Jika belum membaca daftar bagian 1 (urutan 67-100) klik di sini.
Anda bisa saja menyukai atau membenci band ini. Tapi kita sepakat bahwa album kedua 1975—kini terdengar lebih ekspansif dan glitzy— harusnya tak sekeren ini. Masih ingatkan album album band pop rock Inggris ini yang terasa kepanjangan dan cuma jadi kw2—monoton pula—dari emo dekade 2000-an. Meski begitu, beberapa nomor dalam album tersebut (“Chocolate,” “Sex”) memamerkan ambisi besar tak enggak kecapaian—setidaknya pada album itu. Di album I love it when you sleep…, Matt Healy dan kawan-kawan mencoba segalanya untuk untuk melihat apa yang bekerja dan apa yang tidak. Dan, tahu enggak,pendekatan mereka kali berhasil. Nomor-nomor dalam album ini tak lagi monoton. Ada pop 80an yang bersih klimis, R&B remang-remang, kolase IDM dan anthem dansa pelan ala John Hughes. Di lihat dari semua influence ini, I love it when you sleep… adalah album paling pintar dan paling seksi khususnya dari sound yang bicara tentang pulang dengan kepala kosong setelah mengunjungi satu outlet Tesco atau tentang gadis Amerika yang terus-terus memelototi gigimu yang acak-acakan. Album ini terdengar konyol, romantis dan sekaligus bernas. Album ini berani menjadi apa adanya—jauh dari apa yang tengah ramai terjadi di kancah musik pop dunia saat ini. —Larry Fitzmaurice
Videos by VICE
Jherek Bischoff menulis materi album keduanya, sekumpulan komposisi modern classical, dalam sebuah waduk bervolume 2 juta galon air yang terdapat di sebuah bekas pangkalan militer di negara bagian Washington. Ada sebuah reverb decay sepanjang 25 di salah satu bagian album ini, ini sudah cukup memberi waktu bagai multi instrumentalis kelahiran California ini untuk memainkan satu note, membiarkanya berdering dan memikirkan movement selanjutnya. Cistern pada akhirnya direkam di pusat kota New York dengan sebuah ensemble megah. Jherek barangkali sebenarnya punya niat merekam album ini di waduk tempatnya menulis, tapi kamu bisa membayangkan memasukan satu ensemble besar dalam sebuah waduk pasti pelik. Echo suara kaki pemain ensemble saja sudah pasti bikin pusing. Proses perekaman album sendiri memicu pergeseran dalam diri Jherek dan musiknya. Album solo pertama Jherek adalah sebuah album pop tak umum yang dihiasi kolaborasi bersama pesohor macam David Byrne dan Nels Cline. Karyanya yang digarap bersama Amanda Palmer dan Prince juga tak ada mirip-miripnya Cistern. Album ini terdengar seram di satu titik, kerap kali menenggelamkan di titik lain, sekaligus anggun di momen-momen lainnya. Pembuka album ini “Automatism,” berlanjut ke “Closer to Closure” yang memiliki tiupan klarinet penuh kehati-hatian dan ditimpali dengan melodi bengis. Nomor paling penting dalam album ini adalah Headless”. Riff bass Jherek tetap melayang dan tak mau menyatu seperti minyak tanah di atas air. Ketika akhirnya pendengar mencapai lagu Cistern, sebuah loop yang terbentuk perlahan-lahan, album ini sepenuhnya menghipnotis. Hanya sedikit album—itu pun jika ada—sepanjang 2016 yang mampu menyuguhkan keindahan yang kelihatannya saling bersebrangan ini. — Alex Robert Ross
Album debut Void Omnia, Dying Light, menjadi standar harusnya dicapai oleh setiap band black metal modern dari kancah USBM. Dying Light adalah sebuah pernyataan lugas. Namun setelah beberapa kali menyetel album ini, kehebatan album ini susah didebat (kecuali anda masih bernafsu mencari album black metal paling lo-fi dan bengis. Kalau ini yang anda cari, artinya ini bukan album anda). Komponen paling memukau dalam album ini adalah melodi, sebab melodi menjadi senjata paling mematikan dari band black metal muda ini (mereka baru ngeband bareng sejak 2013). Yang mengejutkan, mungkin ini akan terdengar lebay, ada sensasi menyegarkan melodi dan kelebatan post rock yang langsung dipungkasi oleh suara vokalis tawanan yang disiksa dan perkusimenderu. Meski album ini penuh dengan anasir USMB masa kini, tapi mengelompokkannya dengan album-album standar USBM adalah dosa yang tak bisa diampuni. Oakland, kampung halaman personel Void Omnia, memang lebih kondang dengan band-band sludge dan crust. Namun berkat album debut fenomenal ini, kita bisa menaruh harapan pada Void Omnia untuk menjalani tugas suci: membuka pintu bagi band-band black metal muda di Bay Are. —Kim Kelly
Di atas kertas, supergrup memang terlihat menjanjikan, tapi biasanya hasil akhir tak karuan. Terlalu banyak ego, terlalu banyak gaya musik yang berbeda, terlalu rusuh. Namun bagi Head Wound City yang berisikan anggota-anggota band seperti The Blood Brothers, The Locust, dan Yeah Yeah Yeahs, kata rusuh sudah melekat dengan musikalitas mereka. Apabila anda mendengarkan band-band di atas, maka album A New Wave of Violence akan terdengar familiar. Album ini menyajikan campuran sound semua band-band tersebut tanpa jadi ancur. Album ini juga brilian karena berhasil menghindari terdengar seperti versi malas proyek-proyek anggotanya sebelumnya. Ini adalah musik rusuh yang matang. Dan seperti judul album ini, ini adalah a new wave of violence. —Dan Ozzi
