Alasan Nike Air Max Masih Menjadi Sepatu Olahraga Ikonik Setelah 30 Tahun
Foto oleh Libby Roach.

FYI.

This story is over 5 years old.

Fashion

Alasan Nike Air Max Masih Menjadi Sepatu Olahraga Ikonik Setelah 30 Tahun

Dari segi fungsionalitasnya sebagai sepatu olahraga, rasanya tak ada produk lain yang bisa meraih status serupa sebagai produk fashion yang dianggap keren.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Puluhan orang rela antre sepanjang Spadina Avenue di Toronto, Kanada, tepat di luar sebuah pasar ikan yang sudah jarang buka. Dari penampakan orang-orang yang antre, jelas sekali mereka tak datang untuk ikut lelang ikan karena sepertinya mereka tak akan ikhlas membuat sepatu yang mereka kenakan kotor lantaran sebuah pekerjaan berat.

Yang mengantre ini adalah para sneakerhead—sebutan untuk penggila sneaker—dan mereka ingin  ikut serta dalam acara "Sneakeasy" digelar oleh Nike. Acara malam agendanya dipungkasi dengan perkenalan Nike Air Vapormax pertama kali ke publik. Ini adalah event yang diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar diundang saja. Tak aneh jika kemudian yang datang berasal dari kalangan artis, awak media, pesohor dan atlet. Namun, ada beberapa tiket—jumlahnya sudah pasti terbatas—yang dibagikan ke publik. Konon ada undangan yang sampai dijual kembali seharga $500 (setara Rp6,6 juta).

Iklan

Yang menarik, sneakerhead rela membayar $500 dan mengantre di dekat pasar ikan itu tak datang untuk jadi orang pertama yang mencicipi Nike Air Vapormax. Mereka hanya datang untuk jadi sekelompok orang pertama yang melihat penampakan sepatu terbaru Nike itu.

Dengan wolesnya, saya memberikan kesempatan untuk memelototi sepatu itu dengan cuma-cuma. Saya sebenarnya tak salah-salah amat. Penyelenggara acara mendorong para undangan untuk "memakai Air Max favorit mereka," dan karena kebetulan versi promo VaporMax masih ada di kamar depan rumah saya ketika saya siap-siap. Ya sudah, saya pakai yang itu saja.

Tiba-tiba ketika saya tengah asik bercakap-cakap, seorang sneakerhead menyadari alas kaki yang saya pakai "Woi, dia pakai Vapormax."

Beberapa orang segera mengerubuti saja dan mulai bertanya tentang sepatu yang saya pakai. Sebagai seorang pelari, tentu saja menjelaskan performa sepatu ini sebagai sebuah—tentu saja—sepatu lari.

"Terasa seperti spons saban sepatu ini menyentuh tanah. Tapi, fungsinya tak jauh beda dengan sepatu lari yang memiliki paku di bagian bawahnya. Kalau kamu sudah terbiasanya sih, sepatunya bakal okay banget untuk lari cepat."

Ternyata, tak ada yang memperhatikan penjelasan performa sepatu ini. Mereka yang mengelilingi saya bisa saja punya hobi lari—atau malah tidak—tapi yang pasti mereka datang ke sini bukan untuk mencari sepasang sepatu yang pas untuk latihan marathon 10K. Yang mereka incar adalah penampakan visual VaporMax—atau tepatnya sekeren penampakan solnya yang berisi gel transparan.

Iklan

Sepatu VaporMax terbaru. Foto oleh Nike.

Tiga puluh tahun lalu, Nike merevolusi sepatu lari dengan meluncurkan Air Max 1, yang juga kerap dikenal dengan nama Air Max 87. Walaupun teknologi Air telah diterapkan di jenis sepatu pendahulu Air Max 1, kali ini kantong udara dalam sol sepatu tak hanya diperbesar tapi juga dipamerkan dengan penggunaan sol tembus pandang. Desain Air Max 1 yang ditukangi oleh Tinker Hatfield memang mencengangkan. Hatfield membangun Air Max dan memamerkan jeroan sol sepatu itu dengan gamblang, sesuatu yang melawan arah desain sepatu saat itu.

Bagi para pelari, Air Max 1 adalah sepatu pertama yang menawarkan rasa empuk ketika berlari di atas aspal. Tatkala Air Max 1 diperkenalkan ke publik, perkembangan telah sepatu telah melampui masa waffles trainer. Saat itu, sepatu lari yang beredar telah menggunakan struktur offset heel-to-toe. Tapi tetap saja, apa yang ditawarkan Air Max 1 selangkah lebih maju.

