Kesehatan Mental

Galau 'Quarter-Life Crisis' Makin Menjangkiti Lelaki Milenial Berbagai Negara

Bukan hanya remaja saja yang galau memikirkan tujuan hidupnya, lelaki dari generasi milenial juga merasakan dampak khusus dari krisis jati diri.
Laki-laki main HP sambil tiduran
Foto: Reuters/Andrew Kelly

Sandy baru 18 tahun ketika dia pindah ke Australia untuk menjadi instruktur selancar angin. Hidupnya sangat menyenangkan di sana, tapi Sandy memilih pulang kampung ke Inggris dan menjadi pegawai kantoran. Dia merasa sudah waktunya menjalani hidup dengan lebih serius.

“Saya lelah hidup,” katanya. “Teman-teman di Inggris sudah punya rumah sendiri, jadi saya merasa harus pulang untuk melakukan hal yang lebih penting.”

Iklan

Lelaki yang sekarang berusia 29 mencapai titik terendahnya dua tahun lalu. Dia berhenti kerja karena tidak puas dengan hidupnya.

Ada banyak lelaki di luar sana yang mengalami situasi serupa. Faktanya, studi yang dilakukan oleh LinkedIn pada 2017 menunjukkan 72 persen anak muda di Inggris pernah diterpa “quarter-life crisis”, sedangkan 32,4 persen mengaku tengah mengalaminya. 

Quarter-life crisis adalah kondisi emosional yang ditandai oleh kecemasan, keraguan terhadap diri sendiri, dan ketakutan akan gagal dalam hidup. Anak muda berusia 20 hingga awal 30-an biasanya menjadi kelompok yang paling sibuk mencari jati diri. Mereka masih bimbang ingin melakukan apa, dan kerap membandingkan pencapaian pribadi dengan orang lain.

Walaupun studi LinkedIn mengungkapkan perempuan lebih rentan mengalami quarter-life crisis, Kantor Statistik Nasional Inggris melaporkan tiga perempat lelaki Inggris tewas bunuh diri kemungkinan karena masalah kesehatan mental. Hal ini menunjukkan laki-laki muda mengalami kegalauan yang lebih dalam daripada yang kita sadari.

Freddie dilanda quarter-life crisis di awal usia 20-an. Keadaan tersebut pada akhirnya memicu mental breakdown yang lebih parah. Lelaki 26 tahun ini sampai ikut terapi karena memiliki pikiran ingin bunuh diri dan mengalami psikosis (tidak bisa membedakan kenyataan dan imajinasi). “Saya membenci diri sendiri, dan terus merenungkan jati diriku sebenarnya,” tuturnya.

Iklan

Kondisi Freddie memburuk selama pandemi. Tak lama setelah Inggris menjalani lockdown jilid pertama, dia menderita serangan panik parah karena merasakan gejala Covid-19.

“Saya membayangkan kematianku, sendirian di rumah sakit tanpa keluarga. Saya bertanya-tanya apakah kesehatanku akan memburuk jika dirawat di rumah sakit yang rawan infeksi,” Freddie melanjutkan.

Psikoterapis klinis Nathaniel Oke berujar semakin banyak pemuda yang memikirkan kematian akibat Covid-19. “Statistik menunjukkan generasi muda sangat dirugikan dalam hal peluang ekonomi. Karenanya lelaki jadi lebih pesimis,” terangnya.

Seseorang yang mengalami krisis mental cenderung mempertanyakan makna dan tujuan hidup mereka. Apakah yang kita lakukan sudah tepat? Inikah jalan hidup yang ingin kita tempuh? Dalam dunia lelaki, Oke melihat pertanyaan semacam ini didasari oleh masalah utama seperti konsep maskulinitas pada masyarakat dan apa artinya menjadi laki-laki.

Nana, 37 tahun, membeberkan krisis jati diri yang menimpanya dipicu oleh rasa malu. “Saya dulu malu menjadi lelaki Muslim kulit hitam yang menyandang disabilitas di Inggris,” ujarnya. “Lelaki kulit hitam tampaknya mengalami quarter-life crisis sejak umur 24. Orang tua keturunan Afrika membandingkan anaknya dengan orang lain dalam lingkaran sosial untuk meningkatkan status mereka.”

Psikoterapis klinis Hilda Burke mencatat usia 25 telah menjadi usia penting seperti 18, 21 dan 30. Kita diharapkan telah melakukan pencapaian tertentu pada usia-usia ini.

Iklan

“Kecemasan akan muncul ketika kita merasa ‘harus’ bisa melakukan sesuatu atau mencapai tujuan tertentu pada usia tersebut,” Burke menjelaskan.

Tak sedikit lelaki muda yang merasakan dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental mereka. Sandy sering membandingkan dirinya dengan teman satu sekolahnya dulu. Postingan mereka yang luar biasa membuatnya minder. Dia merasa belum sehebat mereka.

“Saya rasa semua laki-laki berusaha menemukan jati diri kita sendiri,” kata Sandy. “Tapi saya tak yakin kita benar-benar ingin melakukannya — itu murni karena keharusan, supaya dianggap ‘sukses’ oleh teman dan keluarga.”

Dengan meningkatnya kencan online di zaman modern ini, sejumlah lelaki merasakan tekanan untuk memiliki bentuk tubuh ideal agar disukai.

“Laki-laki muda merasa harus terlihat atraktif supaya bisa mendapatkan pasangan,” keluh Freddie. “Penampilan fisik jauh lebih penting daripada sebelumnya. Jika tidak, takkan ada orang yang menyukaimu. Itu adalah ketakutan terbesar yang dirasakan banyak lelaki milenial.”

Oke menganjurkan lelaki harus berani mengakui dan membicarakan perasaan tidak cukup itu jika ingin mengenyahkannya. Menurutnya, kalian harus “menentukan apa arti maskulinitas, dan menantang seberapa realistis definisi tersebut.” 

Dia lebih lanjut menyarankan untuk mencari bantuan profesional atau dukungan dari teman-teman. Permasalahannya adalah tidak mudah mencari teman yang tidak suka menilai. Itulah mengapa Sandy dan Freddie membuat podcast yang membahas kesehatan mental laki-laki. Mereka berharap bisa membantu pendengar laki-laki untuk lebih terbuka dengan perasaannya.

Apabila tidak mampu mencari bantuan profesional, kalian bisa menonton webinar mingguan The Therapy Hour yang disiarkan pada akun Instagram Oke. Psikoterapis itu berbincang dengan berbagai psikolog dan platform kesehatan mental lainnya yang menawarkan ruang aman bagi laki-laki.

Beruntungnya bagi Nana, dia menyadari tak ada gunanya malu dengan identitas diri sejak pandemi.

“Saya sudah menemukan tujuan hidup. Saya ingin membantu laki-laki penyandang disabilitas untuk menjaga kesehatan mental mereka, terutama selama lockdown dan pembatasan Covid-19,” Nana menyimpulkan.