Politik

Keluarga Veronica Koman Diteror Petasan, Koalisi LSM Desak Polisi Tangkap Pelaku

Serangan beruntun ke rumah kerabat dan orang tua Veronica Koman terjadi sejak 24 Oktober 2021. Polisi meyakini teror itu diyakini karena aktivisme Veronica menyorot isu HAM di Papua.
Rumah Keluarga Veronica Koman Diteror Petasan, Koalisi Sipil Desak Polisi Kejar Pelaku
Veronica Koman saat diwawancarai VICE. Foto dari arsip VICE

Pada Minggu (7/11) dilaporkan terdengar suara ledakan dekat kediaman orang tua aktivis hak asasi manusia Veronica Koman, yang dikenal vokal menyorot isu-isu Papua. Insiden di Grogol Petamburan, Jakarta Barat itu telah diperiksa aparat yang menggelar olah TKP.

Dari kesimpulan aparat, rumah yang dipastikan milik orang tua Veronica Koman itu diserang dengan petasan berukuran besar. Kompas.com melaporkan bahwa ada secarik pesan berisi ancaman di lokasi kejadian. Isi pesan tersebut mendesak polisi agar cepat menangkap Veronica, yang dianggap mendukung gerakan separatis di Papua, atau pelaku bakal “membumihanguskan” semua pihak yang dianggap melindungi sang aktivis HAM.

Iklan

Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo, dalam jumpa pers Senin (8/11), menyatakan pelempar petasan sudah terindentifikasi dari rekaman CCTV. Pelaku terdiri dari dua orang yang berboncengan naik sepeda motor.

Saat dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Polri, Kombes Aswin Siregar menyatakan serangan petasan ke rumah orang tua Veronica Koman terkait aktivisme perempuan 33 tahun itu mengangkat berbagai isu di Papua.

“Diperkirakan merupakan bentuk ancaman terhadap penghuni rumah terkait tindakan-tindakan Veronica Koman," kata Aswin, seperti dilansir CNN Indonesia.

Koalisi Sipil, yang terdiri dari perkumpulan lembaga swadaya masyarakat serta organisasi pemantau isu HAM, mengecam teror terhadap keluarga Veronica Koman. Koalisi Sipil, diwakili Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International Indonesia, mendesak polisi serius memburu dan menangkap pelaku pelempar petasan.

“Kami mendesak kepada pemerintah bisa menemukan pelakunya, dan mengajukan pelakunnya ke pengadilan," kata Usman dalam konferensi pers yang digelar via streaming, Senin (8/11).

Menurut catatan Koalisi Sipil, teror terhadap keluarga Veronica sudah rutin terjadi setelah sang pengacara mulai rutin menyorot isu-isu Papua. Namun, skala serangannya meningkat terutama sejak 24 Oktober 2021. Seperti dikutip Tempo, Usman menyatakan telah terjadi tiga serangan di rumah-rumah yang dihuni kerabat maupun orang tua Veronica, yang semuanya terjadi di hari minggu, pukul 10 pagi. Jenis teror itu mencakup paket yang membakar pagar, bangkai ayam, hingga petasan yang mencipratkan cat warna merah.

Iklan

“Serangan ini dalam pandangan kami adalah serangan terhadap kerja-kerja seorang pengacara hak asasi manusia, terlebih anggota dari perhimpunan advokat Indonesia atau Peradi dan dia banyak berperan sebelumnya sebagai pengacara dari aliansi mahasiswa Papua," tandas Usman. “Sangat mungkin eskalasi [teror] itu bisa mematikan.”

Veronica mulai rutin berurusan dengan polisi dan netizen sayap kanan, setelah mengunggah banyak video seputar unjuk rasa warga di Manokwari, Merauke, serta Jayapura sepanjang Agustus 2019. Gelombang unjuk rasa kala itu muncul spontan merespons kekerasan, serta ucapan rasis, yang dilakukan aparat terhadap penghuni asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Polisi lantas menilai Veronica melakukan penghasutan dan menyebar kabar bohong lewat media sosial, sehingga dia dijerat dengan UU ITE. Pengacara yang pernah aktif di LBH Jakarta itu tidak datang saat dipanggil beberapa kali oleh kepolisian, sehingga pada 20 September 2019 muncul statusnya sebagai DPO yang diteruskan ke Interpol.

Polisi turut mengajukan permintaan pencabutan paspor Veronica ke Ditjen Imigrasi serta membekukan rekening bank miliknya di Tanah Air. Sampai sekarang, status Veronica adalah buronan kepolisian Indonesia. Veronica kini bermukim di Australia.

Saat diwawancarai VICE beberapa bulan lalu, Veronica mengaku teror sudah rutin dia alami selama mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Dia mengaku sering menerima ancaman pembunuhan atau diperkosa, serta menjadi sasaran misinformasi online.