FYI.

This story is over 5 years old.

e-KTP

Mungkinkah Pemerintah Bikin KTP yang Membuat Hidup Kita Engga Ribet Lagi?

Gara-gara kasus megakorupsi, impian e-KTP jadi kartu identitas tunggal mustahil tercapai. Kami berdiskusi bersama pakar membahas nasib penduduk Indonesia yang ribet banget harus punya kartu ini-itu.

Hidup di Indonesia itu ribet banget dengan birokrasi. Coba cek dompet kalian. Mending kalau isinya duit yang bikin tebel. Eh, yang banyak malah cuma kartu-kartu doang: mulai dari E-KTP, NPWP, SIM, kartu BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Jakarta Pintar (KJP, buat warga Jakarta), Kartu Pemilih dari KPU, dll. Bayangkan jika salah satunya saja hilang, bakal ribet dan memakan waktu tentunya. (Percayalah, semua orang yang pernah kecopetan tahu betapa nyebelinnya situasi kayak gitu).

Iklan

VICE Indonesia menemukan banyak keluhan ketika mendatangi orang-orang yang yang sedang kerepotan mengurus E-KTP.

"Sudah delapan kali saya bolak-balik ke kantor kecamatan untuk mengurus perpanjangan e-KTP," ujar Iwan, 25, dengan nada geram."Tak pernah ada hasil. Saya sampai menggebrak meja petugasnya saking kesalnya."

Iwan, seorang perwira Angkatan Udara yang bertugas di Aceh, hanya diberi sebuah formulir KTP sementara berupa kertas seukuran folio. Alasan petugas lantaran blangko e-KTP habis.

"Saya jadi bingung, di formulir KTP sementara tersebut ada masa berlakunya. Setelah saya ke kelurahan lagi untuk perpanjangan, katanya hal tersebut tidak perlu. Jadi bagaimana ini saya malah bingung?"

Hal senada diungkapkan Rina, salah seorang karyawati di Kuningan, Jakarta Selatan. Rina, yang berdomisili di Jagakarsa, terpaksa merelakan waktu produktif terbuang percuma mengurus bermacam tetek bengek di kelurahan, gara-gara E-KTP miliknya hilang September 2016.

"Saya cuma diberi resi dan disuruh menunggu sampai April tahun ini. Alasannya harus menunggu blangko dari Kementerian Dalam Negeri dulu. Kata petugas resi tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain," ungkap Rina.

Hal yang dikhawatirkan Rina, resi atau blangko berupa kertas tersebut rawan rusak atau sobek. Kalau sampai skenario buruk itu terjadi, otomatis dia bakal butuh waktu lama untuk mengurusnya lagi. Mengulang semua derita ini dari nol.

Iklan

Ribuan atau bahkan jutaan warga Indonesia mungkin bernasib sama dengan Iwan dan Rina dalam soal E-KTP. Karut marut pengadaan E-KTP—yang dimulai sejak 2011—disebabkan korupsi yang struktural dan masif. Proyek senilai lebih dari Rp 5 triliun itu menjadi bancakan para politisi dan pengusaha. Kabarnya lebih dari 50 persen dana pengadaan dan biaya distribusi E-KTP mengalir ke sejumlah politikus di DPR dan pejabat kementerian.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga orang tersangka terkait kasus tersebut, yakni mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman serta Sugiharto, selaku mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Pada sidang awal Maret lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta, mereka didakwa memperkaya diri karena menggelapkan dana setara Rp60 miliar.

Dalam gelar perkara baru-baru ini, KPK telah menetapkan satu tersangka baru, Andi Agustinus alias Andi Narogong yang bertindak sebagai penyedia barang dan jasa pada Kemendagri pada era menteri Gamawan Fauzi. Andi diduga mengalirkan sejumlah dana kepada para politisi dan anggota DPR.

***

Mengapa proyek e-KTP ini begitu sulit dilaksanakan setelah enam tahun? Apakah mewujudkan kartu identitas elektronik yang berlaku seumur hidup adalah tugas mustahil? Apakah Indonesia ini, dengan penduduk 255 juta orang, tidak bisa menerapkan sistem kartu identitas tunggal? Coba bayangkan, betapa nikmatnya hidup jika kita hanya perlu memiliki KTP, SIM, serta paspor. Udah, gitu aja deh. Ini dengan asumsi pejabat negara dan politikus engga korup lagi ya.

Iklan

"Secara teknis sebenarnya proyek e-KTP sudah 80 persen," kata Sukamdi, Pakar Bidang Kependudukan dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. "Jadi [mewujudkan kartu identitas tunggal] bukan hal mustahil."

Sukamdi mengatakan bahwa bermacam persoalan, termasuk korupsi e-KTP, tantangan utama megaproyek ini adalah proses pengadaan dan distribusi.

"Jumlah penduduk kita memang besar, dan ini memakan waktu. Apalagi untuk penduduk yang tinggal di area terpencil. Jelas membutuhkan cost yang besar," kata Sukamdi. Pemerintah pun dinilai belum siap menghadapi demografi penduduk yang terus berubah. "Misalnya tahun ini ada orang yang beranjak ke usia 17 tahun, otomatis dia butuh e-KTP. Ini juga jadi problem."

Menurut Sukamdi e-KTP adalah hak mendasar warga negara Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah. "Negara ya harus memenuhi hak itu. Tapi proses birokrasi kadang membuat malas. Masih banyak kok warga yang tidak memiliki KTP," ujarnya.

Sukamdi tak lupa mengkritik kualitas e-KTP yang ada saat ini. Kartu itu seperti guyonan. Bentuk fisiknya tidak merepresentasikan 'elektronik' sama sekali. "Coba Anda cek, di e-KTP itu kan ada chip, tapi kenapa kita masih perlu fotokopi untuk mengurus keperluan yang menyangkut fasilitas publik. Ini lucu. Harusnya selain mengadakan e-KTP pemerintah juga memfasilitasi dengan card reader," kata Sukamdi.

Birokrasi dan begitu banyaknya kartu untuk mengakses fasilitas publik yang harus dimiliki warga negara Indonesia terus menyulut wacana integrasi semua kartu menjadi kesatuan tunggal. "Di Amerika Serikat jika anda berkunjung untuk waktu lama, untuk sekolah misalnya, anda pasti langsung mendapat Social Security Number. Itu yang pertama kali diurus. Semua fasilitas publik terintegrasi dalam kartu tersebut," ujar Sukamdi.

Iklan

Atau, tidak usah jauh-jauh ke AS. Di negara-negara tetangga seperti Malaysia, sudah ada kartu MyKad yang memudahkan semua urusan masyarakat terkait sektor publik. Kartu itu bisa mewakili fungsi NPWP, zakat, rekening listrik, dan macam-macam.

Nah, kalau KTP di Indonesia begitu juga kan enak hidup kita. Sayangnya untuk impian yang satu itu, menurut pakar sangat sulit diwujudkan. Lho, tadi soal 80