Pandemi Corona

Tanpa Corona Jalur Gaza Terisolasi dan Krisis Obat, Kini Wilayah itu Kena Pandemi

Salam Khasan adalah dokter spesialis obgyn di Palestina. Kepada VICE, dia berbagi pendapat tentang dampak COVID-19 terhadap wilayah Gaza yang bertahun-tahun kekurangan sumber daya medis.
Jalur Gaza Palestina Terisolasi dan Krisis Obat Kini Ikut Mengalami pandemi corona
Foto dari arsip pribadi Dr. Salam Khashan 

Jadwal jaga Salam Khasan di Kompleks Rumah Sakit Nasser, Jalur Gaza, Palestina, kadang bisa melewati batas 24 jam.

"Ketika saya di UGD, dan saya butuh ranjang untuk misalnya seorang pasien pengidap hipoglisemia (gula darah rendah), seringkali tidak ada lagi ranjang yang tersedia," ujar sang dokter pada VICE. Dalam skenario seperti itu pasien harus menunggu di UGD selama berjam-jam, selama Khashan, seorang dokter obygn alias spesialis kandungan, menghubungi departemen lain menanyakan ranjang kosong.

Iklan

"Kadang kami harus merawat pasien yang sudah jelas diagnosis dan pengobatannya, tapi tidak bisa kami melakukan apa-apa, karena Gaza obat-obatan standar seringkali tidak tersedia," ujarnya. "Wilayah ini kekurangan obat-obatan sebanyak 50 persen dari yang idealnya dibutuhkan populasi."

Apa yang digambarkan Khashan sekilas sama seperti yang dialami dokter di kebanyakan negara, yang sistem kesehatannya sedang kewalahan menghadapi pandemi corona. Tapi Khashan bukan sekadar menggambarkan situasi Gaza di tengah merebaknya COVID-19, melainkan kondisi kerjanya sehari-hari yang menderita akibat blokade 13 tahun akibat penjajahan Israel. Pergerakan orang dan barang keluar masuk Jalur Gaza sangat dibatasi.

Akibatnya, para dokter dan waga sipil mengkhawatirkan sistem kesehatan Gaza yang tidak memadai kebutuhan warga sehari-hari, apalagi ketika virus corona mulai menular di kawasan tersebut, dengan kecepatan seperti di Tiongkok, Italia, atau bahkan Amerika Serikat.

"Di Gaza pelayanan kesehatan sudah gawat darurat bahkan sebelum corona," ujar Khashan. Pada 22 Maret, dua kasus pertama dari COVID-19 terdeteksi di warga Palestina di Gaza yang baru kembali dari Pakistan. Ketika mereka tiba di Gaza, Hamas selaku partai yang menguasai wilayah tersebut, bergegas menyiapkan fasilitas karantina bagi mereka yang baru datang dari luar negeri. Kedua kasus tersebut, bersama dengan tujuh lainnya terdeteksi oleh pusat karantina.

Iklan

Semenjak itu, dokter-dokter di Gaza bersiap siaga berusaha menghentikan virus sebelum terlambat. Khashan bekerja di departemen obstetrik dan ginekologi, tapi protokol baru COVID-19 di Jalur Gaza mengharuskan dia menanyakan setiap pasien apabila mereka mengalami gejala.

"Kalau saya mendapatkan pasien baru yang punya masalah dengan pendarahan vagina misalnya, saya tetap harus menanyakan apabila dia mengalami demam, rasa sakit di dada, sesak nafas, atau batuk," ujarnya. "Apabila gejala-gejala tersebut positif, ditambah pasien baru saja datang dari luar Gaza atau pernah berinteraksi dengan pendatang, maka saya wajib menghubungi komite pengontrol infeksi."

Hingga saat ini, paling tidak 12 orang di Gaza dinyatakan positif COVID-19. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, enam orang telah sembuh dan sisanya masih berada di fasilitas kesehatan corona terisolasi.


Simak dokumenter VICE mengenai kehidupan di Jalur Gaza yang jadi korban isolasi Israel:


Sebetulnya, kekhawatiran Khasan tidak berbeda jauh dengan yang dialami dokter-dokter di negara lain: kurangnya ventilator, kurangnya ranjang, kurangnya APD, kurangnya tenaga medis, kurangnya rumah sakit. Tapi bahkan melebihi negara lain, dokter-dokter di Gaza menghadapi tantangan yang unik kala menghadapi COVID-19.

Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki 52 ventilator untuk setiap 100.000 orang—yang sebetulnya sudah di bawah angka yang dianjurkan—Gaza memiliki 3 ventilator untuk setiap 100.000 orang. "Kementerian Kesehatan membutuhkan 100 ventilator dan 140 ranjang instalasi perawatan intensif (ICU) sebagai respons awal terhadap penyebaran virus corona, karena saat ini kami hanya memiliki 63 ventilator dan 78 ranjang ICU," ujar Kementrian Kesehatan Palestina pada 1 April.

Iklan

Namun tetap saja, ventilator butuh listrik, dan warga Gaza hanya memiliki 8 jam listrik per hari. Ini memaksa rumah sakit menggunakan generator. Generator butuh bahan bakar dan harganya mahal. Jauh sebelum virus corona, minimnya pasokan listrik sudah menyebabkan beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan ditutup di Jalur Gaza.

"Kami mungkin punya listrik buat ventilasi, tapi tidak untuk menyalakan ruang bedah," ujar Khashan sambil mengingat masa ketika dokter bedah harus menggunakan ponsel untuk menerangi sebuah operasi. Seringkali, tambahnya, dokter dipaksa mengalokasikan listrik untuk pasien yang paling membutuhkan.

PBB dan beberapa organisasi lain mengembangkan skema khusus buat membantu dokter dan warga sipil melawan COVID-19 di Palestina, termasuk di Tepi Barat dan Gaza. Skema ini membutuhkan dana US$34 juta untuk kebutuhan medis, edukasi, makanan, tempat berlindung, dan akses ke jasa pencucian. Sejauh ini, baru 25 persen dari kebutuhan pendanaan itu yang terpenuhi.

Meskipun PBB berupaya membantu, sikap politik mereka tidak berubah. PBB menganggap Israel yang bertanggung jawab di bawah hukum internasional untuk memastikan warga Palestina menerima bantuan kesehatan yang cukup.

"Tanggung jawab legalnya, yang didasari Artikel 56 di Konvensi Geneva Keempat, mengharuskan Israel, sebagai negara yang menduduki wilayah Gaza, memastikan bahwa semua tindakan pencegahan yang tersedia untuk ‘melawan penyebaran penyakit dan epidemi menular’ dilaksanakan," ujar Michael Lynk, juru bicara HAM PBB mengenai Palestina.

Iklan

Seiring virus corona menyerbu kota-kota kaya yang padat seperti New York, tingkat kepadatan Gaza yang tinggi memicu kekhawatiran lain. Terbatasnya pergerakan di dalam Gaza akibat blokade Israel telah menciptakan salah satu area terpadat di dunia, di mana hampir 2 juta orang hidup di dalam 362 km2. Baik tingkat kepadatan maupun kemiskinan Gaza (tingkat pengangguran di wilayah ini mencapai 47 persen) merupakan rintangan bagi social distancing dan karantina wilayah.

Khashan juga menambahkan bila himbauan mengarantina diri sendiri dan social distancing tidak membantu bagi mereka-mereka yang tidak punya kemewahan untuk melakukan kedua hal tersebut. "Banyak orang di sini kerja menyambung hidup dengan upah harian," jelasnya. "Apabila seseorang bekerja, mereka mendapatkan uang untuk membeli makan dan minum untuk hari itu juga. Mereka tidak punya tabungan, dan mereka tidak punya cara lain untuk mendapatkan persediaan makan dan minum."

Khashan sendiri memiliki masalah dengan praktek isolasi diri, biarpun peluang dia terkena COVID-19 lebih tinggi dibanding publik karena bekerja di rumah sakit. Dia tinggal bersama tujuh orang anggota keluarga dan berbagi kamar dengan kedua kakak-adiknya. "Saya takut tanpa APD memadai akan menjadi pembawa virus dan menyebarkannya dari rumah sakit ke rumah," ujarnya. "Saya tidak punya pilihan selain harus menghadapi semuanya dan berusaha melakukan yang terbaik."

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News