FYI.

This story is over 5 years old.

Film DC

Film-Film DC Universe Memble Karena Konsep Pahlawan Super yang Basi

DC punya segudang masalah dengan film-filmnya. Tapi, kalau boleh jujur, masalah terbesar mereka terletak pada konsep “pahlawan super” mereka sendiri.
Gambar diambil dari Wikimedia Commons 

Mari kita mulai dengan sebuah kenyataan yang pahit.. Film Justice League di minggu pertamanya enggak selaku dua film Avengers dan pendahulunya, Batman Vs Superman. DC Extended Universe jelas tengah punya masalah besar saat ini. Dan problema yang dihadapi DC enggak ada sangkut pautnya dengan nama-nama besar dalam kredit film mereka. Bukan juga dengan set-set DC ambisius. CGI yang megah tapi butut juga bukan. DC sebenarnya tahu banget kok masalahnya di mana.

Iklan

Kecuali Wonder Woman yang jadi satu-satunya film DC yang dapat review mendingan pasca berakhirnya trilogi The Dark Knight yang digarap Christoper Nolan, gampang sekali menuding penyebab memblenya film-film DC pada sutradara yang enggak becus dan skenario yang acak kadut. Namun, jangan buru-buru melupakan kalau DC tengah terjepit antara era emas komik yang sudah lewat dan usaha mereka menggarap DC Extended Universe yang film-filmnya memerlukan perombakan habis-habisan biar enak ditonton oleh mereka yang kadung kecewa seperti saya, misalnya. Untuk menggambarkan betapa kekinya saya terhadap film-film DC belakangan, saya bisa menukil adegan dari saga Batman vs. Superman—sebuah film yang jeleknya enggak ketulungan hingga tiap kali dinonton saya pasti ketemu aspek yang bisa diketawain abisan-abisan. Adegan yang saya maksud adalah shot saat Batman siap menujah Superman dengan tombak berujung batu Kryptonite. Sesaat sebelum ujung tombak menggores dadanya, si manusia baja itu bilang:
“Save…Martha.” Batman yang sebenarnya sedang di atas angin, langsung keder. Mukanya bingung. Di benaknya—ini cuma tebakan, kan Batman enggak ngomong dalam hati kayak di sinetron lokal, Bruce Wayne kaget dan bertanya-tanya “Si Brengsek ini tahu nama itu dari mana?!” Dan Lois, iya Lois yang kelihatannya ringkih banget dan selalu pengen diselamatin itu, tiba-tiba nongol dan langsung ngoceh. “That’s his mother’s name!” Jad ya begitulah, puluhan jam yang dihabiskan oleh Bruce Wayne untuk mengulik rencana membunuh Superman, puluhan jam yang dihabiskan om-om tajir mampus dari Gotham untuk nyombong kalau dirinya jauh lebih bermoral daripada si pendatang baru asal Krypton itu buyar oleh sebuah kalimat yang cupunya kebangetan (bocoran: Nama Ibu Superman dan Batman ternyata sama!) Bayangkan, untuk mencapai momen secupu itu, DC kudu ribet-ribet menulis cerita panhang tentang Superman yang—maksudnya sih baik: mengalahkan musuhnya sesama pendatang dari Krypton—ngehancurin satu kota di Man of Steel (2013). Dan Batman yang kebetulan ada di kota itu waktu pertarungan terjadi bete abis. Singkat cerita, setelah segala macam tetek bengek terjadi, cerita pun sampai ke momen menye-menye tentang Batman yang enggak tega menujah Superman cuma gara-gara nama Ibu mereka sama. ck! Ya, Batman Vs Superman memang busuk. Eksekusi skenarionya konyol dan murahan abis. Tapi, di sisi lain, film ini sebenarnya keren. Bila kita bisa mengesampingkan penggambaran pahlawan super yang masih konyol dan bangunan-bangunan yang ambruk (padahal enggak punya salah apa-apa), tiap karakter dalam film ini memiliki cacat-cacat yang manusiawi, terutama di adegan yang kita sepakati konyol tadi. Batman yang om-om paranoid dan mungkin gila sementara Superman—meski