2016 terbukti menjadi tahun yang produktif bagi scene punk Indiana. Terbukti dari rilisan-rilisan oleh C.C.T.V, Liquids dan The Cowboys yang baru saja mengeluarkan album debutnya. Memang agak sulit membuat album penuh berisikan materi punk rock yang segar, namun The Cowboys berhasil membuat sebuah album berisikan teriakan-teriakan musik pop 60an dan punk aneh yang terdengar seperti campuran dari Buddy Holly dan pahlawan kampung halaman mereka, The Gizmos. Yang membedakan The Cowboys dari band-band punk underground lainnya adalah kemampuan mereka menulis musik yang baik tanpa mengorbankan elemen “ini direkam secara lo-fi menggunakan instrumen murah loh”. — Tim Scott
Hanya ada sedikit musisi dari genre country yang berhasil menggabungkan sound khas gospel dengan tradisi country ala Texas. Dari yang sedikit, salah satunya adalah Paul Cauthen. Melalui suara baritonnya yang dalam itu, Cauthen melawan asumsi yang banyak berkembang saat ini dalam kancah musik pop. Bahwa untuk menarik minat lebih banyak pendengar, lagu kalian harus membahas hal-hal duniawi. Cauthen membahas hal-hal yang berat, eksistensialis, termasuk menyoal apakah Tuhan itu ada atau tidak, seperti terekam dalam wawancaranya Oktober lalu. Cauthen berbicara lebih lantang melalui lagu-lagunya, daripada kontroversi yang tidak berkaitan dengan karya. Dia menolak mengompromikan integritasnya. Lagu-lagunya adalah wacana yang belakangan ditolak radio arus utama serta eksekutif industri musik. — Annalise Domenighini
Merah melambang gairah. Merah juga melambangkan amarah dan mewakili penderitaan. Bagi A Tribe Called Red, sekelompok indigenous yang selangkah lebih maju dalam penggunaan warna di nama mereka dibanding tim olahraga seperti Redskins, merah melambangkan warisan budaya dan teriakan dalam sebuah rally. Merah adalah ajakan untuk melakukan protest. Dalam satu amatan, We Are the Halluci Nation adalah paling keren mereka sampai saat ini, sebuah album yang menjejerkan anthem yang siap dimainkan di festival EDM “R.E.D” dan elemen native culture seperti throat singing oleh Tanya Tagaq. Elemen-elemen ini justru menebalkan cetak biru produksi musik elektronik mereka yang dimuali di klub-klub malam di Ottawa. Namun Halluci Nation tak sekedar soundtrack clubbing malam minggu—ini adalah album paling politis dari A Tribe Called Red. Mereka mengeluarkan kritik pedas tentang perlunya usaha-usaha rekonsiliasi untuk mengakui sisi-sisi gelap dari sekolah rekonsiliasi, sistem pengadopsian anak suku tradisional oleh keluarga kulit putih di era 90an. Dengan narator dan kolaborator yang bervariasi termasuk Yasiin Bey (a.k.a. Mos Def), grup drum Chippewa Travellers, Saul Williams, dan penyanyi Toronto kelahiran Columbia Lido Pimienta, We Are the Halluci Nation adalah pelajaran bagi kita yang mengajarkan bahwa masalah suku tradisional harusnya jadi masalah kita juga. Sebuah album yang tak sekadar mengajak bergoyang namun juga beraksi. —Jill Krajewski
“Kamu siapa sih?” sesosok suara perempuan bertanya pada theMIND pada sebuah Summer Camp, membuatnya ragu akan identitasnya. “Beneran deh,” suara itu datang lagi, “kamu mau jadi apa? Jangan bilang jawabannya enggak penting ya karena aku tahu itu penting buat kamu.” Dalam sebuah tahun yang digelayuti trauma dan narasi politik yang bikin lemes serta event pop culture yang besar, memuntahkan isi hati akan jadi kegiatan yang terdengar arogan dan mementingkan diri sendiri. Namun, pertanyaan-pertanyaan tadi tak kunjung pergi dari benak theMIND. Di samping lainnya, perkembangan dan pengungkapan diri jadi suatu yang mendesak dilakukan: “Perubahan, pada akhirnyam, jadi barang yang kita damba-dambakan,” ucap theMIND ketika proyek itu hampir berakhir. Di antara nomor R&B eletronik yang cinematik, theMIND menawarkan visi untuk mencapai perubahan yang dia maksud, sebuah perjalanan jati diri yang berkelok melewati patah hati, toko minuman beralkohol ilegal yang jazzy dan penuh dengan Balenciaga, wanita-wanita berjaket kulit tupai (tambahan 30 detik yang menyoal dua hal terakhir adalah salah satu momen terkeren dalam musik pop paling keren tahun ini. Album ini seperti penuh dengan inspirasi yang siap membuncah. Mendengarkan album ini terasa seperti menemukan harta karun—musik dan perasaan yang menyertai sudah lama kamu idam-idamkan. — Kyle Kramer
Frontman Tyrannamen, Nic Imfeld didukung oleh band punk nan soulful miliknya meminta para perempuan melupakan pacar mereka yang tidak tahu terima kasih di lagu “You Should Leave Him”. Saking meyakinkannya, anda (perempuan) mulai mempertimbangkan permintaan ini. Ketika musik band berisikan lima orang ini makin ramai dan mencapai klimaks, ditandai dengan teriakan Imfeld, “We could have it so great,” secara tidak sadar tangan anda sudah siap menekan nomor sang pacar untuk minta putus. Band asal Melbourne yang diisi anggota The Stevens, Twerps, dan Whipper ini akan mengingatkan anda akan melodi-melodi kasar milik The Undertones, Reigning Soundnya Greg Cartwright, dan nuansa power pop Royal Headache, band Australia seangkatan mereka. Mengandalkan vokal liar namun merdu Imfeld, musik band ini menonjol dan pastinya akan membangunkan anda. Namun jangan salah, selain lagu-lagu gaduh macam “I Don’t Want to Go to Jail” dan “My Concrete,” yang bercerita tentang situs konstruksi, ada lagu-lagu lembut soulful macam “Diamond Ring.” Biarpun band ini terdengar seperti gerombolan lelaki yang rusuh, sebetulnya mereka semua adalah pria romantis. —Tim Scott
Mengenali kurator musik itu gampang ketika ngomongin figur-figur ternama seperti Rick Rubin, RZA dan Kanye West—orang-orang yang menjadi dalang dari sound dan ideologi kolektif crew dan label yang akhirnya menjadi bagian dari sejarah. Kurator memang biasanya didefinisikan sebagai orang-orang yang menciptakan konsep bagi karya seniman-seniman lainnya, namun rasanya istilah ini pas diterapkan untuk Travis Scott yang lebih dikenal untuk aransemen sound dibanding aksi vokalnya. Emangnya dia bisa benar-benar disebut seorang rapper? Banyak orang tidak akan setuju. Emangnya dia produser? Gak ada yang tahu. Yang pasti, album Rodeo—yang dirilis tahun lalu—dan kini, Birds in The Trap Sing McKnight mengkonfirmasi kemampuannya sebagai peramu sound yang handal. Di album Birds, liriknya menjadi nomer dua setelah produksi dan harmoni (terutama di track “sdp interlude,” “sweet sweet,” dan “guidance”) namun saking enaknya di kuping, anda tidak akan peduli dia sebetulnya nyanyi apa. —Lawrence Burney
Ketika Leonard Cohen tengah menyanyikan lagunya tentang Tuhan dan bimbingan spiritual, dia tidak lupa menyindir tendensi kapitalisme manusia: “As He died to make men holy / Let us die to make things cheap.” Mungkin barusan adalah pernyataan terakhir dari beliau, tapi Cohen terkesan sebagai seseorang yang suka segala sesuatunya suram. Sulit untuk mendengarkan lagu “Treaty” yang penuh dengan string quartet dan tidak membayangkan dirinya melihat ke arah kamera dan mengedipkan mata, seakan-akan mengatakan “nah suram itu gini nih.” You Want It Darker merupakan album terakhir Cohen, persis dengan janji yang dia buat. Mengikuti langkah 15 album yang dia rilis sebelumnya, album ini penuh dengan rasa gairah dan kejenakaan. Ini merupakan album penutup yang anggun dari seorang penulis lagu dan penyair yang memang siap menyambut kematiannya lewat karya seni. You Want It Darker, sama seperti seisi discografi Cohen, akan terus abadi. Tidak ada warisan musik yang lebih hebat dari itu bagi seorang musisi. —Alex Robert Ross
Lil Big Pac adalah sebua rilisan yang penuh kepedihan. Di usia 19 tahun, Kodak Black bukan lagi rapper kacangan yang berusaha mengumbar lagak rockstar dan menumpuk narkoba dan uang sebagai modal menggelar pesta. Jika pun uang dan obat-obatan disebut dalam album ini, keduanya digunakan sebagai alat Kodak membebaskan diri dari konflik tanpa henti di Pompano Beach, Florida. Lewat proyek 13 track ini, Kodak mencoba menjawab pertanyaan tentang kemungkinan dia kena kutuk, apakah dia bisa hidup cukup lama sampai bisa beranak pinak, kenapa banyak temannya yang mendekam di penjara atau mati muda serta apakah dia harus kabur dari cinta. Kekhawatiran-kekhawatiran ini sebenarnya sudah jadi pembicaraan umum dalam medis sosial kaum african american. Di sana, hubungan antara rasisme sistematik, opresia dan Sindrom Pasca Trauma dibicarakan dengan mendetail. Yang bikin album ini keren adalah Kodak bisa masuk dalam pembicaraan seberat untuk dengan cerdas menempatkan diri dengan bar-bar dan harmoni yang telah dipikirkan matang-matang. —Lawrence Burney
Beneran deh kami enggak main-main ketika menyebut King Dude sebagai “Dewa sex luciferian favorit kami yang doyan whiskey ” pada Juni tahun ini. Nyatanya, rilisan terbarunya memang mengamini julukan yang kami berikan padanya—terutama bagian “sex”-nya. King Dude (né TJ Cowgill) tahun ini melepas Sex, karyanya yang paling variatif dan dinamis. Album ini perjalan lamban yang panjang melewati dark folk, post-punk, rock ‘n’ roll penuh gaya, and elemen gothic ala Type O Negative. Banyak yang dilakukan King Dude dalam album ini. Dia merombak sound yang dimainkan kapan pun dia mau, sebelum kembali menyenandungkan lagu patah hati dan lagu berkabung yang berbau anggur “Shine Your Light.” Suara baritonenya jadi corak utama dalam nomor ini. Lagu country iblis “I Wanna Die at 69″ sangat kontras dengan nomor suci bersih maca”Holy Christos” atau track garage sureal “Swedish Boys,.” King Dude terus berganti gaya di setiap track sembari terus menebarkan energi sensual yang tak main-main (dengarkan”The Girls,” sebuah mimpi buruk psikedelik pol-polan). Kapanpun anda lagi pengin atau mau “ituan”, Sex adalah soundtrack yang tepat. —Kim Kelly
High Spirits pastilah band heavy metal paling gembira di atas muka bumi. Vokal penuh percaya diri Christ Balck dan lirik-lirik gembira band ini jadi sebuah harta karun tersendiri (ingat,selain menyanyi dalam proyek ini, Christ Black juga sumbang suara di proyeknya yang lain, Dawnbringer ). Dan, lagi-lagi dalam album terbarunya, Motivator, High Spirits mengumbar lirik-lirik positif tanpa cela. Entah itu ketika dia sedang menyemangati kita untuk meraih bintang di atas riff hasil persilangan Thin Lizzy dan NWOBHM, antusiasme Black gampang menular dan kecintaannya terhadap heavy metal 80an dan stadium rock 70an tak bisa diragukan lagi. Black tak sudi mengurangi energi (atau bermain di luar tempo yang nyaman baginya). High Spirits kini jadi cahaya cerah dalam sebuah kancah musik yang terobsesi kegelapan. Bagian Refrain “Thank You” versi heavy metal gembira dari lagu tema Golden Girls dan mendengarnya saja terasa seperti mampir ke surga barang sebentar (sebaiknya mainkan dengan volume pol). Saat hari-hari brengsek datang, album seperti memaksa kita melihat sisi positif dari segala hal, membuat kita mampu mengangkat kepala. Kalaupun anda tak bisa melakukannya, anda tinggal tutup mata dan headbang. Untuk semua ini, terimakasih High Spirits. —Kim Kelly
Mengingat kepiawaian Miranda Lambert menggubah anthem putus cinta dan crossover pop manis seperti dalam album Platinum, adalah lazim untuk menduga bahwa album Miranda Lambert yang ditulis pasca percerainnya akan jadi sebuah album blockbuster. Sebaliknya, album ini lebih sunyi dan memilih untuk terdengar tradisional. Album ini menyuguhkan elemen kancah musik country East Nashville yang menggigit, suatu kancah musik cuntry yang sedang banyak dibicarakan. Tapi, album ini memang brengsek abis. Sebagai sebuah album putus cinta, album ini memukau pendengar, memetakan fase-fase mabuk pasca putus cinta dan kesedihan yang mendalam. “Tin Man” dan “Things That Break” terdengar seperti nomor klasik Willie Nelson, dengan santai mengupas sebuah metofora yang sederhana namun begitu kuat. Entah tu pop lo-fi yang kedengaran rusak macam “Pink Sunglasses” atau sekelebat kegembiraan yang menggerakan balada hangat “Pushin’ Time,” semua nomor punya caranya sendiri untuk nyantol di otak kita.Namun, ini yang paling, nomor utama album ini berjudul “Vice, ” sebuah nomor yang bagus dan bikin kami senyum-senyum pas mendengarkannya. —Kyle Kramer
Dengan segala capaian Anderson .Paak sepanjang 2016—mulai dengan membuka tahun dengan merilis album Malibu, menelurkan album live paling dibicarakan tahun ini hingga mencuri momen-momen penting dalam album penting dari berbagai artis dari Kaytranada hingga A Tribe Called Quest—album seperti Yes Lawd! bisa saja jadi sebuah catatan kaki sejarah musik populer. Nyatanya, kerja sama Anderson dengan produser Knxwledge berhasil menyalurkan spirit cabul soundtrack film-film blaxploitation, lagu-lagu rap tentang cinta era 90an yang hampir dilupakan dan neo-soul setengah mabuk. Dalam dunia Anderson .Paak, hidup dijalani dengan woles. Momen-momen indah di masa lalu bisa dihadirkan dengan segelas minuman beralkohol berwarna coklat atau not dari sebuah lagi yang sering dimainkan di tengah malam. Dan semua wanita yang memukau—lagi-lagi didunia Anderson .Paak—bisa menggertak seenak mereka. Networker yang kehausa akan terobati, gele yang ditawarkan akan jadi penyelamar dan getaran listrik yang muncul akibat persinggungan tubuh akan membawa kita ke surga. hallelujah. — Kyle Kramer
Dirilis 2014, album Against Me! Sebelumnya yang berjudul Transgender Dysphoria Blues hampir membunuh vokalis mereka Laura Jane Grace. Album tersebut ditulis dan direkam saat Grace sedang memulai transisi gender dirinya dan pergolakan-pergolakan pribadi yang datang dengan keputusan tersebut: operasi hormon yang melelahkan, sesi terapi yang sangat pribadi, dan tumbangnya hubungan pribadi dengan orang-orang terdekat. Dalam proses pembuatan album tersebut, Grace harus berjuang agar dia tidak jatuh gila. Hasilnya? Album yang sangat jujur, personal dan sudah pasti akan menjadi salah satu album punk rock paling penting sepanjang masa. Berselang dua tahun, Grace masih mencari identitasnya sebagai seorang perempuan di dunia ini biarpun tanpa kegelisahan dan hormon bergejolak yang dulu dialaminya. Shape Shift With Me menandai kehidupan baru Grace sebagai seorang perempuan dan pengalaman-pengalaman hidup yang dialami: mulai dari pacaran, pertemanan dan isu body image. Biarpun di album ini masih banyak ditemukan kegalauan eksistensial Grace, beberapa lagu malah menunjukkan—percaya atau enggak—optimisme dan kegembiraan. Shape Shift With Me adalah album yang menunjukkan kembalinya Grace ke kehidupannya, atau lebih tepatnya, menemukan sebuah kehidupan baru. —Dan Ozzi