Tentu saja, trivia macam ini tak menarik bagi penggila sneaker yang merubung saya. Mata mereka terpaku pada sepatu baru yang nempel di kaki saya. Saya beruntug terhitung bisa lari namun tak terpikir untuk mengetes VaporMax di lintasan lari. Barangkali, kalau saya nekad melakukannya, saya bakal dirampok.

***

Capaian Air Max 1 dalam hikayah panjang sneaker tak cuma dinilai dari betapa pentingnya sepatu bagi para pelari profesional meski Air Max 1 menawarkan kestabilan yang dibenci oleh Chris McDouglas. Lebih dari itu, Air Max 1 telah jadi sebuah ikon tersendiri. Sepatu keluaran tahun 1987 ini jadi jembatan penghubung antara olahraga atletik dan fashion. Sebelum Air Max 1 dipasarkan, jarang sekali sebuah merek sepatu lari dipakai sebagai item fashion. Sepatu lari—saat itu—belum mencapai maqam topi baseball dan jersey sepakbola yang dipakai orang sebagai pakaian santai. Di sisi lain, sepatu lari juga ketinggalan dari sepatu basket yang sudah lebih dulu dikenakan sebagai alas kaki sehari-hari. Namun kalau sudah ngomongin sepatu lari, rasanya tak ada sepatu lari yang dihargai sebagai sepatu gaya selain Air Max 1. Gampangnya begini deh, kalau anda ke klub malam dengan menggunakan sepatu Mizuno Waves, orang lain—entah itu kenalan, kawan atau sembarang orang—tak serta merta mengagumi sepatu yang anda kenakan dan membelikan anda minum. Kalau pun ada yang mengenali sepatu anda, maka orangnya pasti sering ikut marathon. Lain urusannya jika anda memakai Air Max 1.

Sneakeasy digelar di ruang yang berada di atas bekas pasar ikan. Ruangan itu kini secara permanen digunakan untuk penyelenggaraan acara tertentu. Layoutnya mirip sebuah galeri seni, beberapa seniman dan desair kenamaan asal Toronto diminta mengisi ruang ini dengan karya yang merepresentasikan sepatu model Air Max tertentu.

Iklan

Bryan Espiritu, pendiri perusahaan clothing ternama Legends League memilih versi origina Air Max. Espiritu lantas mendesain salah satu ruangan yang melambangkan garis paralel antara perubahan sosial dan ekonomi dan pembuatan sepatu yang dianggap avantgarde.

Foto oleh Libby Roach.

Inspirasi Espiritu juga datang dari tempat lain, salah satunya kalimat termashur "tear down this wall." kalimat ini dinukil dari pidato Ronald Reagan di Brandenburg Gate pada 12 juni 1987. Mayoritas desain yang dihasilkan Espiritu mengacu pada kalimat ini. Di ruangan yang didesainnya, ada sebuah bola perusak tembus padang dengan Air Max 1 di dalamnya. Bola perusak ini seperti baru saja menghancurkan tembok di belakangnya yang penuh dengan pesan-pesan politis.

Ada juga sebuah poster iklan yang tak tahu malu "One 87. Ny Any Means." poster macam ini jelas adalah sebuah pesanan sponsor.

"Kalau kita ngomongin pakaian olahraga yang bisa dipakai dalam kehidupan sehari-hari oleh semua orang, sekarang ini kita bisa lihat orang-orang yang memakai sepatu lari atau sepatu olahraga yang dipakai bukan untuk lari atau olah raga. Coba deh bandingkan Air Max 1 dan Air Force 1, yang pertama jelas lebih terlihat seperti sepatu yang dipakai semua orang hampir tiap hari," ujar Espiritu. "Aku sering lihat anak muda wara-wiri menggunakan Air Max 1, aku juga pernah melihat orang fashion pakai Air Max 1. Bahkan aku juga pernah liat profesional muda yang tak tahu apa-apa tentang olaharga memakai Air Max 1. Sepertinya memang sepatu ini cocok buat semua orang. Jadi, kalau saya menilai Air Max 1 dari sisi desainnya, Air Max 1 memang sepatu yang serba guna."

Iklan

Foto oleh Libby Roach.

