Legalisasi Ganja

Terganjal UU, Mentan Batal Masukkan Ganja Jadi Tanaman Obat Binaan

BNN dan polisi memakai UU Narkotika buat “menekan” Kementerian Pertanian membatalkan langkah awal legalisasi ganja medis di Indonesia. Kebijakan progresif langka ini layu sebelum berkembang.
Mentan Syahrul Yasin Limpo Batal Masukkan Ganja Dalam Tanaman Binaan untuk Pengobatan
Kolase oleh VICE. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo [kiri] dari arsip Kementan/via Wikimedia Commons/domain publik; ilustrasi ekstrak minyak ganja untuk keperluan medis via Pixabay

Simpatisan pro-legalisasi ganja dibuat patah hati dalam sehari. Sabtu kemarin (29/8), tersiar berita bahwa Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah memutuskan ganja (Cannabis sativa) sebagai tanaman obat binaan Kementan.

Keputusan ini membuat aktivitas petani binaan Kementan berhak menanam ganja buat kepentingan farmasi, tanpa perlu takut dicokok BNN dan polisi. Tapi di hari yang sama juga Kementan tahu-tahu mengumumkan keputusan itu akan dicabut karena perlu dikaji ulang.

Iklan

Aslinya, Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementan ini sudah diteken sejak Februari 2020. Viralnya saja yang baru akhir pekan lalu. Dalam kepmentan itu, ada ratusan tanaman dan hewan yang disebut. Tapi semuanya jadi enggak penting, ketika ada satu tanaman ganja yang nyempil di daftar komoditas binaan tersebut.

Sikap plin-plan Kementan ini mencuat setelah muncul protes dari Polri dan Badan Narkotika Nasional. Mungkin tadinya kedua lembaga ini juga enggak ngeh soal kepmentan tersebut. Makanya, ketika berita legalisasi ganja obat viral, Polri dan BNN segera angkat bicara, menentang kepmentan ini pakai jurus klasik: menyalahi undang-undang.

“Belum ada ketentuan [hukum] di Indonesia yang melegalkan ganja atau tanaman ganja sebagai obat. Polri sebagai salah satu instansi penegak hukum yang diamanatkan sebagai penyidik tipidnarkotika [tindak pidana narkotika] tentunya taat kepada ketentuan tersebut. Kepmentan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika,” kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Krisno Siregar kepada Detik.

Intinya, Krisno bilang ganja cuma boleh dimanfaatkan untuk penelitian dan ilmu pengetahuan, tapi dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan. BNN juga kurang mengatakan hal yang sama dengan alasan yang sama. Hmm, meneliti untuk kepentingan pengetahuan medis berarti boleh dong harusnya?

Iklan

Namun, pernyataan BNN terhitung aneh. Maksudnya, kalau petani dengan diawasi Kementan tetap enggak boleh nanam ganja, terus peneliti beli ganja di mana dong? Dari luar negeri? Pakai ganja illegal sitaan BNN? Terus kalau habis diteliti udah diketahui manfaat kesehatannya, tetap enggak boleh dipakai biar cukup tahu aja gitu?

Pencabutan kepmentan itu disampaikan Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha lewat unggahan tertulis di situs Kementan. Ia juga menyebut, Kementan bakal mengkaji kembali isi kepmentan setelah berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, seperti BNN, Kemenkes, dan LIPI. “Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder terkait,” demikian pernyataan Tommy, dilansir Antaranews

Oh ya, dalam pembelaannya, Tommy bilang ganja sebenarnya udah digolongkan sebagai tanaman obat psikotropika sesuai Kepmentan No. 511/2006. Artinya, sejak 2006, penanaman ganja sudah bisa dilakukan untuk kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan tertentu, asal pengembangannya sesuai UU. Nah loh, pemahaman para pejabatnya sendiri aja ternyata enggak sama.

Kelompok masyarakat sipil bernama Advokasi dan Kampanye Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) menyesali sikap plin-plan pemerintah. 

