FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Enam Terduga Teroris Mati Tertembak di Tuban, Bukti Jamaah Ansharut Daulah Membesar

Pengamat terorisme menyebut Densus 88 melakukan blunder, karena penangkapan hidup-hidup bisa memberi petunjuk lebih besar tentang para simpatisan ISIS itu.
Kondisi TKP penyergapan teroris di Tuban. Sumber: Polres Tuban.

Organisasi radikal Jamaah Ansharut Daulah (JAD) terus melancarkan serangan di beberapa daerah. Sabtu pekan lalu, enam orang teroris yang diduga anggota JAD terpaksa ditembak mati oleh aparat gabungan Brimob dan Densus 88 di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Kapolda Jawa Timur Machfud Arifin dalam keterangan persnya mengatakan bahwa keenam teroris tersebut mengendarai mobil menuju sebuah pos polisi sebelum menembakkan senjata ke arah beberapa polisi yang berjaga, namun gagal mengenai sasaran.

Iklan

Setelah gagal menembak sasaran, keenam teroris tersebut kabur sebelum akhirnya berhasil dihadang oleh aparat di desa Suwalan yang berakhir dengan baku tembak.

"Yang jelas ada kaitannya dengan kelompok JAD, namun kita masih mendalami identitas para pelaku," ujar Machfud seperti dikutip BBC. Machfud menduga serangan teroris terhadap aparat kepolisian tersebut sebagai bentuk balas dendam setelah beberapa anggota JAD tewas dan ditangkap dalam kurun satu tahun terakhir.

JAD adalah organisasi pimpinan Aman Abdurrahman yang saat ini tengah menjalani hukuman sembilan tahun penjara di lapas Batu, Nusakambangan karena terbukti mendirikan kamp pelatihan militer di pegununan Jalin Jantho, Aceh. Kelompok JAD juga bertanggung jawab terhadap serangkaian serangan seperti bom Thamrin pada Januari 2014 yang menewaskan delapan orang termasuk empat orang pelaku, serangan bom molotov di Samarinda, dan bom panci di Cicendo, Bandung, pada Februari lalu.

Pada Januari 2017, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah menetapkan JAD sebagai organisasi teroris dan membekukan asetnya. Keputusan tersebut muncul setelah JAD terbukti memiliki afiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) di Timur Tengah, serta kelompok Abu Sayyaf di selatan Filipina.

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar menyayangkan pendekatan Densus 88 dan Brimob yang mengedepankan kekerasan, serta gagal menangkap seluruh tersangka hidup-hidup. Menurutnya, respons polisi menembak mati keenam terduga teroris tidak akan menyelesaikan masalah. Justru di khawatir insiden ini bisa memicu aksi balas dendam susulan.

Iklan

"Menurut saya itu tidak tepat," ujar Al Chaidar saat dihubungi VICE Indonesia. "Seharusnya aparat dan pemerintah mengedepankan cara-cara strategis. Ada proses penangkapan sehingga bisa mendapat informasi untuk ke depannya."

Menurut Al Chaidar, organisasi JAD saat ini memiliki jumlah pendukung yang cukup besar di 18 provinsi seluruh Indonesia. Dengan simpatisan yang mencapai ratusan ribu orang, JAD bisa mendapat suntikan dana atau donasi dari pendukungnya untuk beroperasi.

"JAD tidak bisa dilihat sebelah mata lagi, jaringan mereka sangat luas sudah sampai ke Filipina untuk pembelian senjata," kata Al Chaidar.

Bulan lalu, kepolisian menangkap delapan orang terduga teroris yang diduga mencoba menyelundupkan 18 senapan serbu jenis M16 dari Filipina Selatan. Senjata tersebut diduga akan digunakan melancarkan serangan di beberapa lokasi di Jakarta.

Menurut Al Chaidar pola organisasi JAD mirip dengan Jemaah Islamiyah (JI) yang sudah lebih dulu dilumpuhkan pada awal 2000-an.

Secara struktural, Chaidar menilai organisasi JAD saat ini mirip JI. Namun JAD memiliki sel-sel independen yang tersebar di daerah. Mereka menggunakan aplikasi media sosial untuk berinteraksi. Gaya serangan juga mirip. "Mereka percaya bahwa metode kekerasan secara brutal lebih efektif. JAD juga sudah menggunakan perempuan sebagai eksekutor seperti yang terjadi di Bekasi beberapa waktu lalu, meski belum sempat tereksekusi," ungkapnya.

Al Chaidar tidak menampik jika kedepannya JAD akan melancarkan serangan teroris lagi. Menurutnya pemerintah masih lambat menangani pergerakan JAD terutama di daerah-daerah yang tidak terpantau.

"Serangan JAD memang belum menimbulkan korban jiwa masif seperti era JI, ini karena masih banyak kekurangan di beberapa sektor. Terutama karena anggota JAD tidak bisa mengikuti pelatihan militer karena saat ini mustahil. Namun tetap harus diwaspadai serangan-serangan JAD yang kemungkinan bisa terjadi kapan saja," kata Al Chaidar.