Music

13 Album yang Kudu Kamu Pantengin Sepanjang Pekan Ini

Awal minggu adalah waktu yang tepat memburu musik-musik baru. Sayangnya, kita kadang kebingungan mulai dari mana. Karena itulah, tiap minggu tim redaksi Noisey menyusun daftar album, mixtape, atau EP yang bisa kamu putar seminggu penuh. Kalian juga bisa mencoba lagunya langsung lewat pemutar streaming di artikel ini. Kami sadar rekomendasi tersebut tidak mungkin bisa komprehensif menggambarkan yang sedang seru dari kancah musik. Setidaknya kami berharap usulan kami membantu kalian menemukan musik-musik baru yang menghibur. Jadi, silakan membaca daftarnya!

Playboi Carti: Die Lit

Debut yang pantas dari rapper asal Atlanta yang mampu menghipnotis pendengarnya ini datang tiba-tiba saja. Sembilan belas track di dalamnya mencakup lebih banyak tema dari mixtape yang sebelumnya dirilis Playboi Carti. Selain itu, ada banyak bintang tamu yang dijamin menarik banyak penyuka hip-hop yang sebelumnya sama sekali tahu siapa Playboi Carti. Pun, pilihan rapper dan penyanyi yang bertamu dalam album secara tak langsung menabalkan kesan betapa percaya dirinya Carti. Tak kurang dari Travis Scott, Lil Uzi Vert dan bahkan Nicki Minaj menyumbangkan suara mereka di album pertama Carti. Hebatnya lagi, mereka terkesan legowo bermain dengan alur yang dibuat oleh Carti, bukan menarik Carti ke dalam orbit mereka. Bernyanyi bersama Young Thug di “Choppa Won’t Miss” dan Chief Keef di “Mileage,” Carti seperti kesusahan memusatkan pikiran. Akan tetapi justru di sisi itulah Carti menunjukkan bahwa dengan bermodal energi yang membuncah saja, dia bisa menyelesaikan album ini. Untungnya, Carti lebih sering benar alih-alih sebaliknya. Kendati rima-rima tajam Cold Hearted dan Skepta datang sebagai penyegar alam album ini, menciptakan sound dan gaya bermusik dalam album ini adalah separuh dari seluruh pengerjaan proyek ini dan ini berhasil dibereskan dengan baik olah Carti (tentunya dengan bantuan Pi’erre Bourne ). Album ini membuka jalan bagi Carti untuk jadi salah satu rapper yang patut diperhitungkan saat ini. — Alex Robert Ross

Videos by VICE

Arctic Monkeys: Tranquility Base Hotel & Casino

Tranquility Base Hotel & Casino, album keenam Arctic Monkeys yang menuntaskan dahaga penikmat indie rock terhadap karya baru Alex Turner cum suis dengan sadar menjauhi riff-riff stadium rock dan hook-hook pop. Hasilnya, band asal Sheffield ini menjelajahi sound-sound yang lebih aneh (dalam parameter mereka) kadang picik serta sesekali kurang ramah di kuping pendengarnya. Album ini sangat terinspirasi musik-musik lounge dan chamber pop tahun ‘70an. Bahkan, Turner cs sepenuh membiarkan estetika musik masa itu mewarnai album ini. Alhasil, dari semua album yang pernah dirilis Arctic Monkeys, Tranquility Base adalah satu album yang benar-benar mengeksploitasi satu mood semata. Kala pertama kali saya dengarkan, saya merasa album ini terlampau bersih dan terang, seperti sebuah rumah sakit atau lounge sebuah kasino. Tiap track dalam lagu ini nyaris terasa dingin, seperti saat kita sudah terlampau teler. The Tranquility Base Hotel & Casino bukan sebuah istana mewah. Album ini lebih mirip bar pinggiran dengan bir-bir murahan serta galeri pengap tanpa jendela berisi ambisi-ambisi yang mati muda dan harapan yang hilang entah ke mana. Dan Turner hidup di dalamnya . — Shaad D’Souza,

