Bapak Rumah Tangga

Makin Banyak Cowok Bercita-Cita Jadi Bapak Rumah Tangga

Makin banyak cowok tak lagi malu-malu mengaku ingin jadi bapak rumah tangga. Pakar maskulinitas melihatnya sebagai langkah awal ‘pembebasan’ laki-laki.
Foto ilustrasi bapak-bapak menggandeng anaknya
Foto via Pexels

Suatu ketika muncul di timeline saya, seseorang yang kayaknya cowok mengatakan bahwa dia bercita-cita jadi bapak rumah tangga. Saya menangkap nadanya serius. Gak deh, ini beda dari jokes cringe “cita-citaku jadi polwan”.

Ini bukan pertama kalinya saya mendengar ujaran kayak gitu. Beberapa temanku ada yang pernah mengatakan niatan serupa, dengan harapan di-acc istri-istri mereka. Karena itu saya mengetikkan di kolom search Twitter: “cita-cita bapak rumah tangga”

Iklan

Ternyata hasilnya sangat banyak. Meleset dari dugaanku, celetukan ini sudah muncul di Twitter sejak 2019. Artinya sejak sebelum pandemi dan sebelum kisah Tatsu, yakuza berjulukan ‘Si Naga Abadi’ banting setir jadi bapak rumah tangga, hype karena tayang di Netflix.

Apa itu bapak rumah tangga? Mengapa para pria kini menginginkannya? Apakah ini bentuk baru penindasan perempuan? Sejumlah pertanyaan berkelebat.

Menurut beberapa clue di Twitter, bapak rumah tangga adalah bapak-bapak yang melakukan tugas ibu rumah tangga. Maaf deh kalo definisi ini sama sekali ga membantu, tapi kamu nangkep maksudnya kan. Mereka adalah suami yang tinggal di rumah dan mengerjakan kerjaan rumah tangga atau domestik. Jika sudah punya anak, mereka juga mengasuh anak dengan intens.

Pria yang menjalankan peran seperti itu selalu ada sejak dulu. Sejak kecil kamu pasti pernah melihatnya walau cuma sekali. Dulu mereka adalah sosok anomali di antara bapak-bapak yang jangankan megang anak, anaknya duduk di kelas berapa saja ia tak tahu.

Karena sebelumnya selalu jadi anomali, sampai ada gelombang pria ingin jadi bapak rumah tangga ini patut diabadikan dong. Saya berhasil menemukan dua pria yang sedang melakoni peran bapak rumah tangga. Bersama mereka, saya coba ngulik motivasi pria-pria yang mengoperasikan rumah tangga egaliter.

“Bapak rumah tangga adalah bapak yang terlibat pada pekerjaan rumah tangga. Misal si bapak LDR, terus pas pulang juga nyeterika, nyuci baju, ngasuh anak dalam artian mandiin, nyebokin, itu tetep termasuk ya,” kata Arie Sadhar, pria berusia 36 dari Tangerang Selatan, saat ngobrol bareng VICE.

Iklan

Arie menyebut dirinya bapak rumah tangga, meski ia masih bekerja sebagai PNS sebuah badan di Jakarta. Istrinya berprofesi sebagai apoteker di RS. Menurut Arie sih, mau si bapak kerja apa enggak, selama dia terlibat pekerjaan rumah tangga, ya bapak rumah tangga.  

Arie merasa bener-bener jadi bapak rumah tangga setelah anak pertamanya lahir. Pasalnya pekerjaan rumah jadi makin banyak. “[Saya bisa mengerjakan] semua yang dikerjakan ibunya, kecuali ngasih ASI,” timpal Arie.

Buat membuktikan klaim itu, Arie punya cerita. Ketika virus corona dinyatakan masuk Indonesia, Arie sedang cuti kerja karena menempuh S-2. Pandemi membuatnya kuliah digelar online. Praktis Arie 24 jam di rumah.

Di saat yang sama istri Arie termasuk tenaga kesehatan yang harus datang ke RS tiap hari. Mengingat anak mereka baru berumur 3 tahun dan pandemi sedang menggila, Arie pisah kamar dengan istrinya. Ia kini bukan sekadar 24 jam di rumah, tapi juga harus mengurus anak dan seisi rumah. 

Selama 18 bulan Arie menjadi pengasuh utama anaknya, sementara istri aktif ngantor. Menurutnya sih semua berjalan lancar-lancar aja. 

“Kerja-kerja pengasuhan itu dipelajari dari mana?” saya coba menggali.

“Mungkin dari kemiskinan,” jawab Arie filosofis. “Dipikir-pikir, kalo saya kaya, udah bayar pengasuh terus beres.”

Jadi bapak-bapak ini di-fait accompli keadaan makanya jadi bapak rumah tangga? Kayaknya sih begitu. Soalnya Aries Jundan, 35 tahun, juga gak merasa jadi bapak rumah tangga by cita-cita, melainkan terbentuk keadaan. 