Meski Radiohead berusaha mati-matian untuk tidak menjadi rocker yang tak membumi terutama ketika status veteran mereka makin besar saja, mereka malah makin sering tertarik mengulik materi-materi lama mereka. Hasilnya? Album-album yang sangat rock n roll untuk ukuran format album standar. Namun, Radiohead makin piawai melakukan hal ini, mengimbuhi materi-materi lama mereka dengan urgensi dan spirit yang baru. A Moon Shaped Pool berusaha menyeimbangkan tema tentang dua jenis kehancuran: kehancuran bumi kita yang makin nyata dan berakhirnya hubungan Thom York dengan seorang wanita yang berlangsung selama dua dekade. Fakta bahwa Radiohead mencoba melakukannya dengan lagu-lagu yang digubah pada tengah era 90an membuat album ini semacam tantangan untuk mereka sendiri. Yorke tetap saja terdengar gugup seperti biasa, dia sempat-sempatnya curhat tentang kepedihan yang dirasakannya di dunia nyata di beberapa lagu yang sangat dominan .”Ful Stop” adalah racuan penuh kemarahan dengan ketukan motorik yang claustrophobic. Track yang terdengar dari dunia lain “Glass Eyes” dimulai dengan sebuah sambungan telepon standar (“Hey, it’s me”) sebelum menjadi lanskap impresionistik yang dibentuk hanya dengan bunyi piano dan komposisi string. Aransemen A Moon Shaped Pool’ yang sengaja diredam adalah kunci untuk menciptakan komposisi dengan keanggunan yang meresahkan, monokrom dan cair seperti gambar sampul album ini. Ini adalah musik yang mengiringi seseorang yang akhirnya menerima derita yang ia rasakan—dalam konteks umur dan kepedihan yang dirasakannya—namun, secara kesuluruhan, album ini menenangkan. Mendengarkannya rasanya seperti perlahan-perlahan tertidur, jika saja para pemimpi ini mau belajar —Phil Witmer
Album A Good Night in the Ghetto oleh Kamaiyah sangat cerah, melodius, serta manis dan petantang-petenteng di waktu bersamaan. Singkatnya, album debut paling mencolok dan contoh apa yang bisa dilakukan seorang seniman ketika dia pede dengan estetikanya sendiri. Berpindah-pindah antara hook sing-song, alur yang imbang, dan senandung low-key, Kamaiyah menunjukan keragaman yang begitu luas seputar produksi Bay Area. Judulnya sudah cukup menjelaskan, ini musik yang tepat untuk bakar-bakar barberkyu, ngerokok bareng, dan sore-sore mager bersama orang terdekat. Di samping itu, penutupnya “For My Dawg” nendang banget. Sebuah meditasi pedih tapi engga rempong tentang kehilangan, lagu itu menjadi pengingat bahwa bahkan waktu terbaik di hidupmu bisa menjadi petanda akan kepedihan yang terpendam. — Larry Fitzmaurice
Album debut Whitney yang mencengangkan dibuka dengan pernyataan ini: “I left drinking on the city train.” Ini adalah sentimen yang sederhana, namun mewakili isi album ini yang penuh dengan nuansa nostalgia fana yang digemari kaum millennial. Album ini—yang dibuat oleh mantan anggota Smith Westerns dan Unknown Mortal Orchestra—cocok untuk didengarkan sambil bengong. Lagu seperti “No Woman” dan “Golden Days” yang melankolis akan membuat anda serasa sedang menyetir di jalan tol yang panjang di bawah langit biru yang terang dan hangat. Light Upon the Lake adalah album yang memang cocok untuk dibawa baper. Album ini bertekad menjadi sebuah rekaman indie folk rock yang jujur, tidak lebih dan tidak kurang. Dan ini sah-sah saja. Kadang-kadang less is more. —Eric Sundermann
Sama seperti karya Nicolas Jaar lainnya, album Sirens penuh dengan kiasan yang harus kita susun sendiri—seperti puzzle. Bedanya? Apabila karya-karyanya terdahulu menggunakan referensi-referensi untuk membentuk suatu ide yang utuh, Sirens justru merupakan bentuk dekonstruksi ide-ide yang dimaksudkan untuk menyoroti tren pengulangan dalam dunia musik, politik dan kultur. “We already said no, but the yes is in everything,” nyanyinya dalam bahasa Spanyol di lagu “No,” sebuah permainan frase yang sering digunakan oleh kaum aktivis Cili di tahun 1980an (mengatakan “no” ke diktator Cili, Pinochet berarti mengatakan “yes” ke demokrasi). Ide tersebut menjadi titik tumpuan album ini: samarnya batas antara mengatakan iya dan tidak, batas antara masa lalu dan sekarang, samarnya kondisi politik Cili tahun 80an—ketika Jaar sedang tumbuh besar—dan rumahnya yang baru, Amerika Serikat. “You don’t need to predict the future / To know what will happen,” lanjutnya. Sesuai dengan konsep album ini, komposisi lagu Jaar tidak dibangun berdasarkan hook, melodi atau ritme, tapi lebih kepada kontras dan dikotomi. Album ini subtil, mendalam dan harus didengarkan secara sabar. Makin sering didengarkan, makin anda akan menangkap semua suasana yang berusaha ditampilkan: mulai dari elektronik eksperimental hingga post-punk hingga folk latin hingga nuansa soul di lagu penutup “History Lesson.” Lagu penutup ini menyajikan chorus gospel yang menawan sambil ditemani lirik Jaar yang kelam: “Chapter one: We fucked up. / Chapter two: We did it again, and again, and again, and again. / Chapter three: We didn’t say sorry…” dan seterusnya. Lagu ini terasa megah namun juga menyakitkan. Tinggi namun juga rendah. Paradoks yang sulit dijelaskan namun terasa jujur. —Andrea Domanick
