Sepakbola

Sepakbola Adalah Cara Terbaik Membantu Kalian Memahami Kapitalisme Modern

Berhubung sepakbola semakin dikorporatisasi, bermacam fenomena tertentu dalam pertandingan amat mencerminkan esensi kapitalisme.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
JP
Diterjemahkan oleh Jade Poa
Sepakbola Adalah Cara Terbaik Membantu Kalian Memahami Kapitalisme Modern
Ilustrasi via Pixabay.

Bukan suatu kebetulan, bila kemunculan Premier League di Inggris dan penggantian nama Piala Eropa menjadi Liga Champions terjadi hanya beberapa bulan setelah runtuhnya Uni Soviet. Kemenangan negara-negara Barat dalam Perang Dingin (sekaligus kemenangan sistem ekonomi neoliberalisme) menandai awal korporatisasi sepakbola profesional.

Bertahun-tahun setelahnya Soviet bubar, biaya transfer pemain sampai memecahkan rekor dunia karena naik hingga 850 persen. Perusahaan yang jadi sponsor juga semakin gila-gilaan mengiklankan olahraga ini, membubuhkan logo mereka di mana lokasi saja yang memungkinkan dalam tubuh pemai ataupun berbagai sudut stadion.

Iklan

Dewasa ini, sepakbola jauh lebih cocok disebut sebagai persaingan bisnis ketimbang olahraga. Kenyataannya, fenomena yang sama terjadi di berbagai belahan dunia. Namun, kasusnya bukan sekadar cabang olahraga populer yang dibanjiri uang, melainkan contoh terbaik praktik kapitalisme modern. Malah, rajin nonton sepakbola akan membantumu memahami esensi kapitalisme lebih cepat dibanding buku-buku teks yang tebal itu.

Berhubung sepakbola menjadi semakin dikorporatisasi, fenomena tertentu dalam pertandingan mulai mencerminkan esensi dari semangat sistem ekonomi berbasis laba dan pertumbuhan yang eksploitatif terhadap pekerja ini. Berikut penjelasannya.

Kualifikasi Liga Champions adalah paradigma pertumbuhan tanpa batas

Salah satu ciri utama kapitalisme yaitu paradigma pertumbuhan tanpa batas. Dalam dunia kapitalis, pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya kondisi yang dapat diterima. Jangan sampai ada stagnan atau terjadi resesi. Dalam industri sepakbola, kualifikasi Liga Champions diibaratkan sebagai pertumbuhan tanpa batas. Enam klub di Inggris menjadikan kompetisi klub utama Eropa sebagai ambang batas kesuksesan mereka setiap tahunnya.

Kalau sampai gagal—seperti Manchester United di bawah bimbingan David Moyes, atau Tottenham yang selalu gagal di pekan-pekan terakhir—mereka biasanya akan mengambil pendekatan yang sangat Keynesian dengan beralih ke pertumbuhan positif atau kualifikasi. Namun, sama seperti premis pertumbuhan tanpa batas, pendekatan ini memiliki kelemahan fatal.

Iklan
how-football-explains-capitalism-body-image-1444298768

Setelah satu musim di Liga Champions, Liverpool kembali ke Liga Eropa musim ini. Foto: EPA/Jean-Christophe Bott

Klub Inggris hanya diberikan empat slot kualifikasi setiap musim Liga Champions, oleh karena itu dua klubnya terpaksa harus menyingkir. Dalam kapitalisme, pertumbuhan tanpa batas menuntut produksi, inovasi, dan konsumsi tanpa batas dalam planet yang sumber dayanya terbatas. Obsesinya mempercepat perubahan iklim dan membawa kita ke arah bencana lingkungan. Secara mental, klub teratas seolah-olah berada dalam resesi permanen.

Mereka menghamburkan banyak uang setiap musim untuk mengimbangi atau membedakan klubnya dari lawan. Kualifikasi Liga Champions adalah siklus berkelanjutan. Yang kaya semakin kaya, yang sial makin sial. Semuanya bergantung pada kompetisi. Demikian pula pada kapitalisme, mengejar pertumbuhan tanpa batas merusak lingkungan yang telah menampung kita, dan membuat Bumi menjadi tempat yang tak nyaman dihuni.