Tee Grizzley: Activated

Dalam mixtape debut My Moment, Tee Grizzley harus berjuang dalam kesendirian. Dua orang tuanya absen. Sang ibu menjadi pesakitan di hotel prodeo sementara sang ayah meninggal. Grizzley, seperti ibunya, pernah menjadi narapidana. My Moment berkisar tentang ceritanya bersama teman-temannya saat menginap di penjara serta ikrarnya untuk membantu orang-orang berjuang di sisinya. Yang alfa dibicarakan Grizzley adalah bagaimana dia sampai dalam kebebasan finansialnya saat ini. Minggu ini, pria asal Detroit ini merilis solo album pertamanya, Activated. Menurutnya, album ini titik tolak yang lebih jujur, apalagi jika dibandingkan dengan My Moment. Pasalnya, dalam mixtapenya, dia merasa kurang jujur apa adanya kendati orang lain mungkin sudah menganggap cukup blak-blakan. “Di My Moment, aku banyak ngomong tentang perjuangan kami dan hal-hal yang kami lewati bersama. Di Activated, aku bercerita apa yang harus aku lakukan dari hari ke hari,” ujarnya. “Yang baik dan yang buruknya.”. — Lawrence Burney

Junglepussy: JP3

Junglepussy, Rapper asal New York yang yang punya tendensi mengcaption postingan Instagramnya dengan kalimat, “let them eat pussy,” merilis album ketiganya—Jp3—yang terasa jauh lebih personal. Rima-rima bengal tentang selangkangan masih bertebaran, tapi fokusnya kini lebih untuk membahas hal-hal yang lebih besar—pemenuhan hasrat yang lebih agung dari seks. Salah satunya adalah rasa cinta pada diri sendiri. Alih-alih mengobral padanan kata “meki” dalam bahasa Inggris, Jungglepussy sangat kedengaran berusaha mengajukan sebuah argumen. Seiring dengan temanya yang lebih “dewasa”—untuk tidak mengatakan berisi—terdengar lebih segar dan sober. Track-track Jp3 dibentuk dari sample-sample funk, string-string riang, echo khas dub yang mengajak goyang dan paduan suara yang merapal hal yang tak penting sama sekali. Rima-rima Jungglepussy dengan enteng melayang di atas komposisi itu. Kalau ada album yang banyak menyebut kata pussy dan bisa dinikmati dengan santai sebelum terlelap dan tak akan mengingatkan kita pada soundtrack film-film biru Vivid Interactive, Jp3 adalah album itu. — Colin Joyce

Beach House: 7

Kali ini, Beach House mengesampingkan metode berkarya lama mereka. Mereka merombak ruang latihan mereka—sebuah gudang “jorok” seluas 274 meter persegi yang dilengkapi lantai kayu dan atap setinggi nyaris empat meter—menjadi studio rekaman. Nyaris semua bukti fisik perjalanan karir mereka ditempatkan di sini, dari organ yang soundnya jadi fondasi utama musik Beach House, pedal, keyboard dan set panggung lama mereka—yang terakhir, menurut keyboardis Victoria Legrand akan mereka bakar pada satu titik. Tiap album Beach House selalu memiliki lagu-lagu yang tak pernah dimainkan secara live di atas panggung (seperti “Home Again” dari album Devotion). Kali ini, untuk album terbaru mereka, 7, mereka tak mau membatasi diri dan tak tanggung dalam menulis lagu yang bakal nyaman dimainkan di atas panggung. Hasilnya: beberapa lagu tak dibumbui sound keyboard, gitar absen di beberapa track serta tentu saja lagu-lagu yang terlampau kaya akan layer hingga mustahil dipentaskan secara live. Kali ini mereka kedatangan tamu agung: mantan anggota Spacemen 3 Peter Kember. Bantuan juga datang dari drummer tur mereka James Barone. Materi album ini ditulis dengan mengikuti insting. Semua inspirasi yang datang langsung dirangkai dalam track mereka kerjakan tanpa banyak cincong—sesuatu yang lazim mengingat mereka sudah punya ikatan musikal selama lebih dari sepuluh tahun lamanya. — Ryan Bassil

Mark Kozelek: Mark Kozelek

Karena—entah alasan apa—pria yang lebih dikenal dengan moniker Sun Kil Moon tak akan pernah berhenti mengumbar foto diri yang gigih meski tak menarik dalam lirik-liriknya, album terbaru Kozelek yang dengan entengnya diberi judul Mark Kozelek harus mengundang tanya. Setidaknya, kita bisa bertanya bukannya album ini kedengaran seperti sebuah kelakar sebab setelah beberapa album folk yang bercerita tentang segala hal yang mengantarnya menuju solipsisme, dia kini merilis sebuah album self-titled? Lantas, apakah omelannya—atau curhatannya—akan terasa lebih personal dengan memajang nama aslinya sendiri?

