PunkInPic
Arsip artikel yang terbit di Majalah Aktuil membahas punk. Foto oleh Alvin Yunata.
Sejarah Musik Indonesia

Melacak Jejak Punk Masuk ke Indonesia

Kontributor VICE Alvin Yunata mencatat proses genre punk mulai dikenal anak muda Indonesia lewat arsip-arsip lawas 'Aktuil' 70'an, sampai kemudian kancah berkembang di Jakarta dan Bandung akhir 80'an.

Pertengahan tahun lalu, sahabat saya—seniman Jakarta yang hijrah ke Jogja untuk hidup lebih hippie—bernama Agan Harahap mengirim foto pemuda bergaya punk rock dengan tulisan, “Gue dapet foto keren nih, pak presiden jaman muda tuh,”, timpalnya.

Saya cukup terkejut dan kembali membuka gambar tersebut, “Ah masa? Iya gitu?”, tanya saya. “Iya gue dapet dari orang dalem”, akunya.

Saya tertegun beberapa saat, sambil terburu-buru membuka mesin Google. Joko Widodo kuliah di Universitas Gajah Mada jurusan Kehutanan dan lulus pada 1985. Lha bukannya Punk Rock baru masuk ke Indonesia secara utuh di awal dekade 90-an? Kemudian saya ngeh. Kontan saya telepon dia untuk memakinya, sekaligus memuji kepiawaiannya mengolah foto.

Iklan

Prank Agan kemudian memicu rasa penasaran saya melacak titik masuk budaya Punk Rock ke tanah air. Salah satu patokan ilmiah yang biasa jadi rujukan adalah skripsi sosiolog Fathun Karib, berjudul “Sejarah Komunitas Punk Jakarta”.

Dalam penelitiannya, pengaruh Punk yang masuk ke Indonesia dibagi atas empat elemen, yaitu musik, fashion, komunitas (tongkrongan) dan pergerakan (pemikiran). Empat elemen ini hadir di Indonesia dalam waktu yang tak bersamaan. Ketika Jokowi sekolah hingga kuliah, disinyalir kultur Punk belum masuk ke Indonesia dari elemen manapun. Jurnalis musik senior Wendi Putranto turut menyimpulkan bila sepanjang pertengahan hingga akhir dekade 80-an, khususnya di Jakarta, poros musik keras perkembangannya masih dikuasai oleh Thrash Metal.

Kalau ada elemen punk yang bisa teraba, itu baru diwakili elemen fashion, seperti munculnya peran antagonis berpakaian layaknya punk rockers Ramones dalam film “Menggapai Matahari” yang dibintangi Rhoma Irama. Band bernama Punk Modern Band yang aktif pada kurun 1984/1985, juga lebih sering meng- cover Duran Duran hingga Rush. Bukan punk.

Yockie Suryoprayogo turut meminjam istilah Punk dalam albumnya “Punk Eksklusif”, namun yang terdengar hanyalah injeksi pola aransemen New Wave. Herry Sutresna a.k.a Morgue Vanguard mengamini apa yang saya rasakan. “Di era 80-an, atau bisa kita sebut pra-punk, penikmat musik Indonesia belum mampu mengapresiasi budaya Punk secara utuh,” ujarnya.

Iklan

Di era itu, musisi lokal masih memuja Progressive Rock, sehingga pola pikir dominan skill bermain musik adalah segalanya. Secara musikalitas, attitude Punk yang menawarkan anti-tesis skill cenderung belum bisa diterima. Almarhum Andi Julias, founder Indonesian Progressive Society saat diwawancarai Wendi Putranto setuju bahwa kerumitan jenis musik progressive rock telah membentuk standard selera anak muda di Indonesia. Pada era kejayaan kaset bajakan, album Self-Titled milik The Clash sempat dirilis. Hasilnya? Tak ada respons yang signifikan dari anak-anak muda dekade 80’an terhadap album monumental tersebut.

DI Jakarta, kancah metal justru berjasa besar membidani embrio punk. Band-band thrash Metal seperti Roxx, Adaptor, Mortus, Sucker Head, Painfull Death hingga Rotor disinyalir menjadi gerbang bagi masuknya Punk Rock ke Indonesia. Fathun Karib menyatakan keberadaan Pid Pub yang berlokasi di Pondok Indah sebagai saksi sejarah lahirnya Punk Rock di Indonesia, terutama di medio 1987-1991.

Pid Bar melahirkan Antiseptic dan The Stupid, generasi pertama band punk di Indonesia. Nama-nama individual seperti Feri ‘Blok M’, Dayan ‘The Stupid’ hingga Udet dari Young Offender mencuat satu per satu, dan kancah Punk Rock pelan-pelan mulai tumbuh. Kelas menengah atas Indonesia kala itu, terutama yang bisa kuliah di luar negeri, ikut berjasa membawa kultur punk masuk ke Tanah Air.

Udet mengaku tertarik pada punk karena bersekolah di New York. Dia pun berjejaring dengan sesama pelajar Indonesia di Negeri Paman Sam seperti Yungky, yang sama-sama tinggal di New York, Rudy di California, Andy di Chicago, dan Ondy Rusdy di Boston. Nama-nama itu sepulang ke Tanah Air di tahun 1989-1990 membawa punk ke sirkuit pentas independen Jakarta. Rudy yang memiliki informasi seputar jaringan kelab malam di ibu kota, membuka jalan untuk memutar lagu-lagu alternatif di kelab malam yang notabene saat itu hanya memutar musik disko.

Iklan

Namun benarkah kronologi di atas adalah satu-satunya jawaban? Jejak kaki arsip media berkata lain, terutama merujuk majalah musik Aktuil asal Bandung, yang sempat menjadi poros utama referensi budaya pop anak muda di kota-kota besar Indonesia. Punk sebetulnya sudah mulai dikenal, walau sepertinya hanya oleh segelintir, anak muda di republik ini jauh lebih awal dari yang kita kira.

Sematan kata “underground” sendiri sudah mulai digunakan Aktuil untuk mewakili istilah musik keras sejak akhir tahun 60-an. Lantas, pada salah satu edisi yang terbit 1976, Aktuil memuat artikel ulasan berita pendek soal rilisan Patti Smith “Horses”. Di tahun yang sama terbit tulisan pendek soal kiprah Ramones berjudul “Ramones! Menggantikan posisi New York Dolls” dengan deskripsi seperti ini:

“Dibandingkan dengan THE DOLLS, pemunculan RAMONES di New York lebih mendapat sambutan hangat oleh rock fans. Mereka sering bermain di rock club CBGB (Kapan nih YAN MUFNI menulis tentang rock club yang antic di downtown Manhattan ini. Ditunggu artikelnya di Bandung, sobat!). Mereka menamakan musiknya “punk rock” dan berharap bisa segera mencapai reputasi nasional yang bisa melebihi ketenaran DOLLS.”

Aktuil edisi 25 November 1976 memuat artikel panjang karya Stephen Lim, kontributor dari London yang mencoba memaparkan dan mengidentifikasikan Punk Rock sebanyak dua halaman dengan sangat sederhana. Penulis memberikan referensi, “Mungkin material-material mereka sukar didapatkan di Indonesia, tapi kalau ada kesempatan dengarkanlah!”. Lalu nama yang paling banyak diulas pada artikel tersebut tentunya Sex Pistols, dengan gaya kronologis yang singkat medio 1975 hingga September 1976. Menyusul band lainnya seperti The Damned, The Clash, Eddie and The Hot Rods, The Buzzcocks, Subway Sect, Eater dan Vibrators.

Iklan
1576819870836-PattiSmith2

Arsip majalah Aktuil saat memuat artikel mengenai Patti Smith. Foto oleh penulis.

Sentuhan visual juga ditampilkan Aktuil edisi 13 Desember 1976 lewat artikel berjudul "Punk: In Pictures and Briefs" dua halaman berisikan kolase foto-foto band Punk Rock disertai trivia alphabetical singkat seputar Punk berisikan opini, pemaparan naif, penggunaan istilah, informasi dan serba serbi lainnya. Sepanjang 1977 ulasan tentang Punk tidak terlalu mendalam, namun hampir di setiap edisi tampil beberapa ulasan singkat saja. Punk sepertinya menggelora kembali—setidaknya di mata redaksi Aktuil—di tahun 1978. Penulis berinisial “XS” menyita perhatian saya, karena di era ini dialah yang selalu menulis artikel seputar Punk. Sayang saya tak pernah mendapatkan jawaban pasti siapakah XS ini.

Di majalah Aktuil edisi 30 Januari 1978, The Clash mendapat sorotan khusus artikel dengan judul kontroversial “Bentuk-Bentuk Tirani Dalam Semakin Merajalela”. Dalam paragraf pertamanya pun sudah langsung mengacu pada isu politik sesuai dengan yang diperjuangkan The Clash. Mungkin ini satu-satunya artikel dengan muatan yang sangat serius yang pernah dimuat oleh Aktuil selama memuat artikel Punk Rock, walaupun hasil terjemahannya terasa asal-asalan.

