Trauma, Kematian, dan Kehilangan Sang Masinis Kereta
Ilustrasi kecelakaan kereta oleh Ilham Kurniawan.

FYI.

This story is over 5 years old.

trauma

Trauma, Kematian, dan Kehilangan Sang Masinis Kereta

Menabrak manusia sampai kehilangan bola mata adalah sebagian risiko masinis di Indonesia. Berikut kesaksian pria yang selamat dari lingkungan kerja mengundang stres itu, namun terus menjaga cinta pada dunia perkeretaapian.

Dua tahun lalu Danang Romadhoni menjalankan tugas harian yang dia emban penuh kebanggaan, sebagai asisten masinis kereta api Progo bernomor 185 jurusan Yogyakarta-Jakarta. Kereta berangkat pukul setengah tiga sore dari Stasiun Lempuyangan. Sekira 14 menit berjalan dengan kecepatan 86 kilometer/jam, kereta sampai di Rewulu, Sedayu, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiba-tiba, "Dar!" kaca lokomotif pecah terkena lemparan batu. Pecahan kaca mengenai mata, telinga, dan kepala sebelah kanan Danang. Peristiwa ini memupuskan cita-cita Danang menjadi masinis karena mata kanannya tidak bisa melihat lagi. Sejak kecil, hanya satu cita-citanya: menjadi masinis. Danang jatuh cinta pada kereta, pada mesinnya, relnya, bentuk lokomotifnya. Cinta itu kandas di hari batu tersebut terlempar ke ruang kemudi. Peristiwa pelemparan batu ke arah kereta yang melintas sangat sering terjadi. Seringkali pelakunya suporter sepakbola. Kadang motif mereka melempar batu lantaran kereta mengangkut suporter tim lawan. Melempar batu kecil sekalipun dapat berakibat fatal lantaran kereta melaju dalam kecepatan tinggi.

Iklan

Danang termasuk yang mengalami nasib buruk karena perbuatan iseng sang pelempar batu. Ceritanya, dia tuturkan dengan nada tenang dan santai saat saya temui di kawasan Kotabaru, Yogyakarta, menguak sisi kelam dan risiko pekerjaan masinis yang dapat memicu depresi. Kereta sekilas terkesan berpeluang lebih sedikit mengalami insiden. Bahkan ada pemeo di Indonesia, jika transportasi kereta lebih aman daripada bus, kapal, apalagi pesawat. Sebetulnya angka insiden kereta, misalnya anjlok dari rel, masih terjadi walaupun trennya cenderung turun tujuh tahun terakhir. Selain itu, data kecelakaan di perlintasan angkanya sempat meningkat. Menyaksikan kematian, karenanya, adalah hal yang wajar bagi seorang pengemudi kereta. Sepanjang karirnya yang singkat sebagai pengemudi lokomotif, Danang mengaku beberapa kali menabrak manusia. "Di kalangan masinis, saking seringnya kasus menabrak orang ada ucapan, "masinis kalau belum menabrak belum dikatakan masinis'."

Setidaknya, sejak memulai karir sebagai asisten masinis pada 2012, Danang tiga kali menabrak orang. "Pertama di Klaten, Madiun, lalu Cirebon," ujarnya. Ada senior Danang yang bahkan telah menabrak 30 orang sepanjang bertugas. Hampir pasti, jika bukan karena niat bunuh diri, korban tewas tertabrak kereta akibat menyeberang atau berjalan di rel tanpa kehati-hatian.

Saat pertama kali menabrak orang sampai tewas, Danang tak bisa tidur. Kejadiannya di Ceper, Klaten. Saat itu tahun keduanya bertugas mengemudikan kereta. Lokomotif berjalan dalam kecepatan rendah 45 kilometer/jam. Saat itu Danang membawa lokomatif baru dari bengkel di Yogyakarta untuk percobaan ke arah Solo. Saat kereta berangkat, dia sudah melihat pria berusia 20-an itu di duduk samping rel. Ketika lokomotif kembali ke Yogya, lelaki yang sama mendadak sengaja berdiri di tengah lintasan kereta. "Saya kira mau menyeberang. Dia melihat ke arah saya terus-menerus, tapi sambil jalan mengikuti kereta. Dalam hati saya, "Ini apaan sih, mau menyebrang atau gimana?" Dia berdiri di tengah rel. Saya klakson dan manggil, "Pak! Pak!" Dia malah tengkurap."