Entahlah, yang jelas album ini berisi, di antaranya, omelan tentang betapa underratednya Ariel Pink, cerita seadanya tentang interaksinya bersama fan dan sebuah chorus yang isinya cuma “diarrhea, diarrhea, diarrhea” (dan semuanya ini terangkum dalam satu lagu berjudul “The Mark Kozelek Museum.” Goks!). Pada dasarnya, meski judulnya Mark Kozelek, album ini tak jauh berbeda dengan album-album lainnya yag pernah ditulis mantan anggota Red House Painters ini. Tema besarnya sama: sebuah otobiografi yang mencabik-cabik hati pendengarnya. Tak ada album yang se-tak-komersial ini akhir-akhir, meski katakanlah folk sedang naik daun beberapa tahun terakhirnya. Dan geblegnya, seperti biasa, Mark menganggapnya sebagai sebuah capaian yang wajib banget dibanggakan. Kamu tak akan berdosa sama sekali jika merasa bosan tak punya tempat lagi untuk menampung omelan pria kulit putih satu ini. Cuma bila ada satu hal yang konsisten dari dirinya adalah kegigihannya menggambarkan dirinya sendiri sebagai seorang pria yang kurang simpatik. Barangkali bila kita bisa masuk otaknya, kita bakal cepat menyerah kecapaian menghadapi pikiran-pikiran yang diperam Mark dan hal ini susah sekali direkam menjadi sebuah album. Singkatnya, album ini sangat layak dengar!. — Colin Joyce

Sarah Louise: Deeper Woods

Virtuoso gitar asal North Caroline yang yang beberapa tahun belakangan melahirkan album solo gitar terbaik kini melebarkan sayapnya untuk menulis lagu dengan cara yang lebih tradisional dalam debut albumnya di label Thrill Jockey, Deeper Woods. Part-part gitar yang saling berkelindan memang masih kerap muncul dan memunculkan komposisi-komposisi ganjil. Gaya memetik ala raga, solo-solo yang muncul tiba-tiba serta ritme gitar lembut kadang bisa ditemukan dalam satu track. Satu-satunya hal yang baru dari album ini adalah suara Sarah itu sendiri. Sepintas sauaranya terdengar menyeruak dan meretih di antara petikan gitarnya yang padat. Walaupun apa yang diungkapkan Sarah—bahkan bunyinya sendiri—tak begitu jelas terdengar, suara Sarah sudah berjasa banyak membuat komposisi-komposisi yang kerap abstrak jadi mudah dinikmati. — Colin Joyce

City Girls: Period

Desember lalu, City Girl masuk kompilasi Quality Control, Control The Streets, dengan lagu “Fuck Dat Nigga,” anthem anti cowok yang maunya gratisan yang menjungkirbalikkan “My Neck, My Back”-nya Khia. Debut mixtape mereka, Period, 16 track tentang bagaimana caranya naik tingkat dalam segala hal dengan segala cara. Dalam track seperti “Millionaire Dick” dab “Where The Bag At,” mereka membeberkan cara paling gampang untuk menggembosi rekening bank. Duo ini juga merinci cara gampang memeras pria incaran mereka di “How to Pimp a Nigga.” “Make him think you love him, take his money, then you dip on niggas,” begitu mereka ngerap. Bila sedang tak menyanyikan lagu-lagu rap bertema pencurian ala Ocean 8, City Girls mendaur ulang lagu-lagu dari era keemasan rap. Beberapa di antaranya adalah dua lagu dari Junior M.A.F.I.A “Crush On You” dab “Fuck on U” serta tembang lawas Salt-N-Pepa, “I’ll Take Your Man.” Ini menyiratkan bahwa City Girls siap melakukan apa saja. Dan duo asal Miami ini siap menguasai dunia. — Kristin Corry