punya standar moral yang terlalu tinggi bagi manusia—ternyata malah terjebak dalam problem-problem yang dihadapi manusia biasa. Jelas, ada penjelasan kenapa momen-momen yang melibatkan karakter-karakter cacat macam ini sangat sedap ditonton. Kita menyukai sosok-sosok seperti Arya Starks, Walter Whites dan Omar Little. Karakter-karakter ini bisa saja membunuh tapi mereka melakukannya dengan intensi yang bisa dipahami manusia pada umumnya. Oh ya, mereka juga bisa berubah jadi penjahat yang bengisnya enggak ketulungan dalam beberapa kasus, namun dalam cacat-cacat mereka kita bisa lihat bahwa mereka sangat manusiawi alias membumi. Inilah hal yang sangat dipahami oleh pesaing DC, Marvel, sejak tahun ‘60 dan ‘70-an. Pada 1961, Stan Lee dan co-writer Jack Kirby diberi tugas untuk merombak konvensi komik pahlawan super lama, niat baik yang sesungguhnya pertama kali digagas oleh DC. saat itu, Perang Dingin dan gerakan hak sipil sedang ramai-ramainya. Alhasil, jagoan berambut rapi jali, ganteng dan berbadan sterek harus menyingkir, digantikan sosok-sosok cacat seperti Deadpool dan Wolverine. Mereka adalah sosok pahlawan yang pernah dicurangi, dilukai dan di-php-in dan inilah yang membuat sosok-sosok pahlawan ini justru sangat manusiawi. Sayangnya, sosok-sosok serupa enggak bisa saya temukan dalam DC Universe, atau lebih luas lagi dalam film-film DC Universe. Pahlawan super dalam film-film DC seperti langsung dicatut dari era pahlawan super tahun 30-an dan 40-an. Sebagai catatan, Wonder Woman dan Superman selalu dirancang sebagai sosok yang bikin pembaca optimistis, generasi yang besar di era Depresi Hebat dan Perang Dunia II. Imbasnya, tingkah pola pahlawan super DC bisa jadi adalah pengejawantahan sempurna dari hukum dan keteraturan serta nilai-nilai ideal khas Negeri Paman Sam. Artinya, karakter-karakter seperti Superman—baik banget, enggak punya cacat, matanya dan rambutnya selalu disisir super rapi—enggak mirip dengan satu orangpun yang saya kenal. Saat Zack Snyder menukangi Man of Steel, dia sebenarnya ingin menutupi kesempurnaan Superman sebagai seorang manusia super. Snyder malah mencoba menonjolkan hubungan superman dengan manusia dan kekhawatirannya akan Lois. Sayang, niat baik Snyder luntur begitu saja ketika dia menempatkan Superman tepat di depan konflik antara dirinya penjahat dari kampungnya di planet Krypton. Jadinya, alih-alih bikin membumikan Superman, Snyder kena jebakan Batman yang sama: Superman tetap digambarkan sebagai penyelamat bumi tanpa gompel apalagi cacat dan simbol optimistis orang di sekitarnya. Seharusnya, kalau kita boleh usul, Snyder enggak mesti patuh banget dengan konsep kolot manusia super ala DC. toh, DC sebenarnya sebagai penerbit komik ikhlas-ikhlas saja bila kepribadian jagoan mereka diotak-atik, selama waktu dan konteksnya memang memerlukannya. Enggak bisa disangkal dalam 30 tahun terakhir (film) pahlawan super terlaris DC adalah film yang menampilkan jagoan paling bermasalah mereka—entah itu dua film Batman besutan Tim Burton ( Batman, Batman Returns), dan trilogi manusia kelelawar garapan Christopher Nolan (Ga usah bawa-bawa film Batman buatan Joel Schumacher ya plisss). Kedua sineas yang saya sebutkan tadi berusaha menampilkan Batman sebagai sesosok karakter kelam yang belum bisa move on dari kematian naas ayah ibunya. Apa yang dilakukan keduanya enggak baru-baru amat kok sebenarnya. Batman adalah salah satu jagoan yang mengalami moderniasasi signifikan pada dekade ‘80an (sebagian besar berkat komik-komik