FYI.

This story is over 5 years old.

Beban Kerja

Risiko Kecemasan Ekstrem Melirik Para 'Freelancer'

Pekerja lepas bisa terjebak gangguan mental, walaupun tak ada beban jam kerja rutin seperti pegawai kantoran. Berikut pengakuan seorang freelancer yang sempat depresi.
Ilustrasi oleh Aleksandar Novoselski/Stocksy.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Ketika saya berusia 33 tahun, saya memantik api dan menghancurkan hidup saya. Saya telah menjadi guru kajian Inggris selama sebelas tahun, dan baru saja dijadikan pengajar tetap di sebuah sekolah menengah di Queens, New York. Kepala departemen kajian Inggris di sana bilang pada saya saat kali pertama dia mengamati kelas yang saya ajar, bahwa saya dilahirkan untuk menjadi seorang pendidik, dan saya sepakat. Untuk waktu yang lama saya merasa sebagai tawanan di bidang ini, dan memilih mengejar ijazah S2 untuk menunjukkan itikad baik kepada calon majikan. Saya berandai-andai menjadi seorang profesor di universitas. Bersamaan dengan rasa percaya diri yang tinggi itu adalah upah yang konsisten, cuti berbayar, asuransi kesehatan, dan tunjangan pensiun. Namun, saya keranjingan menulis dan hal itu membuat saya ingin berbelok dari satu-satunya jalur yang saya ketahui—jalur yang aman, sok berbudi, membosankan, dan bikin stres.

Iklan

Saya ingin menjadi jurnalis lepas—yang saya anggap sebagai koboi era modern. Saya menabung, mempelajari cara menjadi bartender, dan memperoleh pekerjaan paruh waktu yang lebih fleksibel di industri katering untuk membayar tagihan bulanan. Pada akhirnya, saya dipecat sebagai bartender. Selama delapan bulan, saya tidak liburan, membobol tabungan, dan meski sering kelelahan, saya mulai tak bisa tidur untuk kali pertama dalam hidup. Aibat kecemasan saya meningkat drastis, tiga atau empat malam dalam seminggu, saya hanya tidur selama beberapa jam. Terus-menerus khawatir soal pekerjaan membuat saya bertanya-tanya apakah saya telah melakukan segala yang saya bisa dalam satu hari. Saya mencemaskan hal-hal besar dan hal-hal kecil: Apakah saya akan bisa menjadi cukup baik untuk berkarir sebagai penulis? Kalau tidak bisa, ngapain saya keluar dari pekerjaan stabil sebagai pengajar? Kapan baiknya saya ambil rehat untuk menggosok gigi? Membersihkan apartemen? Memesan bir dingin?

Sembilan bulan setelah berhenti jadi guru, saya memulai psikoterapi—saya mampu menjalani psikoterapi berkat Obamacare, ngomong-ngomong. Saya didiagnosa memiliki kecemasan dan depresi. Saya mulai menyadari bahwa perasaan-perasaan seperti meragukan diri sendiri telah menahun terkubur dalam diri saya, dan kini mencuat ke permukaan karena mengejar sebuah karir di mana, dari menit ke menit, seseorang perlu memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Delapan belas bulan lalu, saya mulai minum obat untuk mengatasi kondisi saya. Meski saya masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan, saya sudah merasa lebih baik dibandingkan kali pertama saya menemui sang terapis tiga tahun yang lalu. Sebagian besarnya, saya telah menerima emosi-emosi, pikiran-pikiran, dan sensitifitas saya, dan menyadari bahwa segala hal tersebut adalah bagian dari diri saya sebagai penulis, dan justru tidak menghalangi saya menjadi penulis.

Iklan

Saya telah menerima fakta bahwa saya telah membuat keputusan-keputusan besar selama sebagian besar hidup saya, dan kepercayaan diri saya cukup tinggi sehingga saya tak perlu minum obat lagi. Saya merayakan portofolio saya yang mulai tebal dengan berlibur. (Tunjangan pensiun amat menggiurkan, tapi nanti lah.) Banyak hal mulai berhasil—amin deh—dan hal tersebut menyemangati saya karena semakin banyak warga Amerika bekerja lepasan setiap harinya. Namun apakah mereka bisa melakukannya tanpa merusak kesehatan mental mereka? Menurut sebuah penelitian baru-baru ini, 35 persen pekerja AS kini mengaku bekerja lepasan, dan 47 persen pekerja di rentang usia 18 hingga 24 tahun bekerja lepasan paruh waktu ataupun penuh waktu. Sempat ngetren promosi soal keuntungan gaya hidup seperti itu.

Bursa kerja digital lepasan Fiverr membuat iklan kampanye pada Maret, mempromosikan fleksibiitas dan rasa pemberdayaan dari "hidup proyekan." Uber saat ini memasang iklan yang menampilkan orang sibuk berusia 20-an dengan jins robek-robek mendeklarasikan, "Hari gini, semua orang butuh sampingan." Meski rasanya membebaskan untuk bisa mengatur jadwal sendiri, menjadi pekerja lepasan tak lepas dari masalah. Poster-poster Foverr di stasiun kereta telah dicibir media dan disebut sebagai "propaganda kapitalis" karena menyiratkan bahwa para pekerja sebaiknya rela bekerja 24/7 supaya, ini tebakan saya, bisa memiliki hidup enak di Amerika. The New Yorker baru-baru ini mempertanyakan apakah orang-orang bisa bertahan hidup mengandalkan ekonomi proyekan, dan Uber menormalisasikan anggapan bahwa orang-orang sebaiknya mencari pekerjaan sampingan supaya bisa membayar tagihan bulanan.

Iklan

Mengalah pada anggapan seperti itu mengancam keseimbangan kerja/hidup semua orang, dan bisa mengakibatkan peningkatan kecemasan dan stres. Kantor-kantor psikoterapi di New York City dipadati pekerja lepasan dengan stres tinggi. Salah satu terapis tersebut, Elizabeth Cobb, sepakat bahwa perjuangan mereka amat nyata: "Yang saya lihat adalah banyak fluktuasi," ujarnya. Dia telah merawat banyak pekerja lepasan, dan mencatat bahwa ketika klien-kliennya mendapat banyak pekerjaan dan upah, secara umum mereka merasa luar biasa. Namun tidak ada jaminan rasa aman—ketika mereka jatuh, mereka stres, dan ini bukan hanya berkaitan dengan uang. "Yang telah saya lihat adalah orang-orang mengaitkan identitas mereka dengan pekerjaan yang mereka lakukan," ujarnya. Konsekuensinya, menurut Cobb, adalah orang-orang "terlanjur mengabaikan banyak aspek hidup, sehingga ketika mereka tidak bekerja dan menciptakan sesuatu, mereka menyadari bahwa mereka tak punya apa-apa."

Salah satu metode yang diajarkan Cobb untuk mengatasi stres macam itu dan membangun rasa percaya diri adalah untuk membuat "daftar penghargaan," di mana klien menuliskan semua hal yang telah mereka lakukan selama seminggu yang, secara langsung maupun tidak, berkontribusi dalam pencapaian hidupnya. "Salah satunya ya berkonsultasi dengan terapis," ujarnya, "dan dengan begitu, ketika klien berkata 'saya sampah masyarakat, saya enggak punya pekerjaan, kenapa saya bodoh begini?' mereka bisa melihat kembali daftar tersebut dan berkata, 'OK, wah, saya melakukan semua hal ini, bukti saya bukan orang tidak berguna.'" Taktik ini bisa dan sebaiknya dilakukan terus menerus. Para pekerja lepasan sebaiknya mengingat kembali di mana posisi mereka selama enam bulan belakangan, atau setahun belakangan, dan bertanya apakah mereka telah merasakan adanya perbaikan atau kemajuan kecil. (Kemungkinan besar jawabannya "iya.")

Pekerja lepasan seringkali percaya bahwa ada banyak kesempatan untuk mengeksplor dan mengaktualisasi diri dengan bekerja sendirian, ujar Jonathan Detrixhe, profesor psikologi pembanunan di Long Island University dan terapis di Brooklyn. Detrizhe juga memiliki banyak pasian dengan hidup proyekan. "Namun hidup seorang freelancer bisa jadi amat kesepian, menakutkan, dan banyak kekurangan," ujarnya. Kecemasan ini adalah sesuatu yang perlu diperhatikan para pekerja lepasan—bisa jadi, kecemasan kita sedang memberi sinyal supaya kita menghindari suatu jalan, atau juga membawa kita ke pilihan-pilihan yang lebih baik, ujarnya. Hindari pengobatan tanpa anjuran dokter, karena minum obat memiliki efek sementara dan tidak benar-benar menyelesaikan masalahnya. Alih-alih, Detrixhe berkata pada klien untuk memprioritaskan menjaga tenaga—di luar bekerja lepasan—untuk memastikan mereka bisa pulang dan melakukan kegiatan kreatif yang mereka gemari.

Dari segi bisnis, Amy Werba, psikologis dan life coach dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di bidangnya, mengingatkan para pekerja lepasan bahwa kita tak hanya perlu menjadi marketer hebat, tapi juga advokat bagi diri sendiri. Dia menyarankan untuk menyisihkan sepertiga dari upah untuk ditabung, namun bukan hanya untuk alasan pragmatis—seperti makan, bayar kontrakan, dan lain-lain. Ketika seorang pekerja lepasan punya tabungan, "jadinya enggak desperate-desperate amat," ujarnya, "dan keputusasaan [bisa] berdampak pada pekerjaan jika kita tidak menyadarinya." Terkadang, wawancara saya dengan para profesional ini terasa lebih seperti sesi terapi pribadi—yang fokus pada kerugian hidup proyekan dan bagaimana cara mengatasinya.

Namun obrolan-obrolan ini selalu sampai pada fakta bahwa ini adalah pilihan yang saya tetapkan untuk diri sendiri, dan saya tidak perlu melanjutkannya jika tidak ingin. "Apa kamu menyesal menjadi seorang penulis?" tanya Werba pada saya. Ini adalah pertanyaan yang sering saya tanyakan ke diri sendiri, dan tanpa keraguan, saya menjawab, "Sama sekali tidak." Ya, saya memang memiliki pergulatan harian dengan stres dan kecemasan, tapi begitu pula semua orang. Pekerja lepasan memiliki kecemasan yang cukup berbeda dengan orang kebanyakan. Dan untuk itu, kita membutuhkan strategi-strategi psikologis yang cukup berbeda pula.