Kevin Devine adalah korban dari Syndrom Lelaki Terlalu Baik. Dalam dua puluh tahun terakhir, wajahnya yang penuh senyum kerap menghiasi scene indie rock membuat banyak orang mengabaikan dirinya ataupun musiknya. Namun selama dua dekade tersebut, penulis lagu asal Brooklyn ini justru telah menghasilkan katalog musik yang mengagumkan. Melalui album solonya yang kesembilan, Instigator, jelas terlihat betapa penuh talentanya Kevin Devine. Paruh pertama album ini berisikan empat lagu yang sempurna. Album ini seperti serangan hook-hook catchy yang membuat musiknya sangat mudah diterima di telinga dan membuat anda lupa bahwa Devine sebetulnya menyanyikan topik-topik yang berat seperti pembunuhan yang dilakukan oleh polisi di Amerika Serikat dan politik mengkritik orang lain yang penuh kemunafikan. Melalui album ini, Devine tidak hanya meminta rasa hormat anda sebagai seorang penulis lagu—dia memaksa anda menghormatinya. —Dan Ozzi
Bagi sebagian orang, Hero mungkin sebuah contoh sempurna bagaimana musisi radio buruk bukan kepalang—nyanyi-nyanyi soal berendam di berlian, Diddy, mobil Mercedes Benz—tapi ya bagaimanapun, di situlah zona Morris. Penyanyi perempuan populer dalam negeri masih terlalu jarang—kini hanya ada 5 penyanyi perempuan di Billboard Country Top 50—dan kalaupun mereka bisa masuk tangga musik, kehadiran mereka setara dengan mencari tomat di salad. Morris tahu betul posisinya di industri musik yang masih sungkan dengan perempuan yang gemar mengumpat. Umpatan-umpatan Morris justru membuat debutnya lebih mantap. Dengan konsisten dia merujuk ke Johnny Cash dan Hank Williams, gereja Minggu, mobil klasik, awal mula penulisannya di Nashvile, dan banjo. Bersamaan dengan itu Morris mencentang tiap kotak dalam daftar hal-hal yang diperlukan untuk membuat album country. Tapi, ditamba dengan referensi modern, beat musik pop, dan membuat rima dari “shit” dan “rich” di lagu “Rich”, Morris menciptakan sebuah bebunyian yang membuatnya menanjaki tangga musik country, dan menjadi edgy dan diunggulkan. Dengan bebunyian inilah dia memaksa industri musik untuk bercermin dari posisi yang lebih tinggi. — Annalise Domenighini
Nemu album pop punk yang keren sepanjang 2016 itu seperti nemuin film Sofia Coppola di Trans TV. Elo sendiri yang kaget. Lima tahun terakhir, Modern Baseball, band asal Philadelphia adalah salah satu kejutan dari scene pop punk—yang entah sengaja atau tidak—kerap membosankan dan terasa tidak ramah terhadap pendengar jenis musik lain. Dipimpin oleh Jake Ewald dan Brendan Lukens, dalam album Holy Ghost, Modern Baseball tidak lagi bernyanyi tentang tema-tema usang seperti politik scene punk, cewek, dan perasaan minder dan fokus ke masalah yang lebih berat seperti kematian dan depresi. Salah satu faktor yang membedakan mereka dari band lain adalah hubungan dekat mereka dengan para penggemar: mulai dari menulis lagu dengan topik pribadi yang biasanya sulit diungkapkan sampai usaha mereka untuk menciptakan lingkungan live show yang aman dan terbuka bagi semua orang. Orang tertarik dengan mereka tidak hanya karena musiknya enak didengar, tapi juga karena kerendahan hati, selera humor dan kesensitifan yang ditunjukkan band ini kepada penggemarnya. —Emma Garland
Kalau dipikir-pikir, seks itu sebetulnya menjijikkan. Badan telanjang, suara-suara aneh yang diteriakkan, dan cairan-cairan tubuh manusia berceceran di mana-mana. Mau pake pencahayaan redup atau pendekatan artsy kayak apapun juga intinya tetap aja sama. Memang seks itu kotor, namun nyata adanya. Nah kurang lebih seperti inilah pendekatan yang diambil oleh Cemetery Piss, band asal Baltimore dalam album debutnya, Order of the Vulture. Kadang mereka berteriak-teriak tentang proses “pembuangan cairan” tubuh manusia, kadang tentang tulang manusia yang merapuh, atau ya tentang ngewe aja gitu (kumis ala bintang porno milik vokalis Adam Savage makin memperkuat imej mereka ini). Biarpun sudah aktif semenjak 2011, baru tahun ini mereka mulai melejit—setelah main di beberapa gig besar dan melakukan tur mini dengan band favorit Noisey, Toxic Holocaust. Memainkan campuran black, thrash dan death metal dengan titik berat di melodi-melodi ala Second Wave black metal dan geraman kasar ala DIY, Cemetery Piss berhasil membuat musik metal menjadi seksi lagi. Alhamdulilah. —Kim Kelly
