MuslimGirl, Membongkar Citra “Perempuan Muslim Baik”

FYI.

This story is over 5 years old.

Culture

MuslimGirl, Membongkar Citra “Perempuan Muslim Baik”

Amani Al-Khatahtbeh memulai sebuah blog bernama MuslimGirl. Lima tahun kemudian, muslimGirl menjadi sebuah gerakan sosial seruis memperjuangkan isu-isu perempuan dalam Islam.

Artikel ini pertama tayang di Broadly.

Ketika masih duduk di bangku SMA, Amani Al-Khatahtbeh memulai sebuah blog bernama MuslimGirl. Lima tahun kemudian, muslimGirl menjadi sebuah gerakan sosial yang utuh.


Beberapa tahun lalu, dalam usaha mencari jawaban (atau setidaknya sebuah hubungan di dunia maya), saya sembarangan saja mengetik "Muslim Girl"—kapital semua biar kesannya niat—di kolom pencarian Google. Hasilnya? Tak satupun berarti.

Iklan

Hampir 10 tahun kemudian, saya mengenal MuslimGirl.net. Nama situs ini pertama kali saya dengar dalam sebuah percapakan santai bersama seorang teman. Tak lama, saya langsung mengakses situs dan senang bukan kepalang karena menemukan apa yang saya damba-dambakan sejak kecil: keterbukaan pengalaman dan bermacam-macam ekspresi menjadi seorang muslim.

Sebagai gadis muslim belia yang besar di Australia, jelas saya merasa terisolasi. Namun jauh di lubuk hati, ada kecurigaan bahwa di luar Australia sana pasti ada gadis muslim yang bernasib sama seperti saya: aneh, penuh gairah, setengah muslim, dan setengah berjiwa Barat. Saya selalu ingin terhubung dengan satu kelompok karena tak mau merasa ditinggalkan dan sendirian di dunia yang terus menimpakan beragam stereotip kepada saya—dianggap gadis ekstremis oleh media atau gadis kuno dan keras kepala oleh lingkungan sekitar.

Amani Al-Khatahtbeh, pendiri sekaligus editor MuslimGirl.net, merasakan pengalaman serupa. Saat dia masih duduk di bangku SMA, lima tahun lalu, dia mulai menjadi saksi semakin maraknya efek negatif peristiwa 9/11 pada generasi muda muslim, terutama dalam bentuk rasisme institusional dan kecurigaan-kecurigaan terhadap tubuh kami. Alhasil, dia membuat sebuah blog bernama MuslimGirl. Blog ini bermula sebagai sebuah komunitas LiveJournal yang bertujuan memulai dialog dengan wanita muslim lainnya. Kala itu, belum ada dialog terbuka yang cair antara kami, sesama wanita muslim. Yang ingin dilakukan Amani sederhana saja, menciptakan ruang tempat dia bicara tentang berbagai hal yang berpengaruh padanya. Suaranya seperti—saat itu—belum terwakilkan siapapun.

Iklan

"Saya ingin menemukan cara menolong wanita muslim, yang bernasib sama, melawan cara media merepresentasikan kami," tukasnya. Hanya lima hari setelah dibuat, komunitas MuslimGirl sudah memperoleh lebih dari 1.000 anggota. Kerennya lagi, kata Amani, kebanyakan anggota MuslimGirl adalah kaum non-muslim yang kepo tentang islam. Seketika dia sadar. Amani mengisi sebuah ruang kosong. Ini yang menginspirasinya untuk menerus proyek blog tersebut.

"Orang-orang sangat ingin membicarakan semua hal tentang Islam. Jadi, ya sudah, saya buat saja sebuah platform independen untuk memfasilitasinya," kata Amani mengenang masa-masa awal. Dari rumahnya, Amani meninggalkan format LiveJournal, membeli domain, lantas mengubah MuslimGirl menjadi sebuah blog sederhana. Di blog itu, dia dan teman-teman satu masjidnya bisa mengunggah beragam hal yang relevan dengan hidup mereka sehari-hari. Setahun kemudian, ketika Amani mulai kuliah di Rutgers University, dia memutuskan meningkatkan status "Muslim Girl" menjadi sebuah organisasi mahasiswa. Dia ingin menerapkan etos MuslimGirl.net dalam kehidupan sehari-hari, menyebarkan kesadaran tentang berbagai masalah yang secara nyata mempengaruhi perempuan muslim.

