Saya enggak bikin resolusi tahun baru. Kalau pun bikin, saya melakukannya pas dilanda krisis kesehatan mental. Alasannya? Resolusi macam ini cenderung lebih rajin kita jabanin.
Ini terjadi pada pertengahan 2017. Waktu itu, saya sedang kelelahan dan mengalami sebuah episode depresi. Dalam kondisi sesuram itu, saya berjanji untuk tidak terlibat debat kusir di media sosial. Awal, saya ikut debat online atas alasan yang luhur: membela idealisme dan menyebarkanya pada mereka yang katakanlah kecele mendukung Donald Trump. Nyatanya, pada prakteknya, saya sering degdegan—mirip kayak orang menahan marah—dan mendapati mood saya acak-acakan selama beberapa jam sehabis melayani debat digital tentang pria busuk yang kini jadi presiden AS itu. Setelah berlangsung beberapa lama, debat-debat digital perlahan jadi racun dalam hidup saya. Makanya, setelah beberapa bulan berpuasa debat politik di media sosial, hidup saya kok terasa lebih menyenangkan.
Namun, menjelang akhir 2017, saya mulai turun ke media sosial lagi, melayani tantangan debat. Kali ini, saya memang enggak mengetik sanggahan saya dengan menggunakan huruf kapital (sorry ya, ini bukan gaya saya). Hanya saja, makin lama, emosi saya makin gampang disulut. Saya kembali jadi diri saya tengah tahun lalu. Sekali lagi, racun jahanam itu masuk tubuh saya. Alhasil, saat musim bikin resolusi tahun baru tiba, saya berjanji kembali menjauhi debat kusir politik di media sosial dan memutuskan ngobrol dengan beberapa pakar untuk memastikan kalau kegemaran menjabani debat politik di media sosial memang tak baik bagi kesehatan jiwa.
Jawaban yang saya terima enggak mengagetkan sama sekali: debat di media sosial enggak bagus bagi kesehatan kita. Yang justru mengejutkan adalah sesering apa debat-debat kusir ini sebenarnya menggambarkan sesuatu yang lebih besar dalam hidup kita, seperti bagaimana cara kita bisa mempertahankan kewarasan di era digital ini.
Agar bisa benar-benar paham efek berdebat online, kita harus terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan percakapan online. Masalahnya begini, media sosial seakan-akan menawarkan komunikasi macam percakapan antara dua orang pengguna—setidaknya media sosial memungkinkan pertukaran kata-kata seperti dalam percakapan betulan, patut disadari kita sejatinya tengah membahas dua aktivitas psikologis yang berbeda.
Mungkin salah perbedaan terbesar antara percakapan dalam kehidupan sehari-hari dan komunikasi via media sosial adalah percakapan terjadi tanpa isyarat fisik. Kita toh tah bisa menatap wajah lawan bicara kita di media sosial. Lebih dari itu, kita tak bisa merasakan nada bicaranya. “Kita hidup di dunia tiga dimensi. Internet memadatkannya menjadi dua dimensi semata,” kata Mary Alvord, seorang psikolog sekaligus instruktur di George Washington School of Medicine. Variasi lain dari perbedaan ini sering kali didengungkan oleh pakar kesehatan mental yang saya temui: interaksi online kurang memiliki penunjuk arah yang memandu manusia melalui beragam macam diskusi selama berabad-abad lamanya.
Hanya saja, itu bukan satu-satu perbedaan. Argumen yang dilontarkan dalam sebuah percakapan betulan biasanya punya batas waktu yang jelas. Alasannya: sang pelontar argumen bisa meninggalkan debat kapan saja. Namun, ada dua jenis karakter yang bikin debat di media sosial begitu menyeramkan. Pertama, apapun yang kita katakan di media sosial biasanya bersifat publik dan permanen. “Coba bayangkan kalau apa yang kamu ucapkan di media sosial itu nangkring di billboard di pinggir jalan,” ujar Joanne Sumerson, peneliti psikologi dan mantan presiden American Psychological Association’s Society for Media Psychology and Technology. “Karena…apapun yang kamu ucapakan akan terus ada di luar sana.”
