Kamus Merriam-Webster menyatakan “feminisme” sebagai kata yang mendefinisikan peristiwa besar sepanjang 2017. Meskipun adanya sikap dari tim penyusun kamus itu agak terlambat (sebab feminisme jelas sudah relevan sekian dekade lalu), kenyataannya perjuangan perempuan yang berlangsung secara terus-menerus telah muncul kembali tahun ini. Kami juga melihat jumlah tinggi buku-buku terbitan tahun ini yang membahas feminisme secara frontal ataupun yang membicarakan kehidupan seorang wanita.
Beberapa di antaranya adalah buku karya Mary Beard berjudul Women & Power dan Blurred Lines: Rethinking Sex, Power, and Consent on Campus oleh Vanessa Grigoriadis yang bernuansa antropologis. Simak lima buku feminisme yang kamu harus baca segera, hasil kurasi rekan-rekan redaksi Broadly:
Videos by VICE
There are More Beautiful Things Than Beyoncé oleh Morgan Parker
There are More Beautiful Things Than Beyoncé tidak membahas feminisme secara eksplisit. Buku ini menceritakan rasanya hidup sebagai wanita berkulit hitam, tepatnya pada saat karir Beyonce sedang meroket, namun lucunya polisi Amerika Serikat yang membunuh anak-anak berkulit hitam justru tidak menghadapi konsekuensi sama sekali.
Dalam kumpulan puisi tersebut, penulis asal Brooklyn, New York ini merefleksikan rasa kesepian sekaligus kemenangan yang dia rasakan karena hidup di antara kontradiksi seperti ini. Alih-alih berusaha untuk memahami inkonsistensi kehidupan modern seorang perempuan berkulit hitam, Parker justru dengan jujur membedah kompleksitas realita ini. Puisi-puisi di buku ini berisi referensi kontemporer yang sekaligus mengandung kejujuran emosional yang abadi.
Parker menyatakan kepada i-D dalam sebuah wawancara tentang bukunya pada Maret 2017: “Ya, wanita-wanita kuat berkulit hitam. Itu tema terbesar di buku ini. Ceritanya mempesona sekaligus tragis. Wanita-wanita yang kuat, yang rentan, yang indah, tapi yang terluka. Buku ini bergulat dengan topik-topik tersebut.”
How We Get Free: Black Feminism and the Combahee River Collective disunting oleh Keeanga-Yamahtta Taylor
Kolektif Combahee River, kelompok feminis lesbian berkulit hitam berbasis di Boston yang aktif pada tahun 70-an, terkenal karena mempraktekan interseksionalitas membangun fondasi teori untuk Feminisme Kulit Hitam (Black Feminism). Pada 1977, mereka menerbitkan Pernyataan Kolektif Combahee River, yang berawal dengan kata-kata berikut: “Kami secara aktif berkomitmen untuk berjuang melawan penindasan berbasis rasial, seksual, heteroseksual, dan kelas. Kami melihat tugas kami sebagai perkembangan analisa dan praktik berdasarkan kenyataan bahwa sistem-sistem penindasan ini saling berhubungan.
Dalam How We Get Free: Black Feminism and the Combahee River Collective, yang diterbitkan pada awal Desember tahun lalu, pengarang Keeanga-Yamahtta Taylor melengkapi cetakan ulang pernyataan ini dengan mewawancarai ketiga penulis aslinya (Barbara Smith, Beverly Smith, and Demita Frazier), salah satu pendiri Black Lives Matter Alicia Garza, dan sejarawan feminis Barbara Ramsey.
Melalui bab pembuka buku ini, Taylor mengingatkan pembaca akan relevansi pernyataan ini pada isu-isu kontemporer. “Beberapa tahun terakhir,” Taylor menulis, “Black feminism telah muncul kembali sebagai kerangka analisis bagi tanggapan aktivis pada ketindasan, perjuangan untuk hak-hak reproduktif, dan gerakan melawan kekerasan polisi.”
Wawancara-wawancara ini disajikan seadanya, tapi mereka menekankan bagaimana prinsip-prinsip Kolektif Combahee River masih membantu perjuangan wanita berkulit hitam—buku ini bisa dianggap sebagai sebuah manual untuk itu.
