Akibat Perubahan Iklim, Manusia Kini Makin Kesulitan Menanam Padi

FYI.

This story is over 5 years old.

Perubahan Iklim

Akibat Perubahan Iklim, Manusia Kini Makin Kesulitan Menanam Padi

Kalian mungkin tak sadar, tapi petani paham betul kacaunya musim tanam beberapa tahun belakangan. Buktinya para petani dari Malaysia ini. Mereka tak punya pilihan, kecuali beralih ke tanaman lain.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard. Saat Abdulhamid bin Saad, 68, mengenang 50 tahun yang dia habiskan bekerja di sawah, dia dengan mudah mengingat seperti apa rasanya jadi petani sebelum segala macam teknologi pertanian modern tercipta. Anehnya, Saad tak mampu menjelaskan kenapa cuaca cenderung lebih hangat belakangan dan kenapa hujan kini lebih enggan turun. "Saya cuma petani biasa," jawabnya polos. Saad mungkin belum sepenuhnya memahami perubahan ini, beda kasusnya dengan, generasi baru petani Malaysia yang sudah ngeh dampak naiknya temperatur pada padi yang mereka tanam. Shafrizal bin Abdulhamid, putra Saad, mengatakan kendati musim hujan tahun ini datang lebih awal, stres akibat perubahan iklim meningkat dan mengancam tanaman dan mata pencaharian mereka. Pergeseran pola cuaca memicu pembahasan yang sebelumnya tak pernah dibayangkan akan muncul di Malaysia: mempertimbangan kembali nasi sebagai makanan pokok Malaysia. Jumlah konsumsi beras domestik Malaysia mencapai 2,8 juta ton per tahun. Menurut hasil penelitian di Malasysia.pdf), rata-rata sawah penghasil padi hanya bisa memanfaatkan 50% potensinya. Peneliti setempat kini tengah mengulik cara untuk mendapatkan bahan makanan yang lebih fleksibel menghadapi iklim sekarang. Mereka membayangkannya sebagai salah satu cara beradaptasi dengan perubahan iklim yang terus terjadi.

Iklan

Abdulhamid di sawahnya. Foto oleh: Sawsan Morrar

Dan, perubahan iklim akan makin menjadi. Suhu global diperkirakan naik tiga derajat celsius di 2050. Jelas iklim yang lebih panas akan mempengaruhi curah hujan dan sistem irigasi, dampak lain perubahan iklim tak selalu kentara. Seiring meningkatnya temperatur dan tingkat karbondioksida di udara, nutrisi dalam tanaman pangan menurun karena perubahan iklim. Artinya, pasokan bahan makanan menurun dan keuntungan yang diterima petani perlahan menguap. Sawah Saad punya letak strategis. Lokasinya tak jauh dari kanal irigasi terbesar di Malaysia, Wan Mat Saman. Air jelas bukan masalah baginya. Sayangnya, banyak pertani di Malaysia tak sehoki Saad. Menurut International Rice Research Institute (IRRI), sekitar 35 persen padi di Malaysia tumbuh di sawah tadi hujan. Imbasnya, banyak petani Malaysia rentan terhadap dampak perubahan iklim. "Susah mempersiapkan musim panen padi kalau kamu tak lagi bisa mengandalkan curah hujan. Kamu tak tahu kapan bisa panen," kata Abdulhamid. Keluarga Abdulhamid menyantap nasi tiga kali sehari. Ketika saya datang berkunjung ke rumah mereka Maret lalu, anak istri Abdulhamid sedang santap siang di teras rumah mereka yang menghadap ke sawah. Menu makan siang hari itu: ceker ayam, ubi, dan nasi putih. Alor Setar, ibukota Kedah, dapat ditempuh dalam beberapa menit saja dari tempat mereka duduk. Tentunya dengan menggunakan sepeda motor, sarana transportasi paling umum di negara bagian itu.

Iklan

Kondisi padi yang sudah menguning. Foto oleh: Sawsan Morrar

Kurang dari 800 meter ke arah barat dari hamparan sawah Abdulhamid, kamu bisa menemukan pantai. Rembesan air laut ke sawah pertanian adalah salah satu masalah penting di Kedah, yang berbatasan langsung dengan laut. Seperti yang terjadi di beragam kawasan di dunia, permukaan air laut di kawasan pantai perlahan naik karena perubahan iklim. Beberapa tahun lalu, pemerintah Malaysia membangun tanggul untuk mencegah air sampai ke daerah pertanian. Sayangnya, Abdulhamid ingat air laut pernah melewati tanggul dengan mudah. Dia was-was kejadian ini akan terulang. Baginya, perubahan di lahan pertanian yang dia kelola ada sangkut pautnya dengan perubahan yang kita rasakan dalam lingkungan hidup di sekitar kita. Pokoknya, curah hujan yang turun dan bumi yang makin panas berarti hasil panen akan semakin kecil. Kadang Abdulhamid bertanya-tanya apakah panen padi dengan jumlah yang besar masih bisa terjadi. Tatkala terbang menuju negara bagian di kawasan utara, saya melihat ratusan sawah yang ditanami padi. Tak bisa dipungkiri, nasi masih jadi makanan utama di Malaysia. Sayangnya, kenyataan ini harus dibenturkan sebuah fakta yang menyesakkan: beras adalah bahan pangan yang memiliki kandungan nutrisi lebih rendah dari sumber pangan lokal sejenisnya. Saat ini, Malaysia menghasilkan 60 persen dari semua beras yang dikonsumsi di sana. 40 persen lainnya diimpor dari negara tetangga, mayoritas dari Thailand. Ketika krisis bahan pangan dunia terjadi pada 2008, herga beras naik antara 117 sampai 149 persen. Saat itu, Malaysia sadar harus mengupayakan swasembada beras. Beberapa pejabat pemerintahan mencanangkan bahwa di tahun 2020, semua konsumsi beras lokal dipanen dari sawah-sawah di Malaysia, sebuah target yang sepertinya terlalu muluk lantaran ditetapkan di tengah perubahan iklim yang sangat signifikan. Curah hujan di wilayah Malaysia menurun drastis pasca fenomena badai El Niño yang menghantam Malaysia pada 2016 silam dan menyebabkan kekeringan. Tak jauh dari gedung pemerintahan di Kuala Lumpur, tepatnya di Universtity of Nottingham di Malaysia, berdiri kubah berteknologi mutakhir yang menampung segala macam tanaman pangan dari pohon moringa hingga pisang. Crops for The Future, sebuah organisasi independen internasional, dibentuk untuk meriset bahan pangan yang belum begitu umum dimanfaatkan.

Iklan

CEO organisasi itu, Professor Sayed Azam-Ali, berharap bahwa penelitian yang dilakukan Crops for The Future memberikan celah mendiversifikasi pasar pangan global dengan bahan pangan yang belum banyak digunakan. di sisi lain, hasil penelitian Crop for The Future juga bisa memacu para petani untuk mencoba varietas tanaman pangan lainnya. "Kita terbiasa baru bilang 'sudah makan' setelah makan nasi," jelas Azam-Ali. "Tapi obsesi akan beras kan baru muncul belakangan. kita tidak dari sononya doyan makan nasi."

Berjalan melintasi lahan milik Crops for The Future, saya menyaksikan barisan pohon Moringa, tanaman kacang tanah Bambara dan berhektar-hektar lahan tapioka yang siap panen. Pemerintah Malaysia mendukung penuh usaha Crops for The Future dan mengucurkan bantuan sebesar $40 juta. sumbangan pemerintah ini mewujud dalam bentuk kamar-kamar penelitian untuk menguji spesies tanaman pangan tertentu dan dapur stainless steel yang digunakan untuk menguji dan mengulas sebuah varietas bahan pangan. Spesies yang bakal dapat giliran untuk diulas adalah kacang tanah Bambara, yang berasal dari Nigeria. Bambara punya kandungan nutrisi yang tinggi dan mampu memperbaiki kandungan nitrogen dalam tanah. Sepintas, bentuknya tak jauh beda dari kacang tanah biasa. Bedanya, Bambara dikaruniai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang hangat dan keras. "Perkerjaan kami adalah membuat produk makanan dari sebuah tanaman pangan dan memproduksi secara besar-besaran untuk penduduk kota yang menginginkannya," imbuh Azam-Ali.

Iklan

Layaknya kacang tanah Bambara, pohon moringa tahan cuaca panas dan sangat irit mengonsumsi air hingga sering disebut sebagai pohon ajaib. daunnya, yang kaya dengan protein, bisa dimasak dalam sup. Moringa telah diperkenalkan pada publik luas di negara-negara di Sub Sahara namun beberapa organisasi kemanusiaan masih khawatir dengan kandungan gizi moringa.

Moringa dan Bambara adalah jajanan yang mengancam masa depan beras. Foto: Sawsan Morrar

Azam-Ali berharap biodiversitas Malaysia akan mendorong petani setempat untuk menaman tanaman pangan yang belum umum. namun, hasil panenan para petani di Malaysia, jika mereka setuju melakukannya, baru bisa dijual setelah ada permintaan. "Suhu global yang tinggi berarti Bumi yang makin kering," jelasnya. "Mau tak mau, kita harus merombak cara kita bercocok tanam. hanya sedikit organisasi yang memusatkan perhatian mereka pada model cocok tanam alternatif. jelas sekali kalau dunia pertanian memerlukan inovasi yang disruptif."

Tak cuma menginvestaikan sedikit dana di Crops for the Future, pemerintah Malaysia juga mengalokasikan dana untuk membantu petani-petani di Kedah seperti Abdulhamid. Para petani menerima pasokan pestisida, pupuk hasil subsidi dari pemerintah. Jika perlu, mereka juga bisa menyewa traktor. Semua ini adalah bagian dari program Muda Agriculture Development Authority, atau kerap dikenal dengan nama MADA.

Asisten Officer of Agriculture Kedah, Ikram Ismail, menjelaskan bila Malaysia ingin mencapai swasembada pangan, yang perlu dilakukan adalah memperluas lahan pertanian. Ini jelas solusi yang gampang dari sisi pemerintah. Sayangnya, ini pemecahan yang keliru. Memberikan lahan secara cuma-cuma tak berpengaruh pada perubahan iklim. "Usia petani di Malaysia berkisar 60 tahun atau lebih," kata Ismail. "dorongan untuk memproduksi beras masih besar. Cuma energi mereka sudah terkuras habis."

Tak jauh dari kediaman Abdulhamid, seorang pemuda tengah menyemprotkan pestisida di sawahnya yang luas. Dengan hati-hati, pemuda itu menyusuri satu barisan padi ke barisan padi lainnya untuk menyebarkan pestisida secara merata. Ayah, ibu dan istrinya duduk di depan teras rumah mengurusi anak-anak mereka. Pagi yang hening dengan khitmad mereka nikmati. "Di tiap keluarga, minimal satu anak laki-laki akan ditunjuk untuk mengelola sawah," ujar Abdulhamid

Dia lebih jauh menjelaskan bahwa jauh dari karir dambaannya, bertani adalah pilihannya. Abdulhamid juga mengakui perubahan besar bakal terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Beberapa kawannya dari keluarga petani di Kedah telah jauh-jauh hari merantau ke Kuala Lumpur. "Siap atau tidak, kita harus siap mengganti nasi dengan kacang-kacangan," katanya sambil menegaskan ketahanan kacang-kacangan di hadapan perubahan iklim global.

Abdulhamid dikarunia seorang putra yang tumbuh dikelilingi hamparan padi di sawah. Untuk pertama kalinya, dia tak yakin sang anak akan melanjutkan kiprahnya dalam pertanian.

Seperti turunnya hujan, masalah-masalah yang menggelayuti benak Abdulhamid hampir semuanya tak punya ujung pasti.