Kebakaran Hutan Indonesia Australia Amerika Brasil Bakal Makin Sulit Ditangani Akibat Perubahan Iklim
Asap oranye menghantui langit California ketika terjadi kebakaran hutan dahsyat di Amerika pada 21 September 2020. Foto oleh Getty / Brook Mitchell / Stringer 
Climate Uprise

Kebakaran Hutan Bakal Makin Sulit Ditangani Akibat Perubahan Iklim dan Pandemi

Baru enam bulan pulih dari bencana kebakaran hutan dahsyat, Australia sudah harus bersiap muncul potensi kepulan asap. Hutan Amerika, Brasil, hingga Indonesia berisiko bernasib serupa.
Gavin Butler
Melbourne, AU

Saatnya kita bergerak. Selama satu hari didedikasikan khusus membahas problem lingkungan di Bumi, semua situs VICE Media Group mempublikasikan seri “CLIMATE UPRISE”: berbagai cerita tentang bencana iklim dan cara mengatasinya. Klik di sini bila kalian ingin mengenal anak muda lain yang fokus melawan perubahan iklim di berbagai negara. Bersama-sama, kita bisa menghindari berakhirnya peradaban yang datang terlalu cepat.

Iklan

Setelah 268 hari terbebas dari bencana kebakaran hutan kedua terparah sepanjang sejarah modern, kota kecil Quaama di kawasan tenggara Australia masih tegang. Salah satu pimpinan regu pemadam kebakaran setempat, Graham “Spice” Spicer, masih terus mengaktifkan panggilan darurat apabila sewaktu-waktu muncul laporan api menjalar di hutan.

Tiap kali alarm masuk ke pager-nya, sekalipun ternyata cuma masalah sepele, trauma Spice kembali menghantuinya. Dia akan teringat betapa enam bulan lalu, langit berubah oranye, tumbuhan sejauh mata memandang jadi abu.

Setelah mengalami kebakaran hutan dahsyat awal tahun ini, sang pemadam di Quaama hanya bisa melatih diri untuk selalu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

“Beberapa hari lalu saya dapat laporan tanda bahaya, warga sekitar melihat ada percikan api kecil, kemungkinan dari aktivitas bakar sampah, tapi mereka takut apinya menjalar seperti akhir tahun lalu,” kata Spice pada VICE. “Warga di sini masih paranoid.”

Api yang membakar kawasan hutan Quaama, berjarak 400 kilometer dari Sydeny, bermula sejak akhir Desember 2019 dan baru bisa dipadamkan setelah 34 hari. Spice, bersama 11 petugas pemadam lain terpaksa bekerja siang malam menyemprotkan air alakadarnya ke kobaran api yang melalap hutan. Selama bencana terjadi, mereka hanya bisa tidur bergiliran tak sampai dua jam di lantai kantor pemadam.

Pada 2 Februari 2020, ketika api mulai jinak, data yang mencengangkan dari Australia tersiar. Lahan seluas 177 ribu hektare terbakar habis, sementara 400 rumah penduduk hangus. Spice turut kehilangan rumahnya selama bencana itu meluas di selatan Australia.

Iklan

Australia diyakini akan selalu terancam kebakaran hutan selama Juli hingga Maret, saat negara tersebut memasuki musim panas. Kebakaran Quaama hanya sebagian kecil dari insiden dahsyat yang menimpa berbagai wilayah konservasi hutan. Akibat kebakaran awal tahun ini, 34 orang tewas, sementara 417 lainnya meninggal lantaran penyebab tak langsung seperti asap yang memicu kesulitan bernapas.

Kini, ketika sebagian ranting hangus sisa kebakaran awal tahun belum sempat dipungut, Australia harus menghadapi potensi kebakaran hutan anyar. Adanya pandemi Covid-19, ditambah perubahan iklim yang memicu luasnya area kebakaran hutan tahun lalu, diyakini Spice akan menyulut insiden lebih besar dalam waktu dekat.

“Kami sejujurnya belum siap menghadapi bencana yang setara atau lebih besar dari awal tahun ini,” ujarnya pada VICE. “Warga Quaama sebagian masih terpaksa hidup di tenda karena rumah mereka terbakar. Sebagian baru mencoba menata hidup lagi dan pandemi membuat upaya pemulihan tak bisa berjalan maksimal.”

Dalam kasus kebakaran hebat awal 2020, perubahan iklim berperan amat besar. Data Lembaga Penelitian Bencana Alam Australia (BNHCRC) menyatakan kekeringan panjang berpengaruh terhadap luasan area hutan yang terbakar. Lahan di perbatasan negara bagian New South Wales dan Queensland bahkan sudah terbakar sejak September 2019.

Di semua lokasi yang mengalami kebakaran dahsyat, 99 persennya sempat mengalami kemarau berkepanjangan, tak mengalami hujan deras lebih dari empat bulan, dan kekurangan air bersih.

