FYI.

This story is over 5 years old.

Belajar Feminisme

Cara Efektif Mengajari Bocah Laki-Laki Menghargai Perempuan

Di Belanda ada satu lokakarya yang dibikin khusus buat bocah laki-laki. Di situ dibahas apa yang baik, apa yang kelewatan, juga apa yang selama ini tak disadari buruk oleh kebanyakan cowo.
Foto oleh Lumina via Stocksy

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly Netherlands. Juli lalu, lembaga dan agensi periklanan SIRE meluncurkan kampanye yang mengimbau masyarakat di Belanda "membiarkan anak laki-laki bertingkah bak anak lelaki sejati." Ini bukan kali pertama SIRE menggarap kampanye iklan yang provokatif. Bedanya, kali ini garapan terbaru mereka menuai kritik pedas dari seluruh penjuru Belanda. Berbagai pertanyaan bermunculan: apa sih yang dimaksud LIRE dengan bertingkah bak lelaki sejati? Lalu apa kabar dengan stereotip tentang anak laki-laki yang pantang menunjukkan emosi dan berurai air mata? Lalu, apa hubungannya pula tekanan pada anak laki untuk memburu seks, bahkan sampai harus memaksa perempuan dan gadis di sekitar mereka?
IMAGINE (Inspiring Male Action on Gender Equality in Europe) berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan ngobrol bersama beberapa bocah lelaki berumur 12 sampai 18 tahun. Tujuannya untuk mengakhiri kekerasan seksual pada gadis muda dan perempuan. Di Belanda, para instruktur pendidikan seksual menggelar lokakarya di sekolah untuk mengajarkan anak laki-laki mengenali dan menghargai batas seksual orang lain, sekaligus batas-batas seksual mereka sendiri. (Sebagai catatan, anak perempuan diundang ikut serta dalam lokakarya ini). Gijs Hablous, instruktur IMAGINE berusia 21 tahun, sudah mengajak ngobrol beberapa remaja putra Belanda lewat serangkaian lokakarya sejak Januari tahun ini. Broadly ngobrol dengannya tentang pendidikan seksual, persetujuan berhubungan badan dan pentingnya merangkul para pemuda.

Iklan

BROADLY: Seperti apa pendidikan seksual di sekolahmu dulu?
Gijs Hablous: saya cuma ingat dua kelas biologi kira-kira ketika saya masih kelas satu SMA. seorang guru biologi biasa, maksudnya bukan yang ahli dalam masalah seksualitas, menerangkan cara mencegah kehamilan dan penyebaran penyakit menular seksual. Tentu, kami para siswa diajarkan cara memasang kondom. Kami cuma menganggapnya sebagai lelucon doang. Topik tentang gender dan seksualitas enggak disentuh sama sekali. Ini yang bikin kamu percaya pendidikan seksual bisa diajarkan dengan lebih baik?
Pemikiran itu baru muncul di kemudian hari. Itupun setelah sadar kalau saya adalah lelaki berkulit putih dan punya latar pendidikan yang baik. Artinya, saya memiliki privilese. Saya ingin ikut membantu penyebaran wacana gender dan seksualitas. Masalahnya, saya enggak yakin harus ikut dalam diskusi tentang feminisme. Saya enggak mau bikin orang dongkol. Tak berapa lama, saya mendengar tentang IMAGINE dan menurutku keren sekali ketika ketika mereka mencari pria dewasa untuk dijadikan teladan dan mengajarkan anak muda Belanda cara mengakhiri intimidasi dan kekerasan seksual. Itu kan topik yang lumayan berat buat remaja berusia 12 sampai 18 tahun, bagaimana cara sampai kamu bisa ngobrol dengan mereka tentang hal ini?
Fokus kami adalah latihan fisik dulu. Kami baru ngobrol setelahnya. Misalnya, ada latihan mengenali batas pribadi. Dalam latihan ini, kami membuat dua kelompok remaja laki-laki berhadap-hadapan. Salah satu grup mendekat secara perlahan, grup lainnya bakal berkata "berhenti" jika grup pertama dianggap sudah terlalu dekat. Lalu, grup kedua terus maju barang selangkah. Intinya, mereka menerabas batas pribadi grup kedua. Begini cara kami mengajarkan bahwa diskusi tentang batas-batas personal itu penting. Terus, bagaimana anak-anak ini menanggapinya?
Kadang mereka tertawa. Ada seorang anak laki-laki yang sok-sok tough dan mengatakan kalau kawan-kawan perempuannya boleh melakukan apapun pada dirinya. Lalu, kami ngobrol serius tentang hal ini: bisa enggak sih kita hidup tanpa batas personal? Saya lantas sadar menghargai batas personal bukan hal yang mudah diajarkan. Bagaimana kamu tahu sejauh apa kamu bisa bergerak? Banyak anak laki-laki berpikir mereka bisa terus maju selama perempuan tak bilang "tidak" karena bagaimana mereka tahu kalau sudah menerabas batas. Lalu, bagaimana mereka belajar menjalin interaksi dengan anak perempuan, dengan asumsi mereka tak punya niat jahat?
Kami bisa memulai pembicaraan tentang hal ini dengan membahas contoh yang muncul di kelas. Salah satu cowok mengatakan kalau dirinya suka seorang anak cewek. Anak ini sering memandangi gadis pujaannya berjalan dari jauh. Suatu kali, dia bersiul dan memanggil nama yang cewek. Panggilannya tak direspon. Jadi, setelah beberapa lama, anak lelaki ini memberanikan diri bertanya kenapa. Sang cewe bilang dia merasa terganggu karena tingkah lakuknya sementara anak lelaki ini tak tahu cara memulai pembicaraan dengan cewek. Dia tak tahu apa yang dirasakan pujaannya sampai mereka benar-benar ngobrol. Pasti ada pernyataan-pernyataan songong di kelas-kelas lokakaryamu ya?
Kami selalu membawa arah pembicaraan ke contoh-contoh yang berlaku pada bocah-bocah cowok ini. Salah satu anak, misalnya, pernah bilang kalau seorang cewek memakai rok, itu artinya dia minta digoda. Lalu, seorang guru perempuan balik bertanya "Kamu bakal ngerasa seperti apa kalau ada laki-laki yang menggoda saya cuma karena pakai celana lari?" atau "bagaimana perasaanmu jika saudari perempuanmu diperlakukan seperti itu?" Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya bikin anak itu sadar kalau cara berpikirnya ngaco. Kenapa bocah laki-laki jadi fokus lokakarya ini?
Mayoritas pelaku kejahatan seksual adalah laki-laki dan korbannya biasanya perempuan. Kami berangkat dari fakta ini. Ada banyak faedah yang kita dapatkan dari ngobrol bareng dengan sekumpulan laki-laki tentang tindak-tanduk mereka. Kamu tahu lah, di lingkaran pergaulan sesama cowok, becandaan seks yang merendahkan perempuan kerap beterbangan. Bakal jadi sesuatu yang menarik jika ada sekelompok laki-laki yang berani protes jika kelakar macam ini keluar dalam pembicaraan. Kamu pernah mengalaminya di lingkaran pergaulanmu?
Iya sih, tapi itu dulu. Saya sering merasa kurang nyaman kalau ada orang yang mengeluarkan kelakar misoginis berdasarkan beberapa stereotip tertentu. Waktu itu, saya enggak tahu kenapa saya bisa merasa sedongkol itu. Sekarang sih, saya langsung protes kalau ada yang becanda jorok dan misoginis. Menurutku, lelaki lain juga harus melakukan hal serupa. Kalau kamu sadar akan hal ini dan diam saja, kamu adalah bagian dari masalah ini. Kamu sadar apa yang dirasakan bocah-bocah ini ketika harus hidup menuruti stereotip lelaki maskulin yang beredar di masyarakat?
Pasti. Sampai saat ini, tiap kali lokakarya digelar, saya sering melihat beberapa bocah laki-laki sadar bahwa beberapa kelakuan "khas" laki-laki (sangean, sok tegar) ada dalam diri mereka karena mereka diharapkan bertindak seperti itu. Menyiuli perempuan juga dianggap perilaku yang wajar dalam demografi pria tertentu karena disangka cool. Kata-kata macam "bencong" dan "gay" dengan enteng dilontarkan dengan konotasi negatif, misalnya kalau kamu tak mau ngeseks, kamu dianggap "gay." anak-anak ini tak paham betapa mengganggunya stereotip ini sampai kami mengajak mereka bicara. Menurutmu meraka paham tidak tujuan lokakarya ini?
Tentu saja. Saya bakal senang bukan kepalang kalau anak-anak ini tertarik mendalami feminisme selepas lokakarya dan menyingkirkan stereotip patriarkis dalam diri mereka. Kenyataannya, waktu kami cuma beberapa jam. Melihat anak-anak ini ngobrol tentang seksualitas, seks, menggoda cewek, dan hubungan asmara setelah lokakarya saja sudah bikin saya bahagia. Ini hal-hal yang sebelumnya tak mereka bicarakan secara terbuka. Alangkah mulianya jika lokakarya ini jadi bagian dari kurikulum sekolah.