Mungkin karena saking serba gunanya, Air Max 1 menjadi jembatan yang digunakan oleh para atlit untuk mencapai ketenaran di ranah publik. Misalnya, Bo Jackson dan Ken Griffey Jr pernah diendorse untuk menggunakan sepatu turunan Air Max 1. Meski sepatu-sepatu itu dirancang untuk berlari kencang di lapangan baseball, keduanya jadi incaran kolektor yang barangkali bahkan tak tahu apa itu Oakland Riders dan Seattle Mariners.

"Saya dulu punya seorang paman yang masih muda usianya. Ini bukan tipe paman muda yang doyan obat-obatan. Paman yang cool lah. Saya sering ngasih kode agar dia mau memberikan sepatu-sepatu itu pada saya, padahal umur saya baru sepuluh tahun waktu itu. Itu sepatu ukuran orang dewasa, pasti kebesaran buat saya." kenang Espiritu.

Pendekatan digunakan Espiritu dalam mengoleksi sepatu tak jauh berbeda dari falsafah para pemburu sneaker: ukuran tak penting yang penting punya dulu—jadi kalaupun sepatunya longgar, itu bukan masalah bagi Espiritu. Bahkan, ia tak peduli jika sepatunya masih bisa dipakai atau tidak.

Ada pula suatu masa ketika Air Max dipasarkan langsung pada para Sprinter. Quincy Watts yang tampil brilian di Olimpiade Barcelona jadi fokus promosi Air Max 93. Dia tampil dalam sebuah iklan—yang sepertinya bakal banyak dikecam jika beredar saat ini. Watts digambarkan berlari melewati pasukan viking yang tengah bernyanyi opera sampai dia bertemu dengan raja para Viking. Sang Raja kemudian membuat penawaran aneh untuk mendapatkan sneaker yang dipakai Watts— "tukar sepatu Air Maxmu yang super empuk dengan seorang istri yang super empuk juga."

Iklan

"Aku bisa bilang tak ada satu pun pelari profesional yang menggunakan sepatu itu saat latihan," ujar Perdita Felicien, seorang pelari juara dunia halang rintang yang juga mengoleksi sneaker Nike.

Mengenakan Air Max dalam sebuah ajang lari mungkin sama seperti Nick Young yang memakai Yeezy di salah pertandingan NBA tahun lalu. Tak ada yang akan melarang kalian untuk melakukan hal itu karena toh Air Max dirancang untuk lari. Tapi, orang bakal bertanya-tanya "orang ini gila apa, sepatu keren kayak gitu kok mau dipakai lari?"

"Saat saya masih belia, Air Max punya status tersendiri. Saya suka bermain basket dan senang lari. Tapi, tak membeli Air Max karena suka keduanya. Sepatu itu cuma berfungsi sebagai emblem saja. Lebih menyerupai sebuah tropi. Saya bisa saja kalah tiap kali main basket atau lari. Tapi itu tidak penting, yang penting saya punya Air Max," tegas Espiritu.

"Nah, ketika saya benar-benar mulai menambah koleksiku, baru aku mikir 'sebentar deh inikan sepatu untuk olahraga'. Lagian, Tinker Hatfield sudah berbusa-busa ngomongin [Air] Jordan sebagai sepatu basket paling keren yang dipakai di lapangan basket. Jadi, setelah beberapa tahun berlalu, akhirnya saya bilang 'Ah bodo amat, gue bakal pakai sepatu ini buat lari.' dan saya memang lari menggunakan sepatu-sepatu ini, meskipun beberapa di antaranya adalah sepatu yang paling dicari. Yang perlu diingat adalah performance sneaker tak didesain sebagai barang fashion belaka. Desainernya memang pengen sepatunya terlihat keren tapi sepatu-sepatu itu dirancang agar bisa dipakai betulan oleh para atlet."

Versi orisinal Nike Air Max. Foto oleh Libby Roach.

Turunan termutakhir Air Max, VaporMax, lebih dipasarkan sebagai sepatu lari. Ada penekanan yang lebih kuat untuk memasarkannya demikian dibanding pendahulunya. Di Toronto sendiri, Melisa Bishop, pelari olimpiade nomor 800m membantu peluncuran sepatu itu dengan menggunakannya dalam trial lari 5K di kota itu.

Jadi, kalau sepatu itu cukup memadai bagi seorang pelari Olimpiade, sepatu-sepatu itu pasti enak dipakai oleh mereka rajin lari minimal seminggu sekali.

Tapi, jika melihat respon yang saya jumpai d Sneakeasy, pemakai VaporMax bakal menghadapi pertanyaan klasik: kalau VaporMax mereka sudah kadung kotor dipakai lari, mereka bakal pakai sepatu mana buat pergi ke klub?