Beberapa hari lalu, aktor Joseph Gordon-Levitt menimpali cuitan soal perpisahan ambigu dalam film komedi romantis yang dia bintangi sembilan tahun lalu, 500 Days of Summer.
Cuitan tersebut, ditulis @_EmperorJustin_ bunyinya seperti ini: “Aku masih belum bisa memaafkan Zooey Deschanel atas perlakuannya terhadap Joseph Gordon-Levitt dalam film 500 Days of Summer.”
Videos by VICE
Joseph, yang memerankan sosok Tom dalam film itu, kemudian membalas, “Coba kamu tonton lagi deh.”
“Mereka putus tuh sebagian besar justru gara-gara kesalahan Tom. Dia hanya memikirkan diri sendiri. Dia tidak benar-benar mendengarkan pasangan. Dia egois. Ya, untungnya karakter Tom ini jadi berubah lebih dewasa di akhir film,” imbuh Levitt.
Obrolan di Twitter tersebut membuat kita memikirkan pertanyaan fundamental soal film komedi romantis tersebut: jadi siapa sih yang patut disalahkan?
Untuk menyegarkan ingatanmu, aktris Zooey Deschanel memerankan Summer, sementara Joseph memerankan Tom. Mereka pertama bertemu sebagai sesama copywriter sebuah perusahaan kartu ucapan. Keduanya lantas menyadari sama-sama suka hal-hal unik, dan kemudian jatuh cinta. Mereka sempat main-main di IKEA.
Seperti lazimnya orang pacaran, mereka berdua rajin berkelahi, balikan, lalu suatu hari Summer bilang hubungan mereka tak bisa diselamatkan. Summer memilih putus begitu saja dengan Tom. Itu terjadi pada hari ke-290, jadi masih ada 210 hari sisanya (sesuai judul filmnya), tapi itulah hari yang paling diingat penonton dibanding detail cerita lain. Intinya, Summer mutusin Tom sepihak, titik.
Ada penonton ataupun penggemar film ini yang yakin kalau kandasnya hubungan mereka murni kesalahan Summer. Dia putus dengan laki-laki baik hati tanpa alasan kuat, dan putusnya pas Tom lagi sayang-sayangnya. Di sisi lain, ada kubu penonton lain menyadari bahwa Tom bukan laki-laki sempurna, dan Summer berhak untuk mengakhiri hubungan mereka kalau dia merasa sudah mentok.
Orang-orang yang menyalahkan Summer cenderung lebih bersimpati kepada laki-laki ketimbang perempuan (baik dalam budaya pop maupun kehidupan sehari-hari), bahkan ketika keduanya sama-sama salah. Faktanya, dalam pakem genre komedi romantis, karakter si laki-laki sering melakukan kesalahan lebih besar ketimbang si perempuan.
Coba ingat-ingat. Dalam The Devil Wears Prada, tokoh Nate digambarkan sebagai laki-laki yang sakit hati karena diabaikan pacarnya, Andy (Anne Hathaway). Padahal, faktanya Andy membuat sejumlah pengorbanan pribadi untuk mengejar karirnya. Dia layak mendapat karir yang lebih baik karena sudah bekerja keras.
Selain itu, ada juga perdebatan seputar film komedi romantis Love Actually. Ingat, laki-laki dari The Walking Dead yang terobsesi dengan karakter Keira Knightley, yang merupakan istri sahabat karibnya. Selama pesta pernikahan, dia merekam video close-up Keira Knightley (tindakan ini kan serem ya). Setelah itu dia mengunjungi rumah mereka, menyatakan cintanya kepada Keira Knightley pakai karton-karton, saat suaminya—sahabatnya sendiri—juga ada di rumah. Di dunia nyata, mana ada cewek mau sama cowok creepy macam itu.
Tentu kalian tidak bisa melewatkan La La Land. Ryan Gosling memerankan laki-laki songong yang merasa paling ngerti jazz, yang doyan mansplain pentingnya jazz kepada karakter Emma Stone. Terus penonton diharapkan untuk bersimpati sama dia gitu?
Selalu ada dua versi cerita pada setiap perpisahan. Pastinya dialog-dialog manis dan musik sentimental mungkin membuatmu mendukung si karakter laki-laki baik hati (dan ya, biasanya penotnon cowok cenderung memihak tokoh laki-laki). Tapi, coba lihat lebih jeli di balik senyuman, rambut, dan gombalannya.
Penonton cenderung memaafkan kesilapan atau malah mendukung habis-habisan karakter cowok di genre komedi romantis. Padahal, setelah ditonton lagi, kamu akan tersadar bahwa semua laki-laki baik hati di genre film macam ini sangat mirip dengan orang kebanyakan. Mereka tidak sempurna, atau malah brengsek.
Artikel ini pertama kali tayang di i-D Magazine UK