Eh tapi kan, komentar dan status bisa dihapus? Tetap saja, kata Joanne, seseorang bisa saja pernah pernah menyimpan screenshotnya.
Terlebih lagi, ponsel pintar membuat kita susah meninggalkan gelanggang debat di media sosial. Saban kali kita mencoba meninggalkan debat tiada ujung di media sosial, gawai-gawai ini bakal terus bergetar dan memancing kita kembali ke dalam perdebatan. Singkatnya, gawai-gawai kita memerangkap kita dalam arena perdebatan online. “Kamu tak bisa kabur dari perdebatan online,” kata Sumerson. Coba bayangkan kamu saja terlibat dalam perdebatan online dan pergi ke sebuah restoran, jelas Sumerson. “Kamu merasa notifikasi ponselmu berbunyi atau kalau pun tidak, kamu akan penasaran bertanya-tanya ‘Ada yang sudah balas komenku belum ya?’ ‘Ada yang tersinggung enggak ya’”
Tantangannya adalah apakah kita akan memilih menjadi orang yang tenang-tenang saja dan bisa bersikap santai dalam kondisi seperti itu?
Yang juga perlu diingat, saat terlibat sebuah debat online, pikiran kita belum tentu dalam keadaan waras. Kemarahan adalah sebuah stimulan, begitu juga segala peralatan elektornik. Intinya, kalau kamu gemar ribut di media sosial, kemungkinan besar pikiranmu berada di bawah pengaruh keduanya. Dari sudut pandang neurologi, tiap kali kita berinteraksi dengan komputer yang cukup kuat, otak kita akan terpengaruh. Hal serupa sudah barang tentu tak pernah terjadi dalam percakapan tatap muka, ujar Catherine Steiner-Adair, seorang psikolog dan penulis The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationships in the Digital Age. salah satu satu pengaruh yang paling kentara adalah anjliknya kemampuan kita untuk berempatu, katanya. Patria Wallace, penulis The Psychology of the Internet, punya sebutan untuk fenomena ini: toxic disinhibition. “Ketika orang merasa lebih anonim, lebih berjarak dan tak terlalu harus bertanggung jawab, mereka cenderung mengutarakan pandangan mereka dengan sedikit mencak-mencak dan arogan. Hal ini tak akan mereka lakukan jika bicara langsung dengan lawan bicaranya di dunia nyata,” kata Wallace.
Lalu, pertanyaannya tetap sama: apakah semua ini punya dampak negatif terhadap kesehatan? Alvord mengutarakan bahwa, di level fisik, kita tahu bahwa stres memicu tubuh mengeluarkan hormon cortisol dan secara “kronis kurang bagi kesehatan kita.” Akan tetapi, stres juga sama berbahaya dari sudut pandang psikologi. Debat online bisa mengakibatkan berkurangnya kontrol diri, yang ujung-ujungnya bisa membantu seseorang rendah diri. Alhasil, ini bisa berujung pada lunturnya kepercayaan diri. “Beberapa orang akan terjebak dalam siklus negatif sehingga mereka jadi sangat sedih atau terus gelisah,” imbuhnya.
Frank Farley, seorang psikolog dan profesor di Temple University, mengatakan bahwa riset mengenai kebahagiaan dan kesehatan mengungkap pentingnya sikat positif pada perilaku seseorang. Selain itu, sembari menjelaskan betapa merusaknya negativitas, Farley mengucapkan sebuah kalimat yang sampai kapanpun harus selalu kita ingat, “negativitas kronis dalam tiap interaksi online, seperti halnya negativitas dalam interaksi kita dengan orang lain, bisa jadi semacam antidot terhadap kebahagiaan bagi banyak orang.”
