FYI.

This story is over 5 years old.

Fashion

Penyebab Desain T-Shirt Zaman Sekarang Rame Banget

Tren gaya maksimalis dari streetwear anak muda kayaknya bakal meledak banget sampai waktu agak lama.
John Mayer in an Online Ceramics hoodie, which we know is not technically a t-shirt, but life is not perfect, OK? Photo by Steve Jennings/Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di GARAGE.

Streetwear memang selalu gamblang. Dan di 2017, kegamblangan ini terus bertambah. Brand Some Ware, yang sering dikunjungi oleh kolaborator Kanye West, Cali Thornhill Dewitt dan seniman multi-disipliner Brendan Frowler, memproduksi kaos lengan panjang penuh dengan cetakan logo dan grafis. Sebuah T-shirt yang baru saja rilis oleh No Vavancy Inn, menampilkan cetakan saling bertabrakan besar dan langsung terjual ludes, dan langsung muncul di berbagai situs resale. Online Ceramics, sebuah label yang dimulai oleh dua anak jurusan seni Deadhead, membuat kaos tie-dye dengan grafik yang besar, rumit, dan tidak beraturan. Bahkan rapper terkenal Kendrick Lamar juga mulai mengadopsi gaya yang sama di merch tur-nya yang terakhir. Gelombang t-shirt berdesain gak karuan ini tentunya bukan kebetulan, jadi gimana ceritanya tren desain maksimalis ini dimulai?

Iklan

Setelah letupan kecil menampilkan kaos-kaos penuh logo di 2010, dipimpin oleh Hood By Air dan Been Trill, produk casual wear lelaki kembali masuk ke ranah minimalisme dan produk tanpa merk. Brand lama seperti A.P.C dan Acne Studios, bersama pendatang baru macam Everlane dan Aime Leon Dore menemukan pasar baru ketika mantan anak-anak hypebeast melepas koleksi t-shirt print mereka untuk tampilan yang lebih dewasa. Namun nampaknya pada 2017, era visual minimalis sudah berakhir, dan desain maksimalis sudah merembet hingga ke ranah high fashion: mulai dari sneaker Gucci hingga syal Balenciaga dan t-shirt Raf Simon. Tampilan yang serba berlebihan dan logo yang maksimal telah diadopsi oleh desainer kelas atas masa kini, dan kini dikaitkan dengan selera mahal.

T-shirt Raf Simons.

Menggunakan visual ala-ala anak kampus yang rusuh dalam desain grafis dan seni bukanlah hal baru, biarpun memang baru kali ini mereka mendapatkan visibilitas via grafik t-shirt modern. Gaya ini selalu menjadi bagian dari dunia underground dan avant-garde, entah itu pamflet punk karya Raymond Pettibon di 1980an, atau gerakan seni Dada di awal abad ini. Seniman Dadais menggunakan imej dan teks absurd sebagai perlawanan terhadap estetikaisme dan kultur borjuis di saat itu. Baik gerakan punk dan Dada menantang dan menolak definisi seni dan musik rock mainstream yang mereka pandang sebagai berlebihan dengan pesan anti-kemapanan dan etika DIY. Sifat pemberontakan ini terus berlanjut lewat punk rock 80an, grunge 90an—coba aja liat merch Nirvana di puncak ketenaran MTV—dan masih bisa ditemukan dalam karya seniman abad 21 yang menyukai rasa dan penampilan yang lebih awut-awutan.

Iklan

Gaya grafis trippy dan aneh telah memasuki dunia streetwear dan merchandise kontemporer gara-gara desainer macam Jeremy Dean dan brand seperti Brain Dead dan Online Ceramics. Dean, yang sudah merilis kaos bootleg macam ini semenjak 2012, berhasil menemukan audiens yang lebih besar dengan pelanggan macam John Mayer dan majalah graffiti 12ozProphet. Akibatnya, dia diulas oleh majalah GQ Style dan banyak blog streetwear lainnya. “Saya sangat dipengaruhi oleh desain-desain yang membuat saya berpikir dan rusuh,” jelas Dean, yang menyebut karya Jeff Nelson (salah satu pendiri label punk Washington D.C, Dischord Records) dan seniman Inggris, Jamie Reid (arsitek di belakang identitas grafis Sex Pistols) sebagai pengaruh awal.

