FYI.

This story is over 5 years old.

Sahabat Bagai Kepompong

Penelitian Membuktikan Pola Pikir Sahabatmu Sama Persis Kayak Kamu

Pernah bertanya-tanya, "kok aku cocok banget temenan sama si anu?" Nih, sains memberi jawabannya—termasuk dari aspek tinjauan kerja otak dan genetika.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Kamu pasti pernah saling berpandangan dengan sahabat dan langsung tertawa, entah apa alasannya. Kamu dan sahabatmu juga pasti pernah mengatakan sesuatu secara bersamaan. Kira-kira apa ya yang menyebabkan itu? Kebetulan saja, kah?

Tidak jarang kita merasa kalau sahabat bisa membaca pikiran kita, atau melakukan dan memikirkan hal sama persis kayak yang ada di pikiran kita. Hasil penelitian yang diterbitkan minggu lalu di Jurnal Nature Communications mengonfirmasi dugaan kita sejak lama. Sekelompok pakar syaraf sosial dan kognitif menemukan bukti bila sepasang sahabat akan memiliki respons yang sama saat menonton serangkaian video yang ditunjukkan di laboratorium. Para peneliti bahkan mampu memprediksi responden mana yang aslinya saling berteman, hanya berdasarkan respons otak mereka.

Iklan

Temuan mereka sesuai dengan konsep psikologi klasik disebut homiphily, yang menyimpulkan dua orang yang memiliki kemiripan akan lebih mudah terhubung satu sama lain. Hal ini berlaku di hampir seluruh hubungan yang kita miliki: pernikahan, pertemanan, relasi kerja, dukungan, dsb. Dalam hubungan percintaan, penelitian menunjukkan bahwa seseorang akan memilih pasangan yang mirip dengan saudaranya atau memiliki minat yang sama.

Prinsip yang sama ternyata berlaku untuk hubungan pertemanan. “Kita memiliki sifat yang sama dengan sahabat terdekat. Baik itu mencakup tinggi badan, atletis, agama, pandangan politik, latar belakang etnis, pendidikan, dan lainnya,” ujar Nicholas Christakis, seorang sosiolog dan dokter di Universitas Yale, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

“Apakah cara kita memandang dan merespons dunia mirip dengan sahabat?” tanya Carolyn Parkinson.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Parkinson dan tim penelitinya mengamati hubungan sosial 279 mahasiswa pascasarjana yang berkuliah di Dartmouth University. Responden ditanya siapa temannya dan peneliti kemudian memperkirakan kedekatan mereka.

Respons saraf dari 42 siswa diamati menggunakan fMRI saat sedang menonton serangkaian video dengan topik yang beragam, mulai dari politik sampai komedi. Respons setiap orang bervariasi, tergantung seberapa paham mereka dengan topik tersebut.

Parkinson dan timnya menemukan bahwa respons saraf sepasang sahabat lebih mirip daripada yang tidak saling berteman. “Mereka yang bersahabat cenderung memiliki respons serupa daripada yang hanya kenalan biasa,” ujar seorang penulis senior bernama Thalia Wheatley. Hasilnya berlaku sama bahkan saat mereka melakukan eksperimen yang dikendalikan oleh faktor-faktor demografis, seperti umur, jenis kelamin, kewarganegaraan dan latar belakang etnis.

Iklan

Parkinson mengatakan bahwa mereka tidak ingin membuat banyak kesimpulan mengenai bagian otak mana yang paling terlibat dalam hubungan sosial, karena otak memiliki banyak fungsi. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa mereka bisa saja saling terhubung karena adanya kemiripan dalam merespons, memandang dan bertindak akan sesuatu yang ada di sekitar mereka.

Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah kemiripan respons saraf tersebut terjadi karena sepasang sahabat sering menghabiskan waktu bersama, atau apakah kita cenderung mencari orang yang memiliki kesamaan dengan kita? Parkinson belum memiliki jawaban yang pasti, tetapi dia mengatakan bahwa ia dan timnya berencana mengembangkan penelitiannya untuk mengetahui seberapa mirip respons saraf dua individu sebelum mereka bertemu dan menjalin hubungan pertemanan.

Hal ini membuat kita bertanya-tanya, “Kenapa kita selalu berteman dengan orang yang sepikiran dan sehati?”

Studi terbaru Parkinson menunjukkan bahwa itu bisa saja terjadi akibat campuran pengaruh sosial dan biologis: Kita cenderung berteman dengan orang yang sepikiran, dan kemiripan kita semakin kuat karena sering menghabiskan waktu bersama. Sedangkan studi Nicholas Christakis sebelumnya menunjukkan bahwa sepasang sahabat memang memiliki kemiripan secara genetis.

Temuan ini memunculkan pertimbangan yang lebih abstrak: Kalau begitu, kenapa kita berteman? Apakah ada semacam kekuatan yang membuat kita selalu mencari teman yang mirip dengan kita?

Iklan

“Berbeda dari hewan, manusia membutuhkan hubungan non-reproduksi untuk bertahan hidup, yaitu dengan berteman,” ujar Christakis.

Merujuk penelitian lain yang terbit pada 2014, ia menemukan kesimpulan bila sepasang sahabat memiliki kemiripan secara genetis, walaupun mereka tidak memiliki hubungan darah. “Ini berarti seleksi alam berperan penting dalam proses mencari teman,” ujarnya menjelaskan. Temuan baru mengenai respons syaraf menambahkan kemiripan lainnya.

Christakis menyatakan bahwa berteman dengan seseorang yang mirip secara genetis membuat kita merasa tertantang untuk melakukan hal lainnya bersama. Selain itu, Parkinson berujar bahwa hidup terasa jauh lebih menyenangkan jika memiliki teman yang sepikiran dan sehati dengan kita. “Berteman dengan seseorang yang memiliki pemikiran serupa dapat meningkatkan minat dan pandangan kita akan sesuatu,” ujarnya.

Dan Belsky, asisten dosen bidang ilmu kesehatan masyarakat di Duke University, turut menulis karya ilmiah yang terbit awal bulan ini. Penelitiannya menemukan indikasi bila anak remaja memiliki kemiripan secara genetis dengan sahabatnya. Meneliti homiphily di hubungan pertemanan sangat penting karena bisa menunjukkan efek DNA seseorang terhadap temannya. Penelitian Belsky menunjukkan betapa genetika sahabatmu dapat memengaruhi hasil belajar ataupun prestasi seseorang.

“Apakah ini berarti kita sebenarnya tanpa sadar memilih teman karena pengaruh genetis?” Christakis bertanya retoris. “Jawabannya bisa iya, bisa tidak.”

“Meskipun sepasang sahabat bisa saja memiliki banyak kemiripan, bukan berarti semua yang mereka lakukan dan pikirkan selalu sama. Kami memang menemukan bahwa seseorang memiliki kemiripan secara genetis dengan temannya, tetapi bukan berarti dua orang yang sangat berbeda tidak bisa menjalin persahabatan,” ujar Belsky.