Iklan

Rumah tangga Jundan yang terdiri dari satu bapak, satu ibu, dan satu anak berumur hampir 2 tahun. Ia jadi bapak rumah tangga karena istrinya harus ngantor, sementara pekerjaannya sebagai awak event organizer tidak harus dilakukan tiap hari sehingga waktunya lebih banyak di rumah.

“[Melihat keadaan keluargaku] makanya aku harus bisa berbagi peran atau malah menggantikan peran,” kata Jundan. Sementara itu, ia tak berusaha sibuk di luar rumah karena ingin ada salah satu orang tua yang menemani anaknya sehari-hari.

Urusan mengurus rumah, saya akui Jundan lebih telaten daripada banyak perempuan, membuktikan stigma gender kerap tak relevan.

Jundan adalah orang yang menentukan bagaimana rumah dirawat. Tugas-tugas perawatan itu meliputi: menyapu dua kali sehari, ganti seprai dua kali seminggu, meja dapur dan kompor dibersihkan tiap habis masak, mencabut rumput tiap pagi, dan masih banyak lagi. Ia punya 7 keset yang pasti dicuci dua kali seminggu. Handuk juga harus diganti 2 kali seminggu.

Untuk urusan makan, ia juga tak ambil pusing. “Jaman sekarang juga beda. Kita lebih mudah mendapatkan makanan matang yang sebenarnya tidak mahal-mahal amat. Kita bisa makan bersama modal masak nasi di rumah,” kata bapak satu anak yang tinggal di Sleman.

Saya merasa Jundan memang terlahir untuk jadi bapak rumah tangga saat tahu pekerjaan rumah tangga favoritnya adalah menyeterika pakaian. Ya orang macam ini jelas cuma ada 1:1 juta.

Iklan

“Aku dari dulu kalau cuma bersih-bersih rumah, melakukannya sendiri. Pas aku SD ganti ban truk aja udah bisa,” lontar Jundan enteng.

PXL_20230327_113047835.jpg

Dua kesamaan Arie dan Jundan. Pertama, sukarela jadi bapak rumah tangga untuk mendukung istri tetap leluasa bekerja. Kedua, lingkungan tidak mencemooh mereka hanya karena mengambil peran domestik.

“Malah menurutku yang lucu adalah pernah pas anakku umur 5 bulan, dibawa ke kumpulan suatu keluarga besar, lalu aku gantiin popoknya, malah dipuji-puji sama ibu-ibu. Lah dipuji karena mengganti pokok anak sendiri itu apaan, hahaha.”

“Ternyata karena bapak-bapak di sana tidak ada yang pernah begitu,” tutur Arie.

Pakar gender dan maskulinitas Nur Hasyim menilai tren bapak rumah tangga sebagai fenomena positif. Tren semacam ini bukan cuma membuat pria tak lagi terpenjara peran gender tradisional, tapi juga memperkuat ketahanan rumah tangga.

“Praktik baru laki-laki [men’s practices] ini penting banget untuk menormalkan laki-laki yang mengambil peran dan tanggung jawab di luar mainstream. Normalisasi ini penting untuk memberi value pada laki-laki yang selama ini mengambil peran itu, tetapi direndahkan sehingga mereka, misalnya, tidak terbuka terhadap perannya atau menyembunyikan perannya,” papar penulis buku Good Boys Doing Feminism itu saat dihubungi VICE.

Iklan

“Ketika praktik baru itu dinormalkan, dia akan menjadi kebiasaan baru yang dalam bayangan saya, akan melahirkan norma sosial baru yang lebih akomodatif terhadap laki-laki yang berperan sebagai bapak rumah tangga.”

Peran gender yang tidak kaku antara laki-laki dan perempuan membuat rumah tangga lebih adaptif pada perubahan, ujar Nur Hasyim.

“Misalnya mulanya suami yang bekerja mencari nafkah,” ia memberi contoh. “Lalu istrinya mendapatkan beasiswa untuk S-3 keluar negeri. Sementara sudah punya anak. Hal itu memaksa keluarga itu untuk migrasi ke tempat istri mengambil studi. Nah, karena istri studi kan otomatis pekerjaan keluarga dan pengasuhan mesti ada yang mengambil alih tanggung jawab. Kalau keluarga itu tidak lagi membuat peran suami istri kaku kan mudah aja beradaptasi dengan situasi itu.”

Ketahanan keluarga buah dari berbagi peran gender juga bisa dirasakan saat krisis ekonomi. “Ini juga cerita tahun 1998. Banyak ibu-ibu yang untuk menjaga keluarga tetap hidup, mencari income dengan berdagang,” kata Nur Hasyim.

Namun, aktivis perempuan Kalis Mardiasih melihat sisi lain pembicaraan tentang bapak rumah tangga di medsos. Bapak rumah tangga dipotret sebagai suami pengangguran yang tidak berinisiatif mengambil peran domestik, padahal istri sibuk mencari nafkah. Potret ini, menurut Kalis, membuat embel-embel ‘bapak rumah tangga’ jadi ironis. 

"Entah kenapa istilah bapak rumah tangga ini diilustrasikan sebagai sebuah peran anekdotal seorang laki-laki yang tidak sibuk, tidak memiliki akses kepada penghasilan. Padahal, untuk gender yang berlawanan yaitu perempuan, peran ibu rumah tangga adalah peran yang sama sekali tidak ringan,” papar Kalis kepada VICE.

Iklan

“Pertama sekali, fungsi reproduksi biologis–hamil, melahirkan, menyusui–otomatis melekat kepada tubuh perempuan, dan hal tersebut tidak dapat dipertukarkan dengan tubuh laki-laki. Kedua, istilah ‘ibu rumah tangga’ yang dibayangkan tidak ngapa-ngapain sesungguhnya juga mitos yang perlu dibongkar. Seorang ibu hari ini juga banyak melakukan produksi ekonomi dari rumah, tetap melakukan peran sosial seperti mengelola kegiatan PKK dan sesederhana kesepakatan-kesepakatan dalam grup WA sekolah anak. Jadi, bapak rumah tangga seperti apa yang dimaksud di medsos?”

Menurut Nur Hasyim, potret anekdotal istri buruh suami nganggur seperti di meme ini adalah imbas dari norma sosial yang sekarang berlaku.

“Kenapa ketika istrinya jadi TKW atau jadi buruh, suaminya tetap melakukan ‘pekerjaan laki-laki’ dan tidak menyentuh pekerjaan domestik dan pengasuhan anak? Karena laki-laki melakukan pekerjaan domestik dan pengasuhan dianggap sebagai bukan kelaziman. Laki-laki melakukan ‘pekerjaan laki-laki’ agar mereka tidak mendapatkan sanksi sosial karena dianggap sebagai laki-laki yang tidak menjalankan peran yang seharusnya secara sosial. Itu masalahnya,” Nur Hasyim mengatakan.

“Itulah kenapa normalisasi itu menjadi penting, karena itu akan membuat suami yang istrinya menjadi buruh, bisa melakukan pekerjaan domestik dan menjadi bapak rumah tangga. Dia bisa merasa bernilai sebagai laki-laki, dengan melakukan pekerjaan tersebut, karena itu pekerjaan yang normal,” lanjutnya.

Iklan

Normalisasi itu suatu kali saya lihat di postingan Alit Jabangbayi, MC kondang asal Yogyakarta. “Cowok kok rajin, cocok jadi suaminya wanita karier,” demikian bunyi twitnya yang bikin saya ngakak. Twit itu menyertai video Alit sedang menyapu halaman.

Ia juga mengupload beberapa video lain tentang aktivitasnya di rumah hari itu. Selepas menyapu, lalu menjemur pakaian. Agak siangan, pakaian diangkat. Menjelang sore, menyapu halaman lagi. Jika saat nyapu di pagi hari, satu tangannya di belakang pinggang. Di sore hari satu tangan diangkat tinggi-tinggi biar ga dikira menggendong tuyul.

Buatku sebagai perempuan, apa yang Alit unggah adalah pemandangan indah. Gimana ga indah melihat laki-laki (juga perempuan) bisa melakukan kehendak baik mereka tanpa dikungkung ‘boleh’ dan ‘tidak boleh’?

Sayangnya, di Twitter pula lah tiap hari kamu masih melihat peran gender tradisional masih dipertahankan sedemikian rupa. Opini jelek ‘feminis coba angkat galon’ masih berseliweran di mana-mana.

Sewaktu anak mereka masih berusia beberapa bulan, istri Jundan sempat bekerja di kabupaten tetangga. Saat-saat itu, adalah hal biasa mendapati Jundan di rumah sedang menggendong bayi sambil mencuci pakaian. Ini refleksinya sebagai bapak rumah tangga.

“Pekerjaan rumah tangga itu bukannya ringan. Berat, karena perlu dipikirkan. Kamu harus membagi waktu. Misal, anak makan jam berapa, mandi jam berapa, kan belum tentu dia mau ngikuti jadwal tersebut. Artinya kamu harus menggeser urutan pekerjaan. Itu kan harus dipikirkan.”

Dari Jundan, saya mendapat banyak sekali tips melakukan pekerjaan rumah tangga. Untuk merawat mesin cuci, seminggu sekali jalankan dengan hanya berisi air, tanpa pakaian. Sunlight adalah sabun terbaik untuk mencuci dan membersihkan kompor karena paling cepat mengangkat minyak. Jemur pakaian dengan urutan: pakaian paling berat diletakkan paling dekat sinar matahari. Dan seabrek tips lain.

“Ada ga keuntungan pribadi dengan kamu bisa melakukan semua pekerjaan rumah?”

“Aku jadi bisa melakukan segalanya. Aku tuh cuma ga pinter nyari duit,” jawab Jundan sambil tertawa.