Perpaduan pesta tailgate Death Row dan teatrikal Aftermath, Still Brazy adalah album yang tidak se-eskapis kelihatannya dan membumi. Sementara “Twist My Fingaz” dan “Why You Always Hatin” bisa memeriahkan klub mana saja, lagu-lagu tersebut juga bisa mendukung narasi tradisi rap gangsta. “Who Shot Me” sangat personal dan paranoid, (“All these maybe maybe maybes / I’m about to say fuck it and start squeezing without aiming”), tapi “Gimmie Got Shot” adalah sebuah pukulan jitu, fabel tentang seorang penjilat yang “wanted a spot at the top but he ain’t work for it.” Hal ini menceritakan tentang Compton dalam Still Brazy, yang narator orang-ketiga merupakan instrumen kemangkatan YG, menunjukkan bahwa dia berada di lingkungan bunuh-atau-dibunuh. Dengan memperdalam funk dan hooks, album ini membuktikan bahwa My Krazy Life engga tiba-tiba membawa musik ala DJ Mustard untuk keperluan komersil belaka; inilah memang gaya YG. Dan ketika jam dan cerita-cerita telah berlalu, Still Brazy mengeluarkan kartu “Trump”: teriakan sosial yang sevital musik politis lainnya yang dirilis pada era Black Lives Matter. “DT” mungkin memasuki Gedung Putih hari-hari ini, tapi selama permainan bass dan teriakan macam ini terus ada, Amerika akan memberi jari tengah padanya untuk waktu yang lama. —Phil Witmer
Indie rock sedang berada dalam sebuah krisis! Masa sih? Sebetulnya banyak album indie rock ngepop (haha) penuh dengan gitar berisik yang merilis satu, dua, atau bahkan tiga lagu keren. Tapi satu album penuh yang kohesif dan tanpa lagu filler? Jarang banget. Untungnya The Growlers masuk perkecualian ini. Setelah aktif satu dekade dan merilis lima album, band asal California Selatan ini merilis City Club, album debutnya untuk Cult Records. Album ini juga menampilkan presiden label tersebut, Julian Casablancas (vokalis The Strokes) bersama Shawn Everett (Weezer) di sisi produksi album. Kolaborasi ini membuahkan hasil yang manis: The Growlers berhasil mempertahankan sound surf-pop mereka yang manis namun tetap kotor (“When You Were Made, “World Unglued”) namun dengan penulisan lagu yang lebih efektif dan fokus , lengkap dengan aksi saxophone dan synthesizer yang seksi dan penempatan part gitar yang strategis (lagu “City Club” mengingatkan kita akan INXS). Album ini terasa seperti album pop yang kotor, dan layaknya album-album rock ‘n’ roll yang mantep, dengerin album ini bikin elo berasa keren. —Kim Taylor Bennett
Sekali lagi Internet menjadi ruang yang tidak ramah tahun ini, dengan hacker Rusia dan propaganda berwujud meme di setiap tikungannya. Untungnya, Katie Dey masih menemukan keindahan pada sisi-sisi gelap teknologi. Mendengarkan kembaran Flood Network, lagu-lagu halusinatif seperti berjalan-jalan pada laman Wiki. Albumnya sangat amat digital dalam segi desain suara, dan segalanya diproses oleh Dey—terutama suaranya—dengan fragmen-fragmen perpindahan pitch dan efek distorsi. Dia sering terdengar seperti bernyanyi dari kabel optikal yang telah dibelah dua, kawat pijarnya mencuat ke segala arah. Tapi Flood Newtowk mempunyai hati manusia hangat berdetak di tengahnya, terutama pada lagu-lagu Neutral Milk Hotel kena glitch “All” dan lagu sedih “Fleas”. Itu adalah langkah logis serupa Loveless-nya MBV, yang mana banyak lapisan buruk perlu dikupas untuk menemukan songwriting yang fokus dan bertenaga. Tentu, Dey juga membuat pilihan (dan pendengar juga memiliki pilihan) untuk merengkuh hal-hal buruk, untuk mengakui bahwa terkadang tikungan aneh yang meninjol justru yang membuat lingkungan artistik diingat. Setelah setengah jam yang singkat yang terasa seperti perjalanan, loops gitar cakep di “Debt” melepas Flood Network memasuki epilog yang mantap, dan mengukuhkan bahwa bagian-bagian aneh Internet dapat menginspirasi seni yang hebat dan inspiratif bukan main. —Phil Witmer
Band hardcore sering dikritik karena dinilai terlalu satu dimensi, dengan jangkauan emosi yang kelewat sempit—entah marah atau marah banget. Banyak musik hardcore dinilai sebagai musik latar belakang untuk stagedive dan mosh pit semata. Namun album Stage Four milik Touche Amore berani menunjukkan sisi “lemah” dan sensitif para anggota band, dan berkat hal ini, membedakan mereka dari band-band hardcore penuh breakdown lainnya. Album ini menceritakan pengalaman sang vokalis, Jeremy Bolm dan ibunya yang meninggal karena kanker pada tahun 2014. Bolm harus melalui berbagai emosi penuh duka di album ini: meragukan diri sendiri, meragukan kepercayaan diri, dan penyesalan. Hasilnya adalah album yang keren dan unik, penuh dengan intropeksi diri yang jarang terlihat di jenis musik ini. Apabila anda pernah kehilangan orang yang dicintai, album ini akan terdengar sangat relevan. Stage Four adalah salah satu album paling pribadi dan intim yang pernah ditulis mengenai pahitnya kehilangan seseorang, entah untuk genre hardcore atau musik lainnya. —Dan Ozzi
