Fatwa Haram

PWNU Jatim Rilis Fatwa Haram Jual-Beli Mata Uang Kripto, Termasuk Bitcoin

Ketidakpastian harga dan ditemukannya unsur penipuan di platform trading mendorong PWNU Jatim menerbitkan fatwa haram. Tidak semua pemain kripto sepakat dengan keputusan ini.
PWNU Jatim Rilis Fatwa Haram Jual-Beli Bitcoin dan Mata Uang Kripto Sejenis
Foto ilustrasi aktivitas trading bitcoin via Getty Images

Mata uang kripto, atau cryptocurrency, haram dijadikan alat transaksi bagi umat Islam. Keputusan ini baru saja diambil Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dalam sidang bahtsul masail di kantor PWNU Jatim, Minggu (24/10). Dalam musyawarah sebelum mencapai fatwa ini, NU Jatim mengaku telah mendatangkan “tim ahli cryptocurrency” guna menjelaskan mekanisme praktik yang tengah populer jadi ajang investasi publik tersebut.

Iklan

“Para peserta bahtsul masail memiliki pandangan bahwa meskipun kripto telah diakui oleh pemerintah sebagai bahan komoditi, tetap tidak bisa dilegalkan secara syariat,” ujar Kiai Azizi Chasbullah yang menjadi mushahih atau pengesah fatwa dalam forum tersebut, seperti dilansir NU Jatim. Mata uang kripto juga disebut tidak mendatangkan “manfaat syariat” seperti yang dijelaskan kitab-kitab fiqih. “Atas beberapa pertimbangan, di antaranya adalah akan adanya penipuan di dalamnya, maka dihukumi haram.”

Mengenai halal-haramnya kripto sudah lama menjadi perhatian organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut, khususnya perihal ketidakpastian yang dihadapi para pemainnya. Pada Juni 2021, Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, meminta pemerintah melakukan intervensi dengan membuat regulasi, agar ketidakpastian dalam transaksi kripto diminimalisir.

“Karena dia [mata uang kripto] kekayaan, maka sah dipertukarkan sepanjang tidak terjadi gharar [ketidakpastian]. Sifat dari gharar ini debatable, ini karena orang melihat dari sudut pandang masing-masing. Meski demikian, para ulama bahtsul masail sepakat bahwa transaksi kripto harus tidak ada gharar,” ujar Yenny, Juni lalu.

Iklan

VICE menghubungi Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira untuk meminta penjelasan mengenai ketidakpastian yang dimaksud Yenny. Bima menyebut, ini karena nilai tukar mata uang kripto sangat spekulatif.

“Karena underlying [dasar penentuan nilai] kripto bukan berasal dari aset fisik dan nilainya terlalu fluktuatif sehingga dianggap spekulasi dibanding mata uang yang stabil. Pemerintah juga dianggap [NU] tidak memiliki peran dalam menstabilkan harga kripto,” kata Bhima kepada VICE. Aset fisik sebagai underlying inilah pembeda antara kripto dan saham. “Kalau saham, ada laporan keuangan dan aktivitas perusahaannya [yang jadi dasar pergerakan nilai].”

Popularitas jual-beli mata uang kripto di Indonesia meroket selama pandemi. Juni lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi melaporkan transaksi kripto mencapai Rp370 triliun pada Mei 2021, naik lima kali lipat dibanding akhir 2020 yang “hanya” Rp65 triliun.

“Kami melihat pertumbuhan aset kripto itu sangat tinggi. Jumlah pemain pada 2020 sekitar 4 juta orang. Pada akhir Mei 2021, sudah tumbuh lebih dari 50 persen menjadi 6,5 juta orang,” kata Lutfi dalam webinar Kompas Talks: Mengelola Demam Aset Kripto.

Fatwa haram dari NU Jatim ini segera jadi perhatian, terutama bagi muslim yang sudah berkecimpung dalam dunia mata uang kripto. Misalnya, di Twitter, pendiri KawalCovid Ainun Najib mengumumkan dirinya akan berhenti dari praktik jual-beli kripto.

Iklan

Namun, tidak semua muslim memutuskan hal serupa. Rian*, pedagang mata uang kripto di Surakarta, mengaku penasaran terkait siapa tim ahli mata uang kripto yang disebut NU Jatim.

“Kok bisa berkesimpulan pada penipuan? Menurutku, kesimpulan begitu mungkin didapat dari trading kripto yang memang spekulan kayak judi. Kalau di alt coin [sebutan untuk mata uang kripto dengan kapitalisasi pasar kecil], emang banyak developer yang tidak bertanggung jawab,” ujar pemuda 28 tahun tersebut kepada VICE.

Meski difatwa haram, Rian mengaku tidak akan buru-buru melego koin kripto miliknya. “Tidak [akan kujual], karena niatku membeli kripto adalah agar tidak bergantung pada fiat money [mata uang sah yang dikeluarkan negara].”

Lain halnya dengan Fikri*, pemuda 27 tahun domisili Jakarta. Kepada VICE, ia mengaku memaklumi mengapa fatwa haram ini dibuat. “Soalnya emang rada ajaib. Misalnya kalau saham, kan ada alasan jelas dan fundamental gitu kenapa saham di sana naik, kayak perusahaan tersebut baru dapat sesuatu yang baik, seperti investor baru atau teknologi baru. Nah, beberapa kripto nih kadang enggak perlu fundamental, tapi jadi mainan pemain besar yang bisa seenaknya naik-turunin harga. Jadi, kayak judi sih,” cerita Fikri kepada VICE.

Fikri memang memperlakukan mata uang kripto sebagai trading asset—dijual-beli secara cepat untuk mencari untung, bukan sebagai alat investasi panjang. Ia mengaku pernah bertransaksi hampir semua jenis mata uang kripto, seperti BitCoin, Ethereum, Doge, Shiba Inu, dan Axie Infinity. Setiap hari, Fikri rutin trading, bahkan sampai ikut kelas khusus.

Doi mengaku pernah ketiban untung mengubah Rp500 ribu menjadi Rp5 juta hanya dalam waktu sehari. “Gue bisa menerima [rasionalisasi atas] fatwa [NU], tapi tentu gue bakalan tetap main. Soalnya sebagai instrumen investasi, ada beberapa koin yang emang bagus. Lumayan buat nyari pemasukan sampingan. Asal emosi bisa diatur serta enggak serakah, sebenarnya [investasi kripto] menjanjikan.”