Online Ceramics juga semakin tenar namanya tahun ini semenjak brand ini menjadi pilihan utama bagi mereka yang berjiwa bebas dan banyak editor fashion. “Kami tidak memiliki hubungan apa-apa dengan streetwear dan fashion. Mereka yang memilih kami,” jelas Alix Ross, salah satu pendiri label tersebut. Ross dan partnernya Elijah Funk bertemu di jurusan seni kampus, jauh dari dunia jalanan. Duo ini menggemari seni yang gaduh dan pengaruh ini jelas terlihat di desain mereka: “Sebuah cetakan tunggal yang kecil tidak akan menarik perhatian,” jelas Funk. “Kami suka cetakan yang besar dan gila.”

Di sisi lain, Brain Dead memang dari awal sudah menjadi brand streetwear. Mereka langsung diterima oleh secara antusias oleh nama besar di industri seperti Dover Street Market dan Hypebeast. Desainer Kyle Ng dan Ed Davis pernah berbicara tentang kedekatan mereka dengan seni rupa dan punk rock, dan mereka juga pernah merilis sebuah zine penuh dengan grafik lo-fi yang mengingatkan kita akan masa-masa analog. Semua desainer dan brand ini menciptakan sesuatu yang menginspirasi para influencer.

Iklan

Di level yang lebih besar, mulai dari koleksi terbaru Comme des Garcons dan Walter Van Beirendonck hingga merch desain Virgil Abloh untuk rapper Kid Cudi, semuanya terlihat memiliki semangat Dadaist-punk yang kuat. Semakin banyak brand streetwear massal seperti Undercover, Enfants Riches Deprimes, dan Perks And Mini juga menyediakan pendekatan yang segar terhadap gaya ini. Bulan ini di Art basel Miami, veteran industri dan mantan direktur kreatif Supreme, Angelo Baque membuka toko pop-up yang menyajikan semua nama besar dalam dunia t-shirt penuh grafis, dan bahkan memasukkan “collage design class” dipimpin oleh Heron Preson. T-shirt resmi acara ini, menampilkan campur aduk berbagai logo, mungkin adalah contoh terbaik dari tren ini.

Mencari tagar #streetwear juga akan menghasilkan puluhan brand yang menyalurkan gaya grafik maksimalis ini, jelas berpengaruh terhadap panggung utama kancah streetwear. Kalau Kanye West dan Demna Gvasalia menyuntikkan imaji heavy metal ke dalam dunia fashion yang lebih besar tahun lalu, gelombang baru desainer ini memilih gaya new wave yang lebih tidak teratur. Gaya ini telah menyebar luas di dunia fashion dan streetwear, bedanya sekarang huruf-huruf menakutkan dan imaji gothic telah digantikan oleh visual psikedelik dan cetakan grafis yang lebay.

Perlu diingat bahwa logo berlebihan dan grafik gila tidak terbatas hanya dalam dunia streetwear dan fashion, namun sulit untuk menampik bahwa saat ini desain berlebihan macam ini sedang merajai pasar. “Logo sebagai pernyataan grafik telah berpindah-pindah dari dada, ke punggung, hingga ke lengan. Setiap inci kini ditutupi dengan pesan dan lambang tidak karuan,” jelas Richard Turley, seorang direktur kreatif yang dikenal bertanggung jawab atas karyanya yang menarik perhatian di majalah dan agensi iklan. T-shirt penuh grafik kontemporer telah menjadi jalur cepat untuk menaruh dirimu di dalam demografik sesuai pilihan. Ini tidak lagi menjadi semacam ketukan terhadap subkultur, tapi deklarasi yang berani dan gamblang. Anehnya, ini terasa agak berbau Trump; desain yang terartikulasi dan dipikirkan dengan baik malah kalah dengan t-shirt yang paling berani dan nyolot. “Kita tinggal di sebuah era di mana pembajak memiliki lebih banyak kapital kultural dibanding brand dan perusahaan yang mereka bajak,” kata Turley.

Kolaborasi t-shirt Walter Van Beirendonck bersama Comme des Garçons.

Seiring kita memasuki 2018, rasanya tidak ada lagi yang benar-benar memiliki sesuatu. Streetwear memang selalu memainkan definisi “inspirasi” yang longgar. Tren dalam seni rupa, desain grafis, musik dan kultur pop diedit dalam Photoshop dan dicetak dalam kaos Gildan. Apabila fashion desainer adalah refleksi tentang apa yang terjadi dalam budaya, maka kaos bergrafik adalah medium untuk subkultur. Seiring status T-shirt meningkat dalam dunia fashion, semua orang bertanya-tanya kapan dominasinya akan berakhir. Gelombang desain maksimal ini telah menunjukkan kita bahwa desainer dan brand masih belum kehabisan ide. Kegilaan hedonistik akan logo dan cetakan ini jauh lebih menarik dibanding tren grafis streetwear di masa lalu, jadi selama visi maksimalis streetwear masih kelihatan keren, lanjut-lanjut aja.