Iklan

Insiden perdananya terjadi siang hari. Detail-detailnya traumatik buat Danang. "Saya ingat baju dan celananya yang warna coklat juga wajahnya. Dia masih muda," kata Danang.

"Saya masih 21 tahun. Malamnya saya panas dingin ingat orang yang saya tabrak, wajahnya keingat-ingat terus, tidur sampai ditemani bapak saya tetap saja kebawa," ungkapnya. "Apa ini dosa?"

Insiden tabrakan kedua terjadi di kawasan timur Madiun, Danang menduga korbannya pemulung karena dia membawa karung di punggung. Korban terlempar akibat berdiri terlalu dekat di rel. Namun, menurut pengakuannya, tim masinis dan awak kereta tak menemukan jasad di sekitar rel. Upaya tim PT Kereta Api Indonesia (KAI) keesokan harinya tetap tak membuahkan hasil.

"Rasanya kalau masih hidup kok ya mustahil. Kejadian seperti ini agak banyak. Menabrak lalu dicari tidak ketemu, agak mistis," ujarnya.

Pengalaman semacam ini selalu traumatik, bahkan untuk kali ketiga. Danang membawa kereta melewati pedalaman Cirebon, yang kemudian menghantam manula yang tak mendengar klakson kereta saat berjalan di pinggir rel. Sepertinya mendiang sudah terlalu sepuh. "Mungkin dia habis membeli beras karena di lokasi berasnya berhamburan, sandalnya juga," kata Danang. Awalnya, dia sempat tak merasa tergoncang. Tabrakan ini bukan kejadian pertama. "Sampai di Cileduk, saya cek lokomotif karena lampunya rusak, tapi saya malah muntah."

Tabrakan melibatkan kereta masih sering terjadi. PT KAI sudah berusaha mengurangi angka kematian sia-sia di rel ataupun palang perlintasan. Persoalannya, dari nyaris 1.000 perlintasan di seluruh rute, penjaga yang tersedia hanya 400-an. Di Daerah Operasional (DAOP) VI saja, wilayah kerja Danang mencakup DIY-Jateng, ada empat insiden tabrakan kereta di perlintasan sepanjang Mei 2017.

Iklan

Soal ungkapan masinis harus pernah mengalami menabrak orang saat bertugas, Danang mengatakan hal itu bukan kebanggaan. Sebaliknya, respons masinis yang baru saja celaka atas pemeo tadi menjadi penanda bagi manajemen apakah dari sisi kesehatan mental dia masih sanggup menjalankan tugas mengendalikan kemudi. "Apakah dia mau lanjut jalan atau minta pindah ke divisi lain," ungkapnya. "Yang akhirnya minta pindah ke divisi lain juga banyak. Kalau habis nabrak itu dia engga mau jalan lagi biasanya minta pindah, di bengkel atau di tempat lain."

Namun yang tak pernah Danang sangka akan mengubah hidupnya adalah aksi pelemparan batu. Di awal karirnya dia pernah mengalami hujan lemparan batu akibat ulah suporter sepakbola, saat kereta yang dia bawa melintasi Kota Surakarta. Saat itu Danang selamat. "Di dalam kereta ada Bonek, suporter Surabaya, lalu di luar Pasopati [pendukung Solo FC]. Hujan batu." Untuk mengurangi kasus pelemparan PT KAI, sebagai satu-satunya BUMN pengelola perekeretapian di Tanah Air, melakukan sosialisasi kepada anak muda di berbagai sekolah. Tapi kebijakan ini tak efektif. Nyaris setiap hari pasti ada kasus-kasus pelemparan kereta. Sebagai gambaran, sepanjang tahun ini saja sudah tercatat 43 kasus lemparan batu ke arah kereta di seputaran Jakarta), belum kota-kota lain.

"Kalau sudah sendirian di kamar, saya masih sedih. Kenapa harus saya yang bernasib begini?"