Ask: Building Consent Culture, disunting oleh Kitty Stryker
Kitty Stryker, seorang aktivis anti-fasis dan penulis aktif mengenai tema consent, menulis dalam bab pembuka buku Ask. “Sebagian besar dari buku yang kubaca tentang kultur pemerkosaan (rape culture) dan consent dikarang oleh dan untuk wanita berkulit putih, kelas menengah, dan cisgender.” Karena alasan itulah, Stryker terinspirasi menyusun antologi catatan yang melibatkan para transgender, non-binary, dan perempuan bukan kulit putih. Selain kontributor buku ini yang inklusif, topik-topik dan konteks-konteks menyoroti pentingnya konsep persetujuan atau ‘consent’ rupanya sering diabaikan dalam buku mengenai feminisme dulu.
Antologi ini yang diterbitkan Thorntree press akhir Oktober 2017 ini juga berisi gagasan mengenai “Persetujuan dan Fobia Kegemukan: Bagaimana Stigma Sosial Mengurangi Otonomi Perempuan-Perempuan Gemuk” oleh Virgie Tovar, “Melahirkan Sebagai Wanita Berkulit Hitam” oleh Takeallah Rivera, serta 28 esai lain meliputi soal pesta seks hingga kondisi perempuan di industri jasa. Pada saat topik ‘consent’ mendominasi banyak percakapan, koleksi ini membuat kontribusi yang kritis pada pembahasan soal consent. Buku ini bahkan juga bisa berguna bagi pembaca yang merasa dirinya sudah “pro” membahas topik seks, consent, dan feminisme.
To My Trans Sisters, disunting oleh Charlie Craggs
Aktivis transgender dan penulis Charlie Craggs dikenal lewat kampanyenya Nail Transphobia yang membawanya keliling Inggris untuk memberikan layanan manicure pada orang yang belum pernah bertemu dengan orang transgender. Tahun ini, dia menerbitkan buku pertamanya yang berjudul To My Trans Sisters, yang bisa menjadi sosok kakak literatur bagi perempuan-perempuan transgender yang tidak mempunyai panutan untuk mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membantu mereka selama masa transisi.
“Pada awal masa transisi aku, aku menghabiskan banyak banget waktu meng-Google hal-hal transgender,” tulis Craggs dalam sebuah esai pribadi untuk Broadly pada bulan Oktober. “Aku membaca halaman Wikipedia setiap wanita transgender yang terkenal, aku menonton setiap film terkait dengan masalah-masalah seputar transgender selama ini, dan aku berusaha membaca setiap biografi transgender yang pernah dikarang.”
Untuk menyelamatkan perempuan-perempuan transgender lain dari kesusahan itu, Craggs merancang To My Trans Sisters sebagai koleksi surat dari wanita-wanita transgender yang filmnya ia tonton dan biografinya ia baca.
The Mother of All Questions by Rebecca Solnit
Penulis asal San Francisco Rebecca Solnit dikenal sebagai penulis yang pertama kali bisa menjelaskan istilah “mansplaining.” Meskipun bukan Solnit yang menciptakan kata tersebut, dia berhasil mengungkapkan artinya dengan fasih dalam esainya yang berjudul “Para Pria Menjelaskan Hal-Hal Kepada Saya,” yang nantinya diterbitkan dalam koleksi esai-esai feminis. Follow-upnya Solnit merupakan koleksi esai-esai feminis ini yang berjudul The Mother of All Questions. Esai utama di koleksi ini yang pertama kali diterbitkan di Harper’s Bazaar, menantang ekspektasi bahwa semua wanita harus mempunyai anak.
Seperti yang diringkas Lauren Oyler dalam sebuah esai untuk Broadly beberapa waktu lalu, “Buku ini merupakan sebuah perjalanan melalui pembantaian, apresiasi pembebasan dan solidaritas, pengertian dan empati, dan sebuah investigasi semua istilah dan metode yang kami gunakan untuk menyelidiki hal-hal seputar persoalan perempuan.”
The Mother of All Questions meliputi berbagai macam topik, misalnya stigma terhadap peremupan tidak mempunyai anak, ras dan interseksionalitas, feminis lelaki (baik), penulis pria seksis (tidak baik), kekerasan yang dialami wanita, pemerkosaan, rape jokes, serta kampanye-kampanye hashtag seperti #notallmen dan #yesallwomen.
Artikel ini pertama kali tayang di Broadly—situs seputar isu perempuan bagian dari VICE.com