Liga Champions vs Liga Eropa & Teori Kapital Thomas Piketty

Kamu baru akan menyadari betapa kacaunya dunia dan masa depan kalau kamu bukan dari keluarga tajir melintir. Tahun lalu, ekonom Prancis Thomas Piketty mengemukakan teorinya tentang bagaimana kondisi dunia bisa menjadi seberantakan ini dalam buku Capital in the Twenty-First Century.

Intinya, Piketty berpendapat bahwa masalah sebenarnya ada pada kepemilikan kekayaan saat ini yang memberikan hasil lebih besar daripada tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mendapatkannya, yang pada gilirannya melahirkan ketimpangan dan menghancurkan mobilitas sosial. Paralel serupa dapat dilihat dalam jumlah hadiah yang berbeda dari Liga Champions dan Eropa.

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal derby sepakbola paling berbahaya sedunia:


Pemenang Liga Eropa tahun lalu dibayar sebanyak €9,5 juta (setara Rp147,8 miliar), jauh lebih kecil dibandingkan €37,4 juta (setara Rp581,8 miliar) yang menjadi hadiah pemenang Liga Champion. Itu pun sebelum terhitung keuntungan dari TV.

Liga Eropa juga mempersyaratkan 15 pertandingan; dua lebih banyak daripada Liga Champions. Selebihnya, pertandingannya diadakan pada hari Kamis, yang mengurangi waktu jeda antara setiap pertandingan. Ini membuat para pemain kewalahan. Parahnya lagi, pertandingan seri cenderung diadakan di negara-negara Eropa Timur dengan perbedaan waktu signifikan; pekerjaan bertambah, tetapi hasilnya semakin berkurang.

how-football-explains-capitalism-body-image-1444302850

Pemenang Liga Eropa, Sevilla | Foto oleh PA Images.

Secara historis, dampak partisipasi pada formulasi domestik cukup buruk. Bagi Everton, itu tidak masalah, semntara bagi klub-klub aspiratif layaknya Spurs, kualifikasi Liga Champions menjadi semakin sulit. Tanpa prestasi dan dana ekstra untuk menarik pemain top, mereka terjebak di peringkat kelima. Oleh karena itu, mereka lebih memilih pergi ke Tajikistan. Hal ini juga mencerminkan teori Piketty: tim yang diwariskan banyak uang dan sumber daya cenderung lebih maju ketimbang tim yang bekerja keras untuk menghasilkan uang, karena berdasarkan situasi ekonomi kita sekarang, kekayaan menghasilkan lebih banyak uang daripada pekerjaan yang dilakukan untuk menghasilkan uang tersebut.

Penanaman grup Liga Champion & praktek anti-kompetitif

Coba pikirkan format grup Liga Champion: pasti selalu ada setidaknya satu klub “super” yang selalu lolos ke babak-babak terakhir. Tahun lalu, Real Madrid sebagai Grup B memegang piala. Pasti selalu ada satu pemain dari tim Eropa Timur semi-profesional cuma buat nambah-nambah jumlah pemain; misalnya, tahun lalu ada Ludogorets asal Bulgaria.

Iklan

Kemudian ada pesaing non-gelar dari liga terkenal yang kemungkinan besar akan meraih juara dua; seperti yang dilakukan Liverpool tahun lalu. Klub lainnya (Basel pada musim 2014-15) menjadi saingan baik dan dan menciptakan suasana kompetisi, padahal mereka tidak dianggap serius. Setiap tahun dan setiap grup mengikuti format ini.