Iklan

Kondisi akhir tahun ini menurut BNHCRC mungkin bisa sedikit optimistis, tapi lantaran sebab lain. Berkat adanya prediksi badai La Niña menjelang akhir Oktober, kawasan selatan Australia mungkin bisa mengalami hujan yang menyediakan cukup air apabila sewaktu-waktu kebakaran hutan kembali muncul. Masalahnya, badan tersebut berujung bencana yang lain.

Spice, yang tahun lalu sempat mengira kebakaran hutan bisa diatasi dengan mudah, tak mau terlampau optimis. Dengan pengalaman menjadi pemadam selama 30 tahun, dia menganggap perubahan drastis bisa terjadi sewaktu-waktu bila manusia berurusan dengan alam.

“Buat tim pemadam, prinsipnya sederhana. Kami tidak mengacu pada ramalan cuaca. Jika ladang dan hutan nampak kering, itu tanda bahaya buat kami. Kalaupun sebentar lagi hujan, tapi tidak lama, maka lahan akan kering dengan cepat dan itu jauh lebih berbahaya bila ada percikan api,” tandasnya.

Persiapan menghadapi bencana kebakaran hutan yang dialami Australia sepanjang 2020, kemungkinan dialami pula oleh banyak negara lain dengan problem serupa. Covid-19 membuat pengerahan sumber daya tidak bisa dilakukan. Anggaran publik terserap ke sektor kesehatan.

Sementara mereka yang berada di garis depan belum bisa melakukan pelatihan melibatkan warga, karena ada aturan social distancing. Satu-satunya sosialisasi tanggap bencana yang bisa dilakukan adalah lewat Internet, dan itu menurut tim pemadam, belum tentu memadai. Itu belum termasuk prokotol kesehatan yang wajib diterapkan pemadam, sekalipun memperlambat pergerakan mereka bila ada panggilan darurat.

Iklan

“Kami sekarang harus memastikan di kemudi truk cuma ada dua orang, selalu menyemprot disinfektan lebih dulu, kemudian semua petugas harus pakai masker,” kata Spice. “Seperti petugas ambulans, kami yang harus bekerja di luar ruangan seperti ini juga berisiko kena Covid.”

Untuk kota kecil seperti Quaama yang cuma punya 12 petugas pemadam dengan anggaran alakadarnya, satu anggota terinfeksi virus corona di saat terjadi kebakaran sama saja memperburuk skala bencana.

Ribuan kilometer dari Quaama, api yang lain membakar California, di Amerika Serikat sejak awal September 2020. Kebakaran di pantai barat AS bahkan skalanya mendekati apa yang dialami Australia awal tahun ini. Dari penelitian pemerintah AS, pemicu kebakaran dahsyat di negara mereka sama seperti Australia. Terjadi kekeringan panjang, dan peningkatan suhu di kawasan tersebut, dipicu perubahan iklim akibat aktivitas manusia. Ancaman yang sama turut mengincar negara seperti Brasil dan Indonesia yang memiliki wilayah hutan luas.

Namun, di berbagai negara rentan itu, ada kesan para pemimpinnya menolak temuan ilmiah soal perubahan iklim. Mereka lebih menyalahkan kambing hitam lain, seperti orang tak bertanggung jawab yang membakar hutan.

Donald Trump, ditopang para pendukungnya dari perusahaan migas serta media sayap kanan, selalu menolak klaim ilmuwan mengenai perubahan iklim. Pemerintah Australia, yang juga konservatif, turut menampik keterkaitan antara menghebatnya kebakaran tahun ini dengan perubahan iklim. Brasil dan Indonesia setali tiga uang. Ada orang yang akan ditangkap karena tuduhan membakar lahan, tapi masalah yang riil, aktivitas industri yang melepas emisi karbon secara massif ke udara, tidak kunjung ditangani.

Iklan

Dalam situasi rumit macam ini, ketika pemerintah tidak serius menuntaskan akar masalah, sementara pandemi memperlambat birokrasi penangan bencana, maka warga harus punya inisiatif sendiri. Mereka harus siap sewaktu-waktu menyelamatkan diri dan keluarga ketika kebakaran hutan kembali terjadi dengan skala tak terprediksi.

Namun, bahkan untuk kota yang sudah mengalami trauma dan pelajaran pahit dari kebakaran tahun lalu, Spice kurang yakin warga siap menghadapi kobaran api besar selanjutanya. Dari pengalamannya sebagai pemadam, orang lebih sering terlambat mengambil keputusan penting ketika api mulai mendekat ke rumah dan harta benda mereka.

“Proses tanggap bencana memang persoalan sulit,” kata Spice. “Setelah bencana berlalu, orang biasanya paham pentingnya bersiap-siap dan mendukung semua rencana mitigasi. Tapi seiring berjalannya waktu, orang terlena, dan tiba-tiba api sudah menghadang di kemarau selanjutnya.”

Follow Gavin di Twitter

ClimateUprise_Button.png