Legalisasi Judi

Kronik Sejarah dan Kontroversi Legalisasi Perjudian di Indonesia

Jakarta pernah kaya berkat pajak judi, orang tajir Indonesia juga rajin main di kasino-kasino ASEAN. Mungkinkah judi diregulasi? Tengok argumen pendukung judi legal seperti Arief Poyuono dan mereka yang kontra.
Kontroversi Legalisasi Perjudian di Indonesia usulan politikus gerindra arief poyuono
Ilustrasi meja poker di kasino yang melegalkan perjudian. Foto oleh Lothar Hakelberg/via Wikimedia Commons/lisensi CC 4.0

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono pekan lalu mencuitkan usulan di Twitter, agar Pemerintah Indonesia melegalkan kasino judi demi membuka lapangan pekerjaan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama wabah Covid-19.

Terdengar seperti ingin bikin masalah, emangnya berapa sih potensi pendapatan negara kalau judi dilegalkan? Apakah Arief terinspirasi Ali Sadikin, mendiang Gubernur DKI Jakarta yang legendaris?

Iklan

Gagasan Arief memang tidak baru. Ketika membahas hubungan judi dan cara pemerintah menghimpun dana publik, siapa pun tak bisa menghindar dari kasus Jakarta era Gubernur Ali Sadikin (1966-1977).

Inilah contoh nyata bagaimana judi bisa jadi sumber pemasukan daerah. Dari pajak judi, pelacuran, bar, dan panti pijat, konon Ali bisa menggemukkan anggaran pemprov DKI, dari hanya Rp66 juta per tahun menjadi Rp122 miliar pada 1977. Uang itu dipakai membangun secara besar-besaran infrastruktur Jakarta, mulai dari halte bus, jalan raya, sampai infrastruktur ikonik Monas, Taman Impian Jaya Ancol, dan Taman Ismail Marzuki.

"Judi itu tidak bisa diberantas. Apalagi di kalangan masyarakat Tionghoa, judi merupakan budaya untuk membuang sial. Bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia, Almarhum Hasan Basri, mengatakan, judi tidak bisa diberantas. Dan jika hanya menimbulkan kerugian karena ditutup lalu menyebar ke mana-mana, lebih baik judi dilokalisasi," kata Ali saat diwawancara majalah Tempo, Juni 2000.

"Saya tahu judi itu haram. Saya sendiri tidak pernah berjudi. Dan biarkan hal ini menjadi tanggung jawab saya pribadi dengan Tuhan. Tetapi, kalau judi dilarang, warga Jakarta tidak bisa keluar rumah. Dan bapak-bapak harus pakai helikopter kalau mau ke mana-mana karena jalan-jalan di Ibu Kota dibuat dari uang judi," tambahnya.

Bukan cuma Jakarta yang mencintai uang judi. Masyarakat tahun ’80-an tentu akrab dengan judi legal ala pemerintah pusat berbentuk undian Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas), maupun Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB). Undian-undian ini beromzet bukan sedikit.

Iklan

Dalam catatan Tempo, judi Porkas saja selama 1986-1987 meraup omzet Rp29 miliar dari kupon yang per lembar dihargai Rp300. Masuk akal sih undian ini laris keras, hadiah utamanya saja Rp100 juta. Padahal di tahun-tahun segitu gaji pokok PNS paling tinggi Rp120 ribu.

Tapi tunggu. Jika angka segitu dianggap bombastis untuk ukuran ‘80-an, saksikan omzet dua undian yang diadakan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial ini: judi KSOB 1988 beromzet Rp1,2 triliun/setahun, judi SDSB 1989-1993 beromzet Rp1 triliun/setahun. Di tahun 2020 aja duit segitu masih kerasa gede banget. Pantesan tahun ’88 jadi momen Rhoma Irama ngeluarin lagu legendarisnya.

Menurut laporan media, sebagian besar pendapatan penyelenggara judi-judi tersebut dipakai untuk bantuan sosial dan menyelenggarakan event olahraga akbar seperti SEA Games dan PON. Namun komunitas Islam tetap tak senang. Penolakan dari ulama pun berdatangan.

Pengganti Ali Sadikin, Gubernur Soeprapto, punya pikiran yang berbeda soal judi. Dia memerintah Ibu Kota selama kurun 1982 sampai 1987. Sejak era Soeprapto, judi sepenuhnya dilarang. Di dekade 90'an, Presiden Soeharto, di bawah tekanan kelompok Islam yang tengah gencar melakukan mobilisasi mengganyang semua praktik haram, menyatakan semua jenis perjudian ilegal di wilayah Indonesia.

Menurut artikel Historia, memang UU 7/1974 tentang Penertiban Perjudian telah mengeraskan hukuman perjudian dalam KUHP Pasal 303, tapi legalisasi judi baru benar-benar dihentikan pada 1993.

