Temuan Prasejarah

Lukisan Gua Tertua Sedunia Ditemukan di Sulawesi, Bukti Majunya Kawasan Itu di Masa Lalu

Penelitian terbaru menaksir usia minimal lukisan di Leang Tedongnge, Maros, mencapai 45.500 tahun. Ada potensi seni cadas lebih tua ditemukan dari kawasan yang sama.
Lukisan gua tertua sedunia ditemukan di Leang Tedongnge Sulawesi Selatan bergambar babi rusa
Lukisan gua menggambarkan babi rusa berusia 45.500 tahun ditemukan di Maros, Sulawesi Selatan. Foto dari arsip Maxime Aubert/Griffith University/via AFP

Tim arkeolog gabungan dari Griffith University di Australia, yang bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin serta Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, menemukan lukisan gua tertua di dunia. Lukisan itu berada dalam gua Leang Tedongnge, di perbukitan Kabupaten Maros. Temuan tersebut telah dipublikasikan di Jurnal Science Advance, pada 13 Januari 2021.

Iklan

Menggunakan metode penanggalan isotop seri uranium dari endapan kalsit di permukaan lukisan, diperkirakan usianya minimal 45.500 tahun. “Bisa jadi [usia lukisan gua ini] lebih tua karena uji penanggalan yang kami lakukan hanya dari kalsit di atasnya," kata Maxime Aubert, salah satu anggota tim peneliti yang turut menulis laporan tersebut, dikutip dari the Guardian.

Lukisan di Leang Tedongnge berukuran panjang 136 cm, dengan lebar 54 cm, menggambarkan seekor babi rusa, hewan endemik dari kawasan Sulawesi. Berdasar kesimpulan para peneliti di Griffith University, babi tersebut tampaknya digambarkan sedang mengamati pertarungan dua babi lain.

Temuan ini diumumkan berselang setahun, setelah akhir 2019 lukisan gua yang tak kalah tua—ditaksir berusia 44 ribu tahun—ditemukan di Leang Bulu’ Sipong 4. Untuk Leang Bulu’ Sipong, gambar yang nampak adalah anoa tengah diburu beberapa manusia. Kedua seni cadas yang memikat arkeolog seluruh dunia ini sama-sama berada di kawasan Maros, Sulsel.

Merujuk data pemerintah daerah, berbagai penelitian arkeologi selama satu dekade terakhir mencatatkan 400-an gua dengan lukisan purba di sekitar Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Sulawesi Barat. Sudah ada 12 seni cadas (rock art) dari berbagai kawasan Sulawesi itu yang selesai diuji ilmuwan dengan metode carbon dating, menghasilkan rentang usia antara 17.000 tahun hingga 45.500 tahun. Sementara belasan lainnya masih menunggu hasil uji laboratorium.

Iklan

“Sehingga sangat mungkin dimumkan lagi kelak, atau malah lusa, kalau ada [lukisan gua lain] yang ternyata lebih tua menurut alat uji carbon dating,” kata La Ode Muhammad Aksa, selaku Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel kepada VICE. “Berbagai temuan rock art di kawasan kerja yang kami awasi berpotensi [lebih tua].”

Selain lukisan babi rusa, ada juga cap tangan yang ditemukan di Leang Tedongnge, metode yang lazim dilakukan manusia prasejarah pada masa itu untuk menghiasi dinding gua. Menurut guru besar ilmu arkeologi dari Universitas Indonesia Cecep Eka Permana, saat dihubungi VICE, lukisan-lukisan dari kawasan Maros merupakan ekspresi spiritualitas para penghuni gua.

“Manusia penghuni gua itu membuat upacara peniruan, menggambarkan hewan yang akan diburu, lalu dia melakukan ritual tertentu dengan harapan perburuan nantinya berhasil mendapat hewan seperti itu juga,” urai Cecep. Tema senada muncul dari ratusan lukisan gua lain yang pernah diteliti Cecep, dengan usia ribuan tahun lebih muda di Sulawesi Tenggara, Maluku, hingga Papua Barat.

“Itu sebabnya gambar hewan tidak proporsional, karena yang dipentingkan adalah bagian tubuh yang diharapkan bisa diperoleh [saat berburu]. Seperti lukisan anoa di Leang Bulu’ Sipong, karakter [gambar di Leang Tedongnge] sama, badan babinya paling besar, itu menggambarkan daging. Sementara kaki-kakinya dilukis kecil saja karena itu bukan yang diutamakan,” imbuh Cecep.