Setelah merampungkan kuliahnya, Amani langsung pergi ke Washington D.C dan mendaftarkan situsnya sebagai sebuah organisasi nirlaba. Kini, dia telah menjalankan MuslimGirl selama lima tahun. Amani menyaksikan perjalanan MuslimGirl dari sebuah blog sederhana, menjadi sebuah gerakan sosial yang utuh. Staf MuslimGirl kini tengah berburu ruang kantor di New York. Saat ini, staf MuslimGirl masih mengandalkan laptop dan berkantor di kamar masing-masing. "Staf MuslimGirl dan jaringan penulisnya, diatur secara online dan tersebar di berbagai benua," urai Amani. Revolusi menunggu di ujung jari mereka.

Iklan

Salah satu tulisan paling awal dipublikasikan di MuslimGirl masih menjadi artikel paling populer di situs ini. Ramadan 2015, lagi-lagi artikel ini paling banyak dibaca. Artikel itu judulnya "Taking on your Period During Ramadan" (Tentang Datang Bulan di Bulan Ramadan) membahas topik lumayan tabu—apalagi perempuan dan tubuhnya jarang sekali disigi para komentator muslim. Setiap bulan, ketika seorang perempuan sedang menstruasi, dia tak diperkenankan beribadah. Di bulan puasa, perempuan yang sedang datang bulan tidak dibolehkan berpuasa. Sebaliknya, perempuan dianjurkan menginstropeksi diri dan merawat dirinya selama masa menstruasi. "Ketika kami mempublikasikan tulisan ini, kami masih remaja dan tak pernah terang-terangan membicarakan masalah ini. Jadi tulisan menstruasi itu penting sekali bagi kami," ujar Amani. "Rasanya menyenangkan bisa memberdayakan perempuan muda muslim yang disingkirkan di bulan paling penting dalam kalender Islam, hanya karena kita wanita."

Tahun ini, Amani tampil di CNN bicara tentang situs yang dia rintis dan usaha-usaha mengubah persepsi orang tentang Islam. Setahun silam, bersama beberapa anggota MuslimGirl.net, Amani mewakili wanita muslim Negeri Paman Sam di United Nations Youth Assembly.

"Ini semua tentang pembentukan generasi pemimpin, generasi yang lantang bersuara dan kaum perempuan yang tak takut untuk terlibat dalam masyarakat," tuturnya. "Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan muslim bisa menjawab. Jika anda ingin tahu pandangan kami kami katakan, situs ini adalah sumber yang luar biasa!"

Iklan

Saat ini, Amani bekerja penuh waktu mengelola situsnya demi mewujudkan visinya dan memberikan tempat bagi wanita muslim untuk tampil dan bersuara.

Amani dan saya panya pengalaman positif saat tumbuh dewasa sebagai muslim. Amani dibesarkan di Negara Adidaya. Ini yang mengacaukan masa remajanya. Tumbuh dewasa di New Jersey dan terus menerus bolak-balik ke New York menghasilkan beban psikis tersendiri. Masih jelas dalam ingatannya, rasa kehilangan begitu besar saat pertama kali berdiri di atas Ground Zero - lokasi jatuhnya menara WTC setelah ditabrak pesawat; sebagai seorang Muslim, dia mengaku yang dia rasakan sulit dijelaskan.

"Saya masih SD ketika peristiwa 11 September terjadi. Ini susah sekali kami hadapi saat kami tumbuh dewasa" tutur Amani. "Ini adalah momen menentukan bagi kami, pengalaman kami sebagai muslim—sekaligus sebagai manusia—terjadi dalam sebuah serangan paling besar terhadap identitas kami dalam sejarah modern." Kami—kaum muslim—didefinisikan oleh sebuah insiden kekerasan. Siapapun anda, jika anda muslim, anda pasti merasakan kemarahan Amerika."