Artikel resensi singkat album Sex Pistols sempat muncul di majalah Gadis edisi April 1978. Akan tetapi, pengarsip musik Budi Warsito memastikan resensi tersebut hanyalah terjemahan utuh ulasan dari majalah Cash Box (Amerika) edisi November 1977.



Nampaknya jejak punk di akhir dekade 70 hingga 80’an di Indonesia masih sebatas wacana—dan penikmatnya amat terbatas. Represi Orde Baru terhadap anak muda, terutama lewat sensor ketat informasi dan kebijakan NKK/BKK, rupanya belum berhasil memantik ketertarikan kalangan muda terdidik terhadap ideologi punk.

Iklan

Malah, ketika wacana punk disodorkan pada pembaca Aktuil, sempat mencuat pro-kontra terhadap gagasan sidestream tersebut. Contohnya dalam edisi Aktuil 237, ada surat pembaca dari Buddy Herdianto mengapresiasi musik Punk. Surat itu menuai cercaan dari pembaca lainnya. Hanya ada satu orang bernama Marzuki yang membelanya, lewat Aktuil edisi Februari 1978.

“Jika Aktuil jadi mengkasetkan lagu-lagu dari band Punk Rock (seperti saran sdr. Budi) pasti saya beli. Apakah di Indonesia ini hanya saya dan sdr. Budi yang senang Punk Rock? Sisipkan pula syair lagu-lagu kaset tersebut dalam album lagu-lagu Aktuil. Eh saya tunggu tips album Sex Pistols “Holiday In The Sun”. Baiklah sampai disini dulu terimakasih atas dimuatnya surat saya. Bravo Aktuil! - Marzuki M”

Saya pribadi, yang tumbuh di Bandung, mengenal punk dari pola serupa di Jakarta. Pada 1993, seorang teman memperkenalkan saya dengan kaset The Exploited “Punks Not Dead”. Dia mendapatkan buah tangan ini dari kakak sepupunya yang tinggal di Negeri Paman Sam. Penyebaran referensi banyak diawali dari lini individual maupun komunitas, salah satunya komunitas skateboard di Taman Lalu Lintas bernama Street Spyder. Nishkra, Helvi ‘Fast Forward Records’, Arian dan Robin ‘Puppen’—beberapa nama yang kelak tenar—muncul dari tongkrongan ini.

1576820045487-PunkRock

Foto lain dari arsip Majalah Aktuil saat membahas musik punk.

Selain itu di tahun 1993, kolektif dari Jakarta, Young Offender hadir menyebarkan semangat punk melalui panggung “Black Hole” di tempat sepatu roda NASA, Bandung. Band milik Ondy Rusdy, The Submission turut tampil.

Iklan

Pada 1994, di GOR Saparua Bandung digelar konser legendaris Hullabaloo 1, sebuah tonggak penting bagi scene punk lokal. Nama-nama band lintas genre mewarnai acara tersebut. Mulai dari Hellburger, Live at Pawn, The Chronics, Full of Hate, The Wave, Morbus Corpse, Pure Saturday, Antiseptic (Jakarta), Ritual Doom (Jakarta) hingga Alien Scream (Jakarta). “If you hate the commercial bands, support your local underground bands!”, sebuah statement yang tertulis pada poster acara begitu menancap dalam pikiran saya.

Komune Punk yang tadinya tersebar kini mulai bersarang menjadi satu—dari GOR Saparua hingga akhirnya bersemayam di belakang Bandung Indah Plaza —dikenal dengan nama PI (Punk Indonesia). Munculnya distro Riotic milik Dadan Ketu juga menjadi poros yang cukup signifikan.

Semakin banyak band punk bermunculan, di antaranya Runtah, Turtles Jr, Jeruji, hingga Keparat. Sebagian dari mereka masih eksis hingga artikel ini ditulis. Di momen ini pula, korespondensi Arian Arifin (masih di Puppen dan belum membentuk Seringai) dengan majalah Maximum Rock And Roll terjalin.

Tukar pengetahuan antara pegiat skena lokal dengan zine-zine luar juga makin menjamur. Zine lokal, diinisiasi Pam ‘Runtah’, Arian dan banyak lagi lainnya, ikut tersebar di setiap kantung budaya pop alternatif. Ketika kompilasi Injak Balik! A Bandung Punk/HC Compilation rilisan Tian An Men 89 Records asal Prancis beredar, kompilasi karya band-band Punk lokal akhirnya membanjiri Bandung. Punk memiliki jalannya sendiri lahir dan tumbuh di Indonesia, mengakar, berkembang dan menjadi sejarah.