Yours are the Only Ears: Knock Hard

Tak hanya rasa lembut yang berhasil ditularkan oleh lagu-lagu Yours are the Only Ears, tapi juga pemahaman mendalam akan bagaimana kenangan dan waktu mengubah kita. “You and Bobby” tak lebih dari sekadar memori Susannah Cutler saat hidup di kawasan pedesaan di Georgia. “Aku dulu mikir aku bakal jadi petani, tapi mungkin itu karena aku mengidap depresi,” katanya—dan salah satu orang yang dia temui dia sana. Dia sih tak menyebut pasti siapa orang ini untuk menghormati identitasnya. Namun, yang jelas, Cutler menyakinkan bahwa tema utama album ini berkisar tentang bunuh diri dan pilihan untuk terus hidup. — Colin Joyce

rRoxymore: Thoughts of an Introvert Pt. 2

EP baru dari produser dan DJ asal Berlin rRoxymore adalah tahap kedua dari kumpulan track ala klab malam bagi orang yang jiper masuk klab. Jadi jangan aneh bila track-track ini kedengaran introvert dan lebih lowong serta agak sureal daripada track-track techno biasanya. Ada banyak ruang kosong antara melodi synthesizer yang berputar-putar dan suara drum machine yang rapat. Ini pilihan yang masuk akal. Bagi mereka yang tak nyaman masuk klub malam, ruang bernafas yang cukup di antara puluhan badan yang meliuk-liuk mengikuti musik adalah sesuatu yang patut disambut dan dirayakan. — Colin Joyce

Boys: Rest in Peace

Nora Karlsson adalah penyanyi/penulis lagu serta auteur berumur 22 tahun dari Stockholm, Swedia. Dan saya masih susah mempercayai bahwa album debutnya sebagai Boys, Rest In Peace, belum jadi buah bibir para penggemar indie pop. Karlsson mengedepankan indie pop yang tetap membumi, membiarkan melodi telernya bercerita tentang kisah-kisah akil balik. Pun, kadang dia melakukan sedikit eksperimen dengan struktur dan sound jika merasa perlu. Album ini sama sekali tak mengubah wajah indie pop. Cuma begitu kamu bisa mengarang lagu seterang dan seringan “Rabbits,” menjadi revolusioner di kancah indie pop adalah pilihan nomor sekian. — Alex Robert Ross

LEYA: The Fool

The Fool adalah album delapan track berisi melodi yang dimainkan dengan sangat lamban. Melodi-melodi dihasilkan oleh mandolin [Marilu] Donovan yang distem sembarangan, part-part string [Adam] Markiewicz serta vokal droning yang keluar dari mulut keduanya atau rekan-rekan mereka dari kancah underground New York seperti Eartheater, PC Worship, dan Sunk Heaven. Mereka kerap kali menggarap komposisi-komposi lowong dengan memainkan seminimal mungkin not. Namun, LEYA sebenarnya lebih sering menggubah komposisi dengan tonalitas yang lebih njelimet dengan tempo yang lebih melankolis—mood utama labum ini seperti berkutat pada kehilangan serta kegusaran. Pada lagu-lagu macam “Cats,” saya mendengar dengan jelas kekosongan dan rasa kehilangan. — Colin Joyce

Dustin Wong + Takako Minekawa + Good Willsmith: Exit Future Heart

Yang mengasikkan dari menggubah musik lewat improvisasi adalah kamu bisa memanfaatkan sebuah momen sepenuhnya. Kamu mengisi part-part yang dirasa perlu, mendorong sound yang kamu kembangkan ke arah yang baru dan kamu bahkan bisa menciptakan kekacauan yang harus direspon oleh player lain di sekitarmu. Keuntungan lain dari bikin musik lewat cara seperti ini adalah kalau rekan bermusikmu kebetulan sedang berada di kotamu, kamu bisa mengundangnya untuk nongkrong dan menghasilkan komposisi hasil ngejam yang eksploratif. Album Exit Future Heart, hasil kolaborasi terbaru dari duo dari Toktyo Dustin Wong + Takako Minekawa serta trio dari Chicago trio Good Willsmith. Semua track ini direkam secara live di satu rumah di Chicago ketika Wong dan Minekawa sedang menjalani tur di sana. Musik bagus kadang tak harus diperam puluhan tahun dan bisa lahir dalam waktu semalam saja. Camkan itu, semua anggota Tool!. — Colin Joyce,

Follow Noisey di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE AS