Frank Miller). Sejak saat itu, Batman kerap disuguhkan sebagai pahlawan cacat dan cenderung kurang disukai. Memang ada semacam kesenjangan antara penulis komik dan penulis skenario film-film DC. penulis komik punya kebebasan luas untuk menggarap karakter-karakter yang lebih manusia (contohnya dalam serial Gotham Central). Sayangnya, kebebasan yang sama tak dinikmati sineas yang menggarap film-film DC. jagoan dalam film-film DC harus tampil mulus. Segala macam cacat karakter adalah sesuatu yang haram. Jadi, enggak usah heran kalau kita enggak nemu karakter jagoan mirip Tony Stark yang narsis dan nyebelin, Thor yang selalu mementingkan diri sendiri dan Spider-man yang gampang galau di dalam di film-film DC Universe. Skenario yang solid dan pilihan sutradara memang punya sumbangsih besar akan keberhasilan film-film Marvel. Akan tetapi, alasan sejati kenapa Marvel Cinematic Universe laku bak kacang goreng mencakup apa yang kita bicarakan dari awal tulisan ini. Karakter-karakter Marvel seakan-akan diambil langsung dari kehidupan nyata kita. Inilah alasan kenapa gontok-gontokan antara jagon di Civil War bisa sangat mudah kita pahami. Malah bagi saya pribadi, 10 tahun menonton segala macam ideologi, ego, dan karakter yang enggak sempurna-sempurna amat dalam Marvel Cinematic Universe menyadarkan bahwa saya—seperti jagoan-jagoan super itu—punya hubungan personal yang jelek dengan sisi gelap saya. Dan ketika nanti dalam Avengers: Infinity War, beberapa jagoan super ini mati kita bakal mewek karena kita sejatinya peduli keberadaan mereka. Jika DC ingin merangkul penonton di luar pembaca setia komik mereka (atau gampangnya bikin film yang mendatangkan untung sebesar US$200 juta atau Rp2,7 triliun), yang pertama harus dibenahi adalah konsep mereka tentang heroisme. Ingat, ini tahun 1940-an lagi. Penonton film enggak mesti dicekoki film-film yang menegaskan betapa sempurnanya pahlawan super. Yang kita butuhkan adalah manusia yang berjuang sampai berdarah-darah. Kita ingin Superman menghadapi realita betapa besarnya kekuatan yang dia miliki dan sisi gelap di balik semua itu (baca: tolong bikin adaptasi serial Injustice). Yang menarik kan gini: begitu Superman diuji dengan kekuatan yang terbatas, apakah dia bakal jadi turis dari planet Krypton yang baik-baik saja? Intinya, karakter-karakter DC mesti sekali-kali dihadapkan dengan kegagalan mereka. Misalnya, mereka barang sekali saja dalam sebuah film telat menyelamatkan manusia. Dari sini kita bisa disuguhi depresi yang mereka rasakan lantaran kegagalan mereka menjalankan tugas sebagai jagoan? Singkatnya, bila pengin laris, film-film DC harusnya mengeksploitasi konflik internal yang dihadapi para jagoan super alih-alih cuma memamerkan kekuatan mereka semata. Seperti yang berhasil dilakukan Marvel, DC harus bisa menunjukkan kalau pahlawan super mereka bisa tetap keren walau cacat seperti manusia biasa. Jagoan-jagoan DC bisa mendadak jahat, terus baik lagi sambil tetap insecure seperti manusia biasa lainnya. Dengan cara ini, DC bisa ikut-ikutan menyebarkan pesan moral—yang sebenarnya klise banget sih—ini: heroisme ada dalam diri setiap orang. Saya harap sih DC enggak ragu untuk memberi coreng, masalah menahun dan cacat-cacat lainnya pada jagoan mereka dan membiarkan mereka menjalan tugas suci mereka sebagai jagoan (plus, bikin mereka gagal sesekali). Dengan demikian. DC akhirnya bisa menandingi Marvel dalam satu hal: bikin film pahlawan super yang laku bak pisang goreng.

Follow Noel Ransome on Twitter.