Politik

Jubir Presiden Jokowi Minta Masyarakat Maklum Bila Pemerintah Pakai Jasa Influencer

Pernyataan ini disampaikan Fadjroel Rachman lewat rilis media yang ruwet dan membingungkan. Menurut netizen, kayaknya jubir presiden sekarang butuh jubir sendiri deh.
Fradjroel Rachman Jubir Presiden Jokowi minta masyarakat maklumi kebijakan pemerintah sewa jasa influencer
Presiden Joko Widodo berpose bersama anggota Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara pada 23 Oktober 2019. Foto oleh Adek Berry/AFP

Pada 31 Agustus 2020, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman tiba-tiba mengeluarkan rilis pers atas namanya sendiri. Isinya membela hobi baru pemerintah menggunakan influencer dan buzzer dengan menyebut key opinion leader atau influencer sebagai aktor penting dalam demokrasi digital.

Semoga kami enggak salah tangkap mengingat orang lain banyak yang ngeluh enggak ngerti Fadjroel nulis apaan.

Tentu orang jadi bertanya-tanya, apa relevansi jubir presiden yang notabene perpanjangan lidah presiden, sampai harus perlu bikin pernyataan atas nama diri sendiri? Kapasitas Fadjroel sebagai jubir juga jadi diragukan melihat tatanan kalimatnya yang ribet dan susah dicerna.

Iklan

Misalnya dengan berulang kali memakai kata digital dalam istilah “transformasi digital”, “aktor digital”, “demokrasi digital”, dan “masyarakat digital”. Hmmm, setelah milenial dan new normal, agaknya digital jadi kata favorit baru pemerintah. 

Sontak, jagat Twitter langsung merespons pernyataan jubir dengan olok-olokan yang sungguh kocak.

 Selain jadi bahan lelucon, enggak sedikit juga yang mengkritik keputusan jubir bikin pernyataan tersebut. Salah satu yang menarik: kayaknya jubir perlu jubir deh untuk ngebantu kerjaannya.

Rilis Fadjroel Rachman bisa jadi adalah respons pemerintah atas temuan Indonesian Corruption Watch (ICW). Pemerintah panen kritik setelah ICW memperkirakan, sejak 2017 pemerintah sudah menghabiskan Rp90,45 miliar untuk membayar jasa influencer.

“Kata kunci yang penting disoroti adalah influencer dan key opinion leader. Ditemukan 40 paket pengadaan dengan dua kata kunci tersebut. Jumlah anggaran belanja untuk influencer mencapai Rp90,45 miliar. Anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017,” kata peneliti ICW Egi Primayogha pada 20 Agustus lalu, dilansir Detik. Ia juga mengatakan, dua kata kunci tersebut tak bisa ditemukan di tahun 2016 ke belakang. Artinya, ini tren baru.

Di antara lembaga pemerintah yang berpengalaman memakai jasa pemengaruh, Kementerian Pariwisata menjadi pengguna tersering dengan nilai belanja sebesar Rp77,66 miliar. Di bawahnya ada Kemdikbud yang sudah membelanjakan Rp1,6 miliar.

Iklan

Pemerintah buka lahan pekerjaan untuk influencer kok dianggap enggak etis ya? Jika ada yang bertanya demikian, jawabannya karena influencer enggak cuma sosialisasi kebijakan pemerintah, tapi juga mempromosikannya.

Padahal ada kasus, satu kebijakan ditentang masyarakat karena dianggap merugikan. Dengan memakai influencer, bukannya mendengar aspirasi masyarakat, pemerintah malah menciptakan pertandingan gagasan. Atau kalau kata pengamat politik Ujang Komarudin kepada JPNN, “[Dengan memakai influencer] ini tandanya pemerintah tak percaya diri dengan kinerjanya.”

Di kasus lain, kadang influencer sembarang mempromosikan tanpa paham betul kebijakan yang sedang ia usung. Ini terjadi di polemik influencer RUU Cipta Kerja yang hingga hari ini masih misterius siapa pemesannya. Akhirnya fungsi influencer enggak lebih dari baliho perempatan, sekadar wadah iklan. Ini sendiri kan udah jauh dari participative strategy yang disebut dalam rilis pers Fadjroel.

Jika niat pemerintah emang mulia agar sosialisasi kebijakan merata, sebenarnya mereka enggak perlu nyewa influencer segala kok. Langsung aja kebijakan pemerintah disampaikan sendiri oleh Presiden sendiri. Beliau kan influencer yang paling influencer.