Tiap muslim, pasti punya cerita memalukan: "Sewaktu saya duduk di bangku sekolah menengah, teman saya kerap bertanya apakah saya muslim. Saya kadung malu mengakuinya. Saya baru benar-benar mempelajari Islam ketika berkunjung ke Timur Tengah. Di sana, saya benar-benar menemui sesama muslim, mendengarkan cerita mereka. Lalu, saya merasa amat bangga dengan latar belakang dan budaya saya," ungkap Amani.

Iklan

Kita kerap latah menyepelekan rasa kurang percaya diri seseorang dan menganggapnya sebagai suatu tanda kelemahan, atau sekadar ketidakmampuan membela diri. Namun, pengalaman dicitrakan jahat—dan menerima hasil serangan negatif terhadap agama dan budaya Islam—adalah dasar dari identitas muslim yang saya dan Amani tahu. Lewat sudah masa-masa fetisisme terhadap Orientalisme di barat. Yang kami hadapi sekarang adalah penghinaan dari orang-orang macam Richard Dawkins atau mendiang Christopher Hitchens, keduanya telah menyatakan di depan publik bahwa semua perempuan Islam itu mengalami penindasasn tanpa sekalipun mereka meminta pendapat bandingan dari seorang perempuan muslim. Entah berapa kali, dalam suaatu percakapan, saya berjumpa orang yang mengaku "paham banget islam." Sepertinya, semua orang tahu tentang Islam, tapi tak seorangpun pernah bertemu, apalagi bicara dengan seorang muslim.

"Gagasan awal pembentukan MuslimGirl adalah mendorong dan mempromosikan otonomi setiap perempuan Islam untuk menjalankan Islam sesuai dengan cara yang mereka pilih" kata Amani. "Generasi muslim sebelumnya menekankan pentingnya menunjukkan dosa yang dilakukan orang lain dan kewajiban kita memperbaikinya. Bagi kami, penekanan ini sebaiknya diletakkan pada tindakan pribadi, karena Islam juga menganjurkan kita untuk tidak merecoki urusan orang lain."

Sebagai sesama perempuan muslim, saya paham sekali apa yang dikatakan Amani: satu kaki berada di dunia muslim, sementara satu lagi kami ada di dunia Barat. Ini kadang bikin kami bingung bukan kepalang. Ini menimbulkan rasa iba tersendiri.

Iklan

Salah satu filosofi dasar MuslimGirl adalah muslim yang bersatu tak bisa dikalahkan. "Sebagai muslim generasi millennial, kami punya lebih banyak masalah yang harus kami hadapi. Kami tak ingin menyia-nyiakan waktu saling menghakimi dan memecah belah satu sama lain. Selain merugikan, perbedaan mazhab bukan urusan kami. Tak ada seorangpun yang bisa ngomong "kamu salah;" "kamu masuk surga;" "kamu masuk surga."

Feminis barat bisa mengklaim bahwa gagasan-gagasan feminisme tak pernah akur dengan ajaran islam. Namun, bagi Amani, keduanya bisa berjalan beriringan. MuslimGirl adalah usaha menampilkan kehidupan perempuan muslim di masyarakat barat secara utuh, tanpa sensor sedikitpun.

"Awal tahun ini, kami menulis sebuah cerita tentang Mia Khalifa, bintang film porno asal Lebanon," tutur Amani. "Gampangnya sih, kami menulis sebuah analisa tentang film porno yang pernah dia bintangi—terutama film porno yang menampilkan Mia berkerudung—dan implikasinya perempuan muslim dan cara orang barat memandang mereka." Artikel itu langsung jadi viral. Tak ada satupun terbitan yang menulis tentang Mia Khalifa tanpa merujuk MuslimGirl.