Album debut dari trio asal Melbourne ini bikin elo bertanya—ini vokalisnya mati atau tidur sih? Vokalis Georgia Maq mungkin harusnya dibawa ke dokter untuk diperiksa, cuman dia cuek-cuek aja. Album Camp Cope berisi lirik-lirik yang “menyimpang” tentang apa rasanya menjadi anak indie rock di daerah suburban. Maq, yang bekerja sebagai seorang perawat ketika menulis album ini—”Walk around / check vital signs and pretend to be useful,” nyanyinya di lagu “Flesh & Electricity”—mengungkapkan kemarahannya terhadap perasaan gelisah, penghinaan dan misogini di dalam masyarakat sekitar. Namun ada juga lagu seperti “Song For Charlie,” sebuah lagu yang Maq tulis untuk anak lelakinya setelah pacar ibunya bunuh diri pada tahun 2014. Di lagu yang menghubungkannya dengan sang anak lelaki, Maq mengenjreng beberapa chord gitar mayor seorang diri sambil bernyanyi: “Charlie, you’re gonna be okay / At least tomorrow if not today / Keep playing your songs every day/ And when you’re not okay / You can always call.” Rasa sakitlah yang nantinya menjadi sumber kekuatan, karena kita sebagai manusia tidak mempunyai pilihan lain. —Alex Robert Ross
Biarpun banyak hal buruk yang terjadi tahun ini, salah satu hal positif yang bisa diambil adalah dirilisnya album debut yang menawan dari Loamlands asal Durham, North Carolina. Sweet High Rise adalah album pertama yang dirilis oleh duo Kym Register dan Will Hackney. Album ini merupakan bentuk surat cinta mereka kepada kota tempat mereka tinggal dan kepada komunitas LGBT yang kerap ditindas hukum yang semakin opresif. Album ini berisikan lagu-lagu folk dalam bentuk terbaik dan termurni—lagu-lagu yang ditujukan untuk menginspirasi dan mendukung mereka-mereka yang sedang tersakiti. Terinspirasi oleh Stevie Nicks dan Joan Baez, Loamlands menyajikan bimbingan bagi para pendengarnya untuk selalu tabah dan percaya akan kekuatan cinta. Sesungguhnya, album Sweet High Rise ini me. — Annalise Domenighini
“I hate my yearbook photo / I hate my passport / I hate my last name / I hate everything it stands for.” Di 2004, lirik-lirik Kevin Abstract pasti bakal jadi langganan di berbagai forum web. Mundur lagi ke tahun 1998, musik Kevin—alternative rock dengan sentuhan trip-hop—bakal meraja lela di MTV. Jika saja sejarah mau berbaik hati pada Kevin, dia bakal jadi salah satu orang yang mengikuti langkah FrankOcean. Trik utama yang dimainkan Kevin dalam American Boyfriend—mengoplos rap ngamuk pasca Odd Future dengan indie pop yang jujur dan jangly—sebenarnya adalah sebuah koneksi logis yang harusnya bisa dipikirkan banyak orang. Meski begitu, ide ini toh cuma nongol di kepala Kevin. Dia nyaman bermain di dunia ranah tesebut. Nomor “Yellow,” sebuah lagu dengan genjrengan gitar indie folk pantas-pantas saja disandingkan dengan lagu curhat yang lamban”Blink.” Dengan musik yang terdengar sangat optimistik, Kevin malah bercerita tentang kebuntuan yang dihadapi para pemuda. Kevin menggambarkannya tanpa tedeng aling-aling seperti pada lirik ini, “My best friend’s racist / my mother’s homophobic / I’m stuck in the closet / I’m so claustrophobic.” Berbeda dengan musiknya yang tak terpaku dalam satu era, Kevin terjebak di “Amerika yang menyedihkan,” sebuah lanskap yang tak pernah nyawan bagi pria kulit hitam queer di era apapun. Semua ini diakui Kevin dalam nomor membius “Seventeen.” Lewat track ini, dia kembali mengunjungi semua hubungan yang tak berlanjut, kemeranaan dan evaluasi diri yang jusru membuatnya tak nyaman. Penghiburan bagi Kevin muncul ketika dia melapisi memori kehidupan pemuda suburban, sepeda 12 kecepatan dan rumah-rumah yangs serupa dengan masa depan yang dibawa oleh proyek tanpa bandingan in. —Phil Witmer
Dibuat dua tahun setelah Emily Sprague dari band Florist mengalami kecelakaan sepeda yang mengharuskannya mengenakan gibs leher dan tangan kiri yang lumpuh, The Birds Outside Sang berisikan 11 lagu mahakarya yang membahas konsep indahnya kesabaran dan kerapuhan diri yang sebetulnya menenangkan. Gaya penulisan lagunya yang penuh introspeksi dan pendongengan—mirip materi awal Bright Eyes—memang bukan hal baru, tapi Florist tetap menonjol. Dibuka dengan nyanyian Sprague di atas loop keyboard yang minimal (banyak lagu di album ini ditulis menggunakan satu tangan sebelum Sprague bisa mulai bermain gitar kembali), album ini perlahan-lahan mulai menampilkan lebih banyak instrumen, menunjukkan elemen “perkembangan” di setiap lagu. Dengungan-dengungan drone, sound gitar yang hangat dan bunyi simbal yang halus membuat album ini terasa intim sementara liriknya berusaha mengekspresikan emosi yang abstrak lewat perumpamaan yang nyata—entah itu tentang kulit pohon atau kepala kejepit di teralis tangga. Untuk sebuah album debut, ini adalah karya yang unik dan kelewat bagus. —Emma Garland
Bersambung ke bagian 3.