Iklan

Selepas itu, judi undian sempat beberapa kali akan dihidupkan. Adalah PT Mutiara Mandala Mahardhika yang berencana membuat undian Dana Masyarakat untuk Olahraga (Damura) pada 2000, namun gagal. Pada 2003, PT Provicia juga gagal meloloskan izin kuis Olahraga dan Kemanusiaan (OK) berformat menjual kupon asuransi kematian berhadiah.

Namun judi tak pernah mati. Setelah era judi legal, adu ketangkasan berlanjut sembunyi-sembunyi. Dari skala kecil seperti togel dan judi sabung ayam di pedesaan, sampai kasino tersembunyi di apartemen beromzet harian Rp700 juta. Bandarnya mulai dari kelas ibu rumah tangga sampai, konon, mantan raja rokok Indonesia.

Internet dan ponsel juga mencanggihkan permainan ini. Menurut Anton Medan, mantan perampok dan bandar judi ’90-an kenamaan, sejak dilarang, sebagian besar penjudi Indonesia terbang ke surga judi di luar negeri atau cukup bermain lewat ponsel.

"Minimal 51 persen tempat judi di luar negeri [Asia Tenggara, pemainnya] orang kita. Kalau di Singapura, paling banyak dari orang pajak sama gubernur, politisi juga, artis juga ada. Saya tidak bisa sebut namanya, kalau lu mau tahu, saya bisa tunjukkan," kata Anton dalam wawancara khusus dengan Medcom, pada 2018 lalu. "Bisa main lewat hape, bayar pake mobile banking, tinggal transfer, canggih."

Surga judi luar negeri inilah yang bikin Arief Poyuono menilai ada peluang pemasukan devisa buat Tanah Air. Sudah lazim diketahui bila banyak orang tajir asal Indonesia bermain di kasino Singapura, Malaysia, dan Makau. Termasuk para kepada daerah mau mencuci uang hasil kejahatan, larinya juga ke kasino. Pada 2010, dua kasino Singapura tadi tercatat mendulang penghasilan kotor US$6 miliar. Di Makau, Las Vegas-nya Asia, tahun lalu perputaran uang di kasino mencapai US$36,7 miliar.

Iklan

Sejauh ini ide Arief sedikit masuk akal. Masalahnya persepsi publik yang terus terbelah. Pada 2002, Gubernur DKI saat itu, Sutiyoso, berniat membangun lokalisasi perjudian (termasuk ada kasinonya) di Kepulauan Seribu. Ide itu batal, akibat penolakan besar-besaran dari masyarakat Kepulauan Seribu. Apalagi kalau yang usul hanya seorang Arief Poyuono.

Selain itu, judi-judi secara umum punya track record bikin trauma orang Indonesia. Bukan, ini bukan kisah sinetron azab keluarga jatuh miskin karena bapaknya kecanduan judi. Ini soal aktivitas judi yang selalu naik setiap ada pemilu, bahkan udah ada riset yang bilang, judi memotivasi orang ikutan nyoblos.

Tapi bisa jadi lho masyarakat beralih mendukung usul Arief setelah tahu Kominfo baru aja mengajukan anggaran Rp1 triliun ke DPR RI buat beli mesin blokir situs judi online. Kok banyak bener? Kata Kominfo sih, soalnya mesin crawling mereka sekarang cuma bisa mendeteksi konten negatif yang mayoritas soal pornografi. Kalau memblokir langsung situs judi belum bisa.

Namun ada satu aspek yang bisa menjadi amunisi tim pendukung legalisasi judi, yakni fakta yang dipaparkan seorang pengusaha judi online asal Indonesia yang kini bermukim di Filipina. Kepada VICE beberapa waktu lalu dia bilang pasar judi online, termasuk judi bola dan poker digital, terbesar se-Asia Tenggara masihlah di Indonesia. Lelaki dengan inisial A.D itu merintis karir di pengelolaan situs dari Kota Bavet di Kamboja, sebelum kini pindah ke Manila. Dua negara itu sama-sama membolehkan bisnis perjudian.

"Menjalankan bisnis perjudian dari Bavet [Kamboja] jauh lebih murah daripada dari Jakarta. Tapi, pasar kami tetap di Indonesia," ujarnya. "Sebagian besar stafku di Manila adalah orang Indonesia beragama Islam. Mereka bekerja sama kerasanya dan aku sangat mempercayai mereka. Banyak pemain judi online yang namanya muslim kok."

Tentu tak semua pihak yang kontra menolak legalisasi judi di Indonesia atas dasar agama. Ketua Forum Warga Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan, ketika diwawancarai Detik.com, menolak legalisasi judi karena bisa memicu problem sosial bagi masyarakat menengah ke bawah. "Bayangkan saja, nanti pengangguran tidak punya uang, berpikir modal berjudi 10 bisa dapat 1.000. Bukannya cari kerja malah menghabiskan waktu dan uang di tempat judi," tandasnya.

Selain itu, kalau judi dilegalkan, seram juga bila kelak banyak netizen melebarkan hobi mereka dari game online dan koleksi action figure jadi berjudi tiap malam. Niscaya Twitter bakal rame sama curhatan soal "pasanganku tukang judi". Pusing juga kan….