Opini

Wabah Coronavirus Memicu Tudingan Rasis Soal Kuliner Tiongkok

Selera makan orang Cina dipermasalahkan oleh banyak orang sebagai pemicu merebaknya wabah mematikan dari Wuhan. Padahal daging eksotis disantap di banyak negara.
Bettina Makalintal
Brooklyn, US
Wabah Coronavirus Memicu Tudingan Rasis Soal Kuliner Tiongkok
Foto oleh Anthony Kwan via Getty Images 

Wabah coronavirus kini telah dinyatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai ancaman kesehatan global, selepas data terbaru menunjukkan lebih dari 200 orang tewas, sementara penularan mencapai lebih dari 8.000 kasus di 21 negara. Mayoritas kasus penularan dan kematian akibat gangguan pernapasan akut itu terjadi di Tiongkok. Meskipun penyebab awal munculnya virus corona belum bisa sepenuhnya dipastikan ilmuwan, pemberitaan media seperti dari the Guardian, the New York Times, dan the Wall Street Journal mengindikasikan bila lokasi awal penularan adalah pasar daging di Wuhan, yang menjual bermacam binatang eksotis.

Iklan

Seperti dikutip dari Wall Street Journal, pasien yang diduga kuat jadi penderita coronavirus pertama adalah beberapa pedagang kios daging. Binatang yang dijual di pasar itu memang tidak lazim dimakan, misalnya tikus sawah, bayi buaya, hingga landak. "Pasar itu menyediakan daging mentah serta binatang eksotis yang masih hidup," seperti dikutip dari laporan tersebut,

Framing pemberitaan itu, secara tidak langsung, menyalahkan pola konsumsi daging orang Tiongkok sebagai biang kerok munculnya wabah coronavirus. Sepekan terakhir, meme dan tudingan rasis soal kuliner Tiongkok, yang terkenal mengonsumsi bermacam daging di luar babi, sapi, dan ayam, tersebar luas.

Lelucon, meme, maupun tudingan-tudingan di internet itu bisa dibilang rasisme terselubung yang menghidupkan lagi pandangan sesat soal budaya Tiongkok. Khususnya di negara Barat, orang Asia—terkhusus Cina—sering dipandang sebagai "bangsa jorok". Lihat saja artikel yang ditulis James Palmer di Foreign Policy, yang menunjukkan media massa AS seringkali menyebut orang Tionghoa sebagai "manusia jorok pembawa penyakit." Kliping artikel yang terbit pada 1854 dari New York Daily Tribune turut menuding bahwa orang Tionghoa "masih belum beradab dan gaya hidupnya kotor" tanpa ada pembuktian lebih lanjut. Rupanya, stereotipe rasis itu terus bertahan di alam bawah sadar orang sampai sekarang.

Persepsi negatif itu bahkan memicu hoax. Pekan lalu, di Internet tersebar video influencer asal Cina, bernama Wang Mengyun, yang sedang menikmati sup daging kelelawar. Video itu diunggah lagi oleh beberapa akun, lalu diberi keterangan keliru kalau kejadiannya di pasar daging Wuhan. Faktanya, Mengyun memakan sup kelelawar di Palau, negara kepulauan di Samudra Pasifik, dekat Filipina. Video aslinya pun tayang empat tahun lalu. Mengyun mengalami bullying online sampai disuruh bunuh diri dan diangga penular wabah, hanya karena ilmuwan menduga coronavirus kali ini berasal dari kelelawar, seperti wabah SARS dan MERS.

Iklan

Komentar-komentar rasis dalam Bahasa Inggris kini juga menghiasi berbagai video mukbang, yang tidak selalu berasal dari Tiongkok. Asal makanan yang disajikan berupa daging eksotis, selalu ada komentator yang menyebutnya sebagai pemicu coronavirus. "Makanya kalian orang Asia mati kena wabah, lihat saja makanannya," demikian contoh komentar template yang bermunculan.

Tragisnya, beberapa komentar rasis turut menyasar kuliner eksotis yang sebenarnya banyak dinikmati negara selain Tiongkok. Contohnya, thread rasis yang mengkritik video perempuan Cina menyantap kerang geoduck, yang bentuknya seperti penis. Banyak netizen mengatakan bahwa "orang Cina kena karma karena makan hewan aneh seperti itu," atau "mereka sekarang tahu rasa karena tidak pilih-pilih makanan."

Faktanya, kerang geoduck disajikan di berbagai restoran yang meraih bintang Michelin, seperti Le Bernardin atau Atelier Crenn di Prancis. Komen-komen rasis itu nyatanya tidak muncul ketika BPOM Amerika Serikat beberapa tahun lalu mengumumkan sebagian jenis selada berisiko menyebarkan bakteri E.coli yang memicu muntaber. Plus, ketika yang makan daging-daging eksotis itu orang kulit putih atau yang bukan Tionghoa, komentar rasis serupa tidak ditemukan sampai sekarang. Padahal chef kondang Andrew Zimmern pernah makan kelelawar juga dalam satu episode acara TV Bizarre Foods.



Pola makan bangsa Tionghoa yang memicu kekerasan terhadap binatang, seperti terjadi di pasar Yulin, memang patut dikritisi. Tapi, kita harus bisa bersikap dewasa dan tidak menggeneralisir bahwa kuliner jadi satu-satunya penyebab wabah mematikan coronavirus tersebar. Ada banyak negara yang memiliki tradisi kuliner ekstrem menyantap biawak, buaya, trenggiling, hingga anjing. Uniknya, kini seakan-akan yang patut disalahkan hanyalah orang Cina saja.

Iklan

Lucunya lagi, mayoritas penyakit yang mematikan di dunia ini "tersebar" justru bukan dari daging eksotis, melainkan dari kandungannya yang tidak menyehatkan. Lihat saja diabetes atau serangan jatung, faktor kematian terbesar di banyak negara, yang seringkali dipicu kebiasaan orang makan produk pangan dengan kandungan gula tinggi atau bahan kimia pengawet.

Jadi akui saja, kalian kini mengomentari pola makan orang Tiongkok bukan karena peduli dengan coronavirus, tapi memang ingin melampiaskan prasangka rasis soal tradisi kuliner mereka. Termasuk juga memang, kalian ingin menganggap budaya Cina terbelakang. Ketika kalian konsisten mengecam praktik makan daging eksotis, aneh saja jika kalian tidak merasa bermasalah melihat orang makan sapi dan kambing. Sementara alasan anjing atau kelelawar tidak dimakan, sepenuhnya karena konsensus budaya.

Awalnya memang hanya meme atau lelucon soal makanan Tiongkok. Tapi ketika itu tertanam di alam bawah sadar, rasisme itu menjadi kebijakan diskriminatif di dunia nyata. Lihat saja kebencian luar biasa orang Indonesia yang muncul seiring tagar menolak turis Cina di Twitter, atau tindakan seorang pemilik toko di Jepang melarang turis Cina mampir. Komentar pengguna forum Reddit agar Kota Wuhan dinuklir saja sekarang dianggap lelucon. Tapi, dalam hati, siapa yang bisa menjamin tak banyak orang menyetujui opsi tak berperikemanusiaan tersebut.

Berhati-hati untuk mencegah penularan wabah penyakit bukanlah lampu hijau untuk bersikap rasis terhadap budaya orang lain, sebelum kalian sendiri berkaca apakah layak menyampaikannya.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES