran. Baca juga wawancara dalam format serupa dengan topik dan narasumber berbeda di tautan berikut:
10 Pertanyaan yang Selalu Ingin Kamu Sampaikan Pada Polisi Pembakar Narkoba
10 Pertanyaan Ingin Kalian Ajukan Pada Pengacara Teroris
10 Pertanyaan Bikin Penasaran yang Ingin Kalian Sampaikan Pada Ahli Kung Fu di Jakarta