Tentunya, selalu ada kemungkinan performa sebuah tim akan menurun (layaknya Liverpool tahun lalu), sehingga mengizinkan pesaingnya lolos ke 16 besar, tetapi hal ini jarang terjadi. Di bawah sistem kapitalis, ini dapat menyebabkan praktek anti-kompetitif dan menciptakan monopoli oligarkis UEFA, sehingga Barcelona, Bayern dan Real menjadi tim-tim favorit Liga Champion selama beberapa tahun terakhir, sementara klub-klub seperti Porto lolos ke perempat final nyaris setiap musim.

how-football-explains-capitalism-body-image-1444299262

Barcelona dan Bayern Munich, bagian dari monopoli oligarki UEFA | Foto: EPA/PETER KNEFFEL

Monopoli oligarki terjadi secara alami di bawah kapitalisme. Hampir setiap pasar didominasi beberapa konglomerat, dari musik dan supermarket hingga perbankan. Karena klub-klub sepakbola dimiliki orang kaya layaknya keluarga Glazer, Roman Abramovich dan Investasi Olahraga Qatar, masuk akal kalau pertandingan sepakbola turut menyerupai bisnis besar.

Karena industri sepakbola didominasi orang kaya, UEFA dan FIFA tidak keberatan menentukan pemenang pertandingan sebelumnya agar uangnya tetap beredar di dalam game. Pengusaha tidak menyukai ketidakpastian; dengan menghapus fluktuasi yang sering terlihat pada zaman European Cup, saat juara Romania sanggup menang, sepakbola menjadi investasi lebih aman karena uangnya masuk tanpa henti.

Iklan

Klub-klubnya tidak mengeluh karena mendapatkan sebagian dari uang tersebut, sementara penonton sepakbola selalu mendukung tim pemenang. Maka itu, tidak ada oposisi terhadap sistem ini. Tidak setuju? Ucapkanlah kata-kata "Nottingham Forest" di negara yang tidak terlalu menggemari sepakbola. Sebagian orang pasti pikir kamu sedang membicarakan cerita Robin Hood.

Perjanjian hak cipta TV & outsourcing tenaga kerja murah

Klub-klub seperti Arsenal dan Manchester United dulu mengandalkan masukan uang dari populasi kota Holloway dan Salford yang selalu membeli tiket. Namun, perjanjian televisi membuat proses itu tidak berguna. Klub-klub Liga Premier diperkirakan akan membawa pulang £5.136 miliar (setara Rp79,7 triliun) dari penghasilan TV selama tiga tahun ke depan, sehingga mereka menganggap harga tiket kurang penting ketimbang penjualan kaos dan merchandise.

Barang-barang tersebut dapat dijual di seluruh dunia kepada (secara teoretis) jumlah konsumen tak terbatas, sementara jumlah tiket terbatas oleh kapasitas stadium. Artinya, klub-klub lebih memperdulikan konsumen global, bukan penonton lokal yang membeli tiket, yang sebetulnya lebih berharga karena kehadiran kolektif mereka. Pada jangka panjang, ini lebih menguntungkan dan mempermudahkan hubungan sponsor.

how-football-explains-capitalism-body-image-1444299463

Penghasilan dari TV telah memungkinkan Crystal Palace menarik (dan membayar) pemain seperti Yohan Cabaye | Foto: EPA/FACUNDO ARRIZABALAGA

Outsourcing tenaga kerja asing berfungsi dengan prinsip serupa: karyawan di pabrik-pabrik luar negeri tidak mahal dan tidak dilindungi hukum buruh. Oleh karena itu, mereka dapat dipekerjakan secara murah dan keras, yang mengkompromi pekerja Barat yang terpaksa menerima gaji rendah dan kondisi kerja buruk karena korporasi tidak mengandalkan mereka.

Iklan

Kalau kamu memegang tiket musiman, coba pikirkan seberapa sering pertandingan dijadwal ulang pada Senin malam atau Sabtu pagi demi kenyamanan penonton TV. Setiap kejadian dramatis pasti berlangsung setelah kick-off pukul 15:00.

Setiap klub boleh menentukan harga tiket sendiri. Lalu ada Dick Scudamore yang menyarankan “Pertandingan ke-39,” yang akan diadakan di luar negeri. Sudah, terima saja: klub kesayanganmu tidak memperdulikanmu. Mereka hanya memperdulikan Emirati kaya.


Follow penulis artikel di akun @slandr

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports UK.