Artikel Mia menjadi momen penting lainnya bagi MuslimGirl, popularitas situs melonjak. "Kami langsung sadar, kami menulis sesuatu yang benar-benar baru—film porno dengan artis berjilbab—kami berhasil memasukkan suara kami, kami membuat sejarah. Sejak itu, kami tak bisa dipandang sebelah mata. Ini keren sekali."

Iklan

Namun, punya suara yang otentik ada harganya. Sejak mereka menaikkan tulisan tentang Mia Khalifa, email berisi kecaman datang tanpa bisa dibendung. "Ada email yang selalu saya ingat. Isinya seperti 'Kalian semua muslim palsu! Saya buka situs ini demi mencari inspirasi dan artikel pertama yang saya lihat bicara tentang film porno! Biar saya beri tahu semua orang kalian cuma penipu!'"

Amani mengingat-ingat isi surat itu."Saya butuh beberapa saat untuk menulis balasannya, memberi tahu orang ini bahwa MuslimGirl dikelola oleh wanita muslim dan ditujukan untuk wanita muslim." Dia keukeuh menekankan pentingnya menunjukkan keberagaman opini dan sikap multidimensional dalam budaya muslim. Dia juga menegaskan bahwa tiap gadis muslim bisa memiliki beragam pengalaman berbeda—beberapa di antaranya melibatkan pornografi. Amani lebih jauh menyatakan bahwa ia tak ingin mereduksi semua ini menjadi satu citra muslim monodimensi demi memuaskan kalangan muslim kolot. Bagi Amani, pengalaman seorang muslim jauh lebih rumit, kotor, dan sesekali penuh cela—ini yang membuatnya indah dan penuh keragaman.

"Saya pernah menulis surat untuk seseorang [yang mengirim email kecaman]. Di dalamnya, saya menulis , 'Tudingan anda sangat berlawanan dengan apa yang kami perjuangkan! Kami berusaha menunjukkan semua pengalaman, menampung semua suara.' Respon mereka sangat baik setelah kami jelaskan. Mereka paham kenapa cerita itu penting kami tulis."

Iklan

Jelas sekali, Amani berupaya membelokkan sebuah narasi dominan, menaruh kembali kekuatan, mendefinisikannya di tangan kami, langsung oleh seorang perempuan muslim. Selagi, dia bercerita tentang hal ini, saya tersenyum padanya, via Skype. Dia meningkahinya dengan tertawa. "Kami colong mikrofonnya!"

Beberapa tahun silam, saya menghadiri sebuah seminar berjudul "Is Islam A Religion of Peace? (Apakah Islam agama perdamaian?)" di Skirball Center, New York University. Saya masih ingat sedang merasa frustasi terhadap pertanyaan yang sama. Bagi saya, sepertinya Intelligence Squared Committee (penyelenggara seminar ini) sudah menentukan sikap ketika mereka mengajukan pertanyaan ini; bukannya dengan membingkai seperti itu mengisyaratkan sesuatu? Kesan "keterbukaan" terasa palsu dan penuh kepura-puraan—jangan lupa pula media arus utama yang kerap mengesampingkan opini sebagian besar umat Islam.

Seorang muslim murtad yang terkenal, Ayaan Hirsi Ali, ada dalam panel seminar itu. Dia menyatakan bahwa Islam sama sekali bukan agama perdamaian. Selagi saya mendengar penyataannya, saya merasa sulit terpengaruh ataupun tergerak. Wanita ini, tentunya termotivasi oleh beberapa agenda (dia seorang mantan muslim dan mengidap savior complex) terus diberikan kesempatan berbicara di forum-forum publik sebab opini yang keluar dari mulutnya serupa dengan upaya pencitraan negatif setiap muslim sejak peristiwa 11 september 2001. Menurut Ayaan, kaum muslim itu liar, mematikan dan berbahaya. Lebih dari itu, cara hidup muslim disebutnya tak cocok dengan masyarakat barat.