Iklan

Perlu dicatat, lukisan di Leang Tedongnge adalah yang tertua sejauh ini untuk kategori karya seni buatan homo sapiens, menggambarkan sosok mahluk dan fenomena alam. Namun jika kriterianya diperluas, ada coretan abstrak dinding gua di Afrika Selatan dari masa 73 ribu tahun lalu, yang menurut BBC masih mencatatkan rekor sebagai gambar tertua di dunia.

Kawasan Maros, dan Pulau Sulawesi pada umumnya, memiliki banyak gugusan Karst. Sejak masa lebih dari 70 ribu tahun lalu, di Sulawesi terdapat banyak pegunungan, tanah yang relatif subur, serta tersedia berbagai sumber daya untuk mendukung kehidupan. Itu sebabnya berbagai satwa hidup di kawasan ini, selanjutnya mengundang migrasi manusia ke wilayah yang kerap disebut Wallacean itu, lantaran sempat menghubungkan benua Asia dan Australia.

Cecep menjelaskan, dari bukti-bukti arkeologis yang diperoleh sejauh ini, bisa dibuat hipotesis bahwa permukiman manusia dari gua-gua kawasan Maros cukup maju pada zamannya. Tradisi lukisan gua oleh manusia prasejarah, dari pantauan arkeolog, mulai muncul sepanjang kurun 70 ribu hingga 40 ribu tahun lalu. Seni cap tangan di dinding gua turut muncul di kurun yang sama, baik itu di Eropa, Asia, hingga Afrika.

Iklan
Untitled design - 2021-01-15T163933.657.png

Gua Leang Tedongnge, yang menjadi lokasi penemuan lukisan tertua sedunia. Foto dari arsip Maxime Aubert/Griffith University

Hal yang cukup istimewa dari lukisan-lukisan gua kawasan Sulawesi, adalah kemampuan penggambaran anatomi binatang yang sudah detail oleh pembuatnya. Peneliti tidak kesulitan mengidentifikasi bahwa binatang yang digambar adalah anoa atau babi rusa. Hal itu menurut Cecep menandakan para manusia penghuni gua di Maros punya peradaban yang mapan, kecukupan nutrisi, mulai memiliki sistem religi, dan pada akhirnya kecakapan seni mumpuni.

“[Temuan di Maros] menunjukkan bagaimana dalam konteks peradaban seni masa lalu, wilayah Indonesia itu tidak kalah dari wilayah-wilayah dunia lain,” ujar Cecep. “Kawasan itu merupakan pusat peradaban prasejarah.”

Temuan di Leang Tedongnge sekaligus berpotensi menjelaskan pola migrasi manusia kawasan Austronesia puluhan ribu tahun lalu. Data analisis DNA dari Lembaga Eijkman menunjukkan homo sapiens sampai di kawasan nusantara sekitar 75 ribu tahun lalu. Sementara lukisan Leang Tedongnge dibuat puluhan ribu tahun sesudahnya.

Adapun tim peneliti dari Griffith akan mengupayakan uji DNA lebih lanjut dari sisa air ludah, yang kemungkinan masih tertempel di cat lukisan gua Maros. Sebab, untuk membuat gambar itu, si pelukis perlu menyemburkan pewarna dari mulut ke tangan yang menempel di dinding gua. Jika metode analisis itu berhasil, bisa dipetakan lebih lanjut etnis para manusia yang hidup di kawasan gugusan karst Sulawesi.

Cecep berharap temuan penting di Maros ini dapat mendorong pemerintah mengupayakan pembentukan laboratorium uji penanggalan radiokarbon mandiri di dalam negeri, melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional. Harapannya arkeolog dalam negeri tidak selalu bergantung pada teknologi laboratorium mancanegara. Apalagi di Indonesia ada lebih dari 200-an gua dengan lukisan purba di dalamnya, yang berpotensi menyimpan data arkeologis tak kalah penting serta menarik.

“Leang Tedongnge ini termasuk gua terbaru dari gua-gua yang pernah diteliti arkeolog di Indonesia. Dan dua lukisan yang kini usianya tertua itu baru di Maros saja. Belum lagi di tempat lain. Saya pikir masih banyak potensi lukisan gua yang bisa diteliti,” kata Cecep.

Saat ini Leang Tedongnge dan Leang Bulu’ Sipong 4 sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya nasional. Aksa menyatakan status sebagai cagar budaya dapat mengamankan lokasi situs tersebut untuk kebutuhan penelitian hingga pariwisata di masa mendatang.

“Kami sudah ada bantuan masyarakat sekitar, yang diangkat menjadi tenaga honorer untuk menjaga gua yang berlukis,” tuturnya.