Lalu, tibalah 28 Oktober 2015, hari Danang kehilangan penglihatan karena hantaman batu yang menembus ruang kemudi masinis. Dia segera dilarikan ke ke RS Sardjito di Yogyakarta. Hampir separuh bola mata kanannya teriris. Nada suaranya meninggi saat menceritakan kronologi peristiwa tersebut. "Saya juga sempat tanya ke dokternya, 'apa bisa kalau ganti bola mata?' Saya sempat didesak oleh tim kesehatan KAI, 'Engga usah saja. Engga ada sejarahnya ganti bola mata'."

Danang tahu permintaannya tak masuk akal, tapi kehilangan itu mengguncang jiwanya. "Saya butuh keterangan langsung dari dokter. Kata dokter, selama dia menjadi dokter dan menangani pasien, ganti bola mata itu enggak ada, itu cuma ada di film-film. Soalnya seribu syaraf yang ada di mata itu engga bisa disambung." Setelah kondisinya membaik, selama dua bulan Danang mengurung diri di kamar. Dia tak bisa menerima keadaan. "Di depan keluarga dan teman-teman saya berusaha tegar, "Tenang saja saya sudah terima kenyataan, sudah baik-baik saja". Tapi kalau sudah sendirian di kamar, saya masih sedih "Kenapa harus saya yang bernasib begini". Psikolog dari KAI tiga kali datang ke rumahnya untuk memberi masukan. "Mereka menyuruh saya untuk mendengarkan lagu D'masiv yang Jangan Menyerah. Ya memang sedikit mengubah semangat." Kandasnya cita-cita masih membuat Danang sulit bersikap tenang. Dia sempat beberapa kali mencoba pengobatan alternatif. Kini dia juga aktif merokok dan menenggak kopi saban hari—kebiasaan yang dulu tak pernah dia lakoni—agar tak mudah mengalami serangan panik. Rokok dan kopi justru membantunya lebih rileks sekarang. Danang sempat agak lama terus terobsesi agar matanya bisa kembali normal. Baru setelah setahun, Danang bisa menerima kenyataan. Danang kini dipindahtugaskan ke bagian pusat pengendali perjalanan kereta DAOP VI.

Saking seringnya kasus menabrak orang ada ucapan, "masinis kalau belum menabrak belum dikatakan masinis."

Carla R. Machira, ahli kesehatan jiwa di RSUP Dr. Sardjito menjelaskan yang dialami Danang masuk kategori gangguan stres pascatrauma (PTSD). Gejala yang ditemui pada pasien PTSD adalah mudahnya terkena stimulus mengingat kembali memori traumatik, sekaligus saat bersamaan berusaha menghindari semua ingatan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. "Penyebab PTSD adalah stres yang sangat traumatik. Peristiwa pelemparan itu menurut saya traumatik karena mengakibatkan cacat tubuh. Kisaran waktu [kembali normal] paling cepat bisa 2 sampai 3 bulan, lebih panjang dari itu juga bisa," kata Carla. PTSD masih belum banyak dipahami kalangan profesional di Tanah Air. Carla menyarankan PT KAI lebih rutin memperhatikan kondisi psikologis para masinis dan pekerja perkeretapian, mengingat risiko kerja yang sedemikian besar. Apalagi bagi korban trauma ganda seperti Danang, yang mengalami cacat fisik, serta pernah menyaksikan langsung kematian akibat pekerjaannya. Di negara maju sekalipun, ancaman depresi sejenis banyak dialami masinis. Ambil contoh Jerman. Rata-rata masinis di Negeri Panzer setidaknya mengalami dua kali kecelakaan yang menewaskan seseorang selama berkarir. Untuk membantu pasien dengan gangguan penyesuaian atau bahkan PTSD, Carla menyarankan keluarga atau lingkungan kerja harus selalu memberi dukungan, dan mengajak pasien agar memandang masalahnya dengan lebih positif. "Lingkungan keluarga dan pekerjaan harus meyakinkan pasien untuk menerima kondisi sekarang sehingga dia tidak mencari-cari kesalahan dirinya." Danang di tengah kesibukan barunya mengatur sinyal lalu lintas kereta, mengaku masih kangen berada di ruang masinis. Cintanya pada kereta tak pernah mati.

"Kalau sudah kangen jalan, saya naik kereta Prambanan Ekspres (Prameks)," kata Danang. Kali ini sambil tersenyum. "Kalau masinisnya kenal, saya minta izin lihat jalan lewat depan. Kalau engga kenal ya cukup duduk di kursi penumpang."