Melawan Neoliberalisme

Pemicu Demo Besar Chile: Akibat Ongkos Naik, termasuk Biaya Layanan Kesehatan

Ini salah satu unjuk rasa terbesar sepanjang sejarah Chile, melibatkan ratusan ribu orang. Jokowi sampai minta menteri serius jelaskan alasan kenaikan iuran BPJS pakai contoh Chile.

Sebagian dari pembaca mungkin hidup tanpa penasaran sama apa yang terjadi di belahan dunia lain. Alhasil, mungkin ada yang belum tahu bila dua pekan terakhir demonstrasi besar-besaran terjadi di jalanan kota-kota besar Chile—salah satu negara terbesar di kawasan Amerika Latin.

Semua bermula pada 6 Oktober 2019. Sekelompok remaja badung tidak mau membayar tiket MRT di Ibu Kota Santiago yang harganya baru saja diumumkan naik empat persen jadi 830 Peso, setara Rp16 ribu sekali jalan. Gerombolan remaja itu ditangkap. Tapi insiden tersebut memicu efek berantai. Bukan cuma pelajar yang keberatan melihat harga transportasi umum naik. Jutaan orang berpikiran yang sama.

Iklan

Mereka muak diminta pemerintah menerima harga-harga naik, padahal gaji stagnan. Mulai 18 Oktober sampai artikel ini dilansir, Chile terbakar api kemarahan rakyatnya sendiri. Hasilnya, lebih dari 800 ribu orang terlibat unjuk rasa, sebagian kecil massa menghancurkan layanan publik lantas menjarah serta merusak toko-toko di berbagai kota besar, termasuk Ibu Kota Santiago. Belasan bank dibakar. Polisi merespons balik dengan bahasa yang mereka kuasai: represi, jam malam, dan kekerasan brutal. Hasilnya 20 orang dilaporkan tewas sejauh ini. Ribuan demonstran ditangkap tanpa peradilan memadai.

Di bawah kepemimpinan Presiden Sebastian Piñera, Chile menerapkan sistem perekonomian yang setia pada kredo pasar bebas: harga semua jenis layanan—termasuk transportasi, pendidikan, hingga kesehatan masyarakat—harus diatur sesuai mekanisme kapitalistik. Subsidi dipangkas gila-gilaan. Anggaran untuk kesejahteraan sosial dianggap pemborosan, termasuk skema asuransi kesehatan nasional (mirip BPJS di Indonesia) yang sistemnya dinilai bobrok karena lebih menguntungkan pihak swasta pemain RS hingga penyedia produk farmasi. Dana pensiun dikurangi, pengelolaannya diserahkan pada swasta. Neoliberalisme dalam wujudnya yang paling prima.

Seperti pemerintah panik di manapun, Piñera membatalkan kenaikan tarif MRT. Awal pekan ini, sang presiden yang melakoni periode kedua masa jabatannya me-reshuffle sepertiga anggota kabinetnya. Mayoritas yang diganti adalah menteri bidang perekonomian. Tapi rakyat tetap tak puas. Ini bukan sekadar perkara ongkos naik kereta bawah tanah. Masyarakat merasa sudah muak hidup dalam cengkeraman rezim kapitalistik yang mengabaikan harga diri mereka atas nama "penghematan" anggaran. Lantaran desakan reformasi terus menguat, Piñera menetapkan adanya jam malam di enam kota paling besar Chile. Kebijakan keras ini untuk pertama kali diambil pemerintah setempat, setelah terakhir kali berlaku saat era Diktator Pinochet bersama junta militer menguasai Chile.

Iklan

"Demonstrasi besar ini dikawal dan didorong oleh anak-anak muda. Mereka sadar kalau aksi massa bisa menghasilkan perubahan," kata Mauricio Díaz, pengamat politik yang mendokumentasikan gerakan sosial di negara-negara Amerika Latin. "Sayangnya, di saat gairah politik itu meluap-luap, rezim yang berkuasa berusaha membungkam mereka melalui kekuatan militer."

Total, militer dan polisi mengaku sudah menahan 2.400 orang sejak gelombang unjuk rasa dimulai dua pekan lalu. Sebanyak 200 di antaranya masih di bawah umur. Komnas HAM Chile (INDH) menyatakan 535 warga sipil cedera akibat kekerasan aparat. PBB akan menurunkan tim independen memeriksa dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah Chile selama menganani demonstrasi.

"Angka korban tewas saat ini terlalu sedikit. Banyak orang meyakini jumlah sebenarnya jauh lebih banyak lagi," kata Paz López, guru besar ilmu politik di Universidad Diego Portales. "Banyak aktivis menemukan bukti aparat menyiksa para tahanan. Masih ada orang yang hilang setelah ditahan."

Insiden di Chile yang dipengaruhi kenaikan harga layanan sosial ternyata dipantau pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo, akhir pekan lalu, secara spesifik meminta jajaran menterinya menghindari gagalnya komunikasi kebijakan pemerintah. Jokowi baru saja menyetujui keputusan yang tidak populis, yakni menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen untuk semua kelas layanan, berlaku efektif 1 Januari 2020. Keputusan itu menuai kecaman dari dokter, pasien, serikat buruh, hingga politikus. Tapi presiden memutuskan jalan terus, dengan alasan demi mengurangi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp32 triliun.

Iklan

"[Kejadian di Chile] ini harus kita baca dan jadikan pengalaman, kita harus waspada sejak awal," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Kantor Presiden, pada 31 Oktober lalu. "Kalau cara kita menerangkan [naiknya iuran BPJS] tidak hati-hati, dipikir kita ini memberikan beban yang berat kepada masyarakat miskin. Padahal sekali lagi yang digratiskan [dari biaya berobat] sudah 96 juta jiwa."

Ketidakmampuan memberi justifikasi penghematan anggaran berlebihan, seperti dilakukan Chile, terbukti memicu kemarahan rakyat. Apalagi ketika warga melihat kenaikan harga membebani masyarakat dari perekonomian lemah dan kelas menengah. Kaum burjuis dan pengusaha justru dapat pengurangan pajak yang royal dan berbagai keringanan lain.

Ketika persepsi macam itu terlanjur meluas, semua upaya menarik simpati orang miskin jelas terlambat. Piñera sudah mengumumkan rencana menaikkan pajak buat orang kaya, kembali mengalokasikan dana besar untuk pensiunan, serta menjanjikan upah minimum skala nasional mencapai 350 ribu Peso (setara Rp6,7 juta).

Di mata pengunjuk rasa, itu semua tak cukup. Mereka kini hanya punya satu tuntutan: Piñera harus mundur, demi mengakhiri rezim neoliberal yang mengangkangi harga diri rakyat.


Tonton video dokumenter VICE mengenai kronologi, serta perkembangan terbaru demonstrasi besar-besaran di Chile, lewat tautan di awal artikel ini.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News