Setelah menceritakan pengalaman saya kepada Amani, dia juga membagi pengalamannya berhadapan dengan anak buah suruh Ayaan Hirsi Ali di twitter setelah keduanya tak sepaham dalam sebuah diskusi tentang perempuan muslim. Tak terhitung jumlah troll yang mengiriminya, lagi, email penuh kecaman. Salah satu email menuding satu-satunya alasan Amani mendukung Islam adalah dia seorang warga negara AS, bukan karena agamanya Islam. "Mereka bilang saya terlalu kebarat-baratan bicara tentang Islam," katanya. "Mereka bahkan memampang foto lama saya ketika warna kulit saya, entah kenapa, terlihat lebih cerah. Mereka terus nyerocos: lihat! Diaa bahkan bukan orang Arab!"

Penghapusan dan keinginan untuk menghapus identitas adalah taktik klasik. Amani jelas tak masuk dalam stereotip perempuan muslim—tak terdidik, tak punya suara dan penurut—dan dia membuat orang lain tak nyaman. Mereka menganggap artikulasi, kelihaiannya berbicara dan keterlibatannya dalam berbagai isu menyalahi bagaimana seharusnya seorang perempuan muslim, terutama mereka yang berhijab.

Keragaman suara sangat berkaitan dengan apa yang berusaha dicapai Amani. Dengan beragamnya suara, dialog yang muncul akan makin inklusif. Keragaman juga akan menegaskan kompleksitas suara perempuan muslim dan membongkar banyak isu yang harus kita kemukakan. Ketika beberapa waktu lalu, Gawker menerbitkan sebuah esai berjudul Practicing Islam in Short Shorts" MuslimGirl memuat sebuah analisa feminis atas esai.

"Analisa ini masih sangat kontroversial karena mendekonstruksi konsep-konsep patriarkal dalam intepretasi modern terhadap Islam," ujar Amani. Artikel lain yang memancing debat panas adalah "Stop Using #MuslimLivesMatter," ditulis untuk menanggapi hashtag yang muncul saat kejahatan islamfobia tengah marak. Intinya, tulisan ini meminta komunitas muslim tetap waspada untuk tidak merebut perhatian terhadap #BlackLivesMatter, dan mempertanyakan pentingnya persekutuan tanpa membahayan kepentingan masing-masing gerakan. Dengan begitu Amani berusaha membongkar setiap pandangan mengenai "muslim yang baik".

"Cara yang terbaik adalah dengan tidak diam terhadap semua cerita ini," ungkapnya. "Segera setelah kita membagi cerita, menceritakan pengalaman kita ke orang lain dan mempublikasikannya di luar sana, beginilah cara kita menghapus penilaian itu. Kita harus bicara tentang hal-hal yang ditabukan—kita harus tetap otentik terhadap pengalaman kita."

MuslimGirl terbuka membicarakan ganja, seks, hingga aborsi adalah sesuatu yang revolusioner bagi seorang muslim. Hirsi Ali mungkin berpikir ini adalah konsekuensi hidup bagi muslim yang tinggal di antara masyarakat Barat, tapi sejatinya ini adalah konsekuensi berjalannya waktu. Belajar tidak terlalu alim dan terus terang bicara mengenai topik-topik tabu, akan membuka sebuah dialog. Dengan penuh percaya diri bicara tentang hal-hal yang dulu selalu dianggap haram, membiarkan gerakan tumbuh, dan menghilangkan obsesi berlebihan akan kemurnian, seorang muslim di negara Barat bisa membuat perubahan.

Menjelang akhir percakapan kami, saya mulai menangis. Mendengar Amani bicara berapi-api tentang semua hal yang pernah saya teorikan dan rasakan, selama saya tumbuh dewasa, mengurangi kesepian yang saya rasakan. Saya melihat diri saya pada dirinya; hasratnya untuk membuktikan bahwa perempuan muslim tak pernah dibungkam—bahwa kami bisa bicara dan ini saatnya orang lain mendengarkan—memberi saya tujuan hidup yang begitu kuat. "MuslimGirl adalah sebuah bukti bahwa kita tengah membuat perubahan," Kata Amani.