“Kami berharap Kementerian Pertanian tetap pada posisi awalnya dan mempertahankan kepmentan tersebut. Kepmentan ini justru memberi kesempatan pada pemerintah untuk melakukan penelitian dan menyiapkan regulasi pasar yang tepat untuk kebijakan ganja medis Indonesia di masa depan,” kata Koordinator AKSI Yohan Misero dalam keterangan tertulis, disadur Tempo.

Iklan

Yohan menambahkan, Kementan seharusnya punya cara pandang otoritatif untuk mengatakan ganja memang punya potensi pemanfaatan medis dan berhak memperjuangkannya.

Kalau UU 35/2009 tentang Narkotika udah disebut, mau enggak mau kita harus membahasnya. Secara singkat, UU ini emang menakutkan sekali bagi siapa saja yang punya ide pemanfaatan ganja. Masih ingat anggota DPR RI yang usul ganja medis dilegalkan buat ekspor? Doi juga dibikin kicep pakai UU ini.

UU Narkotika emang ngelarang semua bagian tanaman ganja beserta segala turunannya ditanam, diperjualbelikan, apalagi dikonsumsi. Kalau orang masih susah dibilangin, UU ini punya salam cinta berupa ancaman pidana. Problematika ganja inilah jadi alasan aktivis hingga pakar hukum sudah sejak lama mendesak UU Narkotika direvisi. Alasannya macam-macam: dari hukuman yang ambigu antara pidana atau rehabilitasi, enggak bisa bedain mana pemakai mana pengedar, hingga treatment penanggulangan narkotika yang kata ahli pidana enggak update sama perkembangan ilmu pengetahuan.

Bahkan sekelas Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly aja bilang, UU ini perlu direvisi karena bikin penuh rutan dan lapas. Itulah mengapa dia bilang pada Januari kemarin, pemerintah mau ngerevisi UU tersebut untuk mengubah pendekatan hukum pada pengguna narkoba, termasuk pemakai ganja. Yang mungkin enggak terduga, BNN punya aspirasi sama: revisi UU agar pemakai cukup direhab, enggak perlu dipenjara.

Iklan

Kalau semuanya udah seiya sekata UU Narkotika perlu direvisi, apa lagi masalahnya? Apalagi sudah sering ada pengakuan tentang bisnis narkoba masih lancar aja beroperasi di penjara. Eng ing eng, ternyata sejak 2018 draf RUU revisiannya mentok di Badan Legislasi DPR RI. Nah, sudah tahu kan siapa tersangkanya sekarang.

Ngomong-ngomong, meski dibatalkan, kepmentan tadi masih perlu diapresiasi. Jika cermat mengamati daftar tanaman obat binaan, kita bisa menemukan kratom tercatat di situ. Tanaman yang masih sekeluarga dengan kopi ini sejak tahun lalu udah jadi “daftar hitam” BNN.

Jadi, tanaman kratom banyak ditanam di Kalimantan, terutama Kalbar, dan jadi salah satu komoditas ekspor. Konon kratom punya khasiat meredakan rasa sakit, menjadi penenang, dan sebagai anti-inflamasi. Nilai ekonomi kratom tak main-main: sekitar Rp300 ribu petani di Kalimantan menanamnya, dengan potensi penghasilan Rp600 ribu per hari per petani. Penghasilan sebesar itu datang dari ekspor kratom ke Amerika Serikat yang besarnya 300 ton per bulan, dengan harga US$30 tiap kilonya.

Tanpa ada angin apalagi hujan, Juli lalu BNN meminta Kemenkes memasukkan komoditas ini ke dalam narkotika golongan I dengan alasan, konsumsi kratom dalam jumlah besar punya efek opioid. Kemenkes sih sampai hari ini belum ambil sikap, tapi peneliti menegaskan bahwa sikap BNN berlebihan.

Emang berlebihan sih. Lah, belum dilarang aja, BNN udah ambil langkah mandiri dengan mengimbau petani berhenti nanam kratom “sembari nunggu penetapan regulasi kratom”.