Jadi apakah ada pemecahan yang lebih bijak dan sehat untuk menghadapi tahun baru yang bikin kita gatel bertarung di dunia maya lagu? Saya sih enggak menganjurkan kita semua untuk menjauhi percapakan politik di media sosial karena buktinya ada cara yang produktif dan sehat untuk bicara tentang kancah perpolitikan. Cuma memang, untuk membangun diskusi sehat macam ini, butuh pemikiran yang mendalam, usaha dan kesabaran,
Baca artikel VICE lain yang membahas tentang kesehatan mental
Salah satu opsinya dalah dengan meredam kemarahanmu di ruang privat yang dilindungi password dan mencurahkannya pada orang yang bisa kamu percaya. Opsi lainnya adalah terus waspada dan memerhatikan kata-kata dan pendekatan yang kamu pakai bila memang harus ikut debat online lagi. “Mencak-mencak adalah cara berdebat yang kurang efektif. Menyumpah serapah juga sama. Begitu juga mengobral pendapat yang menyeran karakter seseorang,” ujar Catherine Steiner-Adair, sang psikolog dan penulis itu. “Tujuan kamu harusnya bukan menghancurkan lawan debatmu. Tujuanmu harus memperdalam koneksi dengan masalah yang kamu bahas.”
Selama masa penulisan artikel ini, saya menyadari bahwa saya bercakap-cakap di internet dengan gaya yang tak saya pakai di, katakanlah, warung sebelah rumah saya. Jadi, sesekali cobalah bertanya diri sendiri, utamanya jika sedang berdebat di media sosial, “apakah cara ngomong saya di internet sama seperti cara saya ngomong di tengah pasar yang ramai?”
Selain ada juga saran untuk mengendapkan pikiranmu saat bicara tentang politik. Sebenarnya, cara ini cuma memintahkan strategi deeskalasi di ranah internet: tarik nafas panjang, jalan-jalan sebentar meninggalkan laptop dan kalau perlu tidurlah dulu. Namun, Steiner-Adair menawarkan sebuah opsi yang tak pernah terlintas dalam otak saya. “Kita bisa mengetik lebih cepat dari pikiran kita,” jelasnya. “Dan kita sebenarnya lebih baik dalam hal mengemukakan pikiran jika kita menulis dengan tangan karena kita terlibat perjalanan yang senyap dengan perasaan kita.” sebentar, bukankah ini kedengarannya kurang praktis dan susah dilakukan? Iya dan justru itu pentingnya,
Ada kalanya, lebih berfaedah untuk tidak memancing debat sama sekali dengan siapapun di internet. Salah satu carannya dengan menyalurkan nafsu berdebatmu ke dalam aktivitas di dunia nyata yang lebih bermanfaat seperti ikut kerja bakti, ikut berdemontrasi di jalan, menandatangani petisi protes dan sebagainya. “Gampangnya sih, salurkan kemarahanmu menjadi aksi yang positif,” kata Alvord. “Karena bersikap pasif bikin kita merasa tak berdaya dan ketika kita merasa tak punya harapan dan tak berdaya, kita akan mengalami depresi.:
Kalau diringkas, semua opsi diatas bisa dikerucutkan jadi satu poin: jadilah orang baik di internet, sesuatu yang saya lupakan di satu titik dalam kehidupan digital saya. Maka, sebelum tulisan ini diakhiri, biar saya ingatkan kalian semua: “ digital citizenship” adalah sesuatu yang berharga dan kalau kamu benar-benar peduli dengan kehidupan digitalmu, kamu harus berhati-hati dalam menjalani interaksi online. “Kecerdasan menggunakan gawai,” seperti halnya, kecerdasan emosional adalah hal yang perlu kita miliki. Terkait hal ini Sumerson meringkas kecerdasan menggunakan gawai sebagai “..kemampuan untuk memiliki kesadaran untuk bisa mengatur diri sendiri dalam interaksi dengan orang lain di internet. Kalian tidak mengunggah apapun, merespon apapun dan tidak mengatakan apapun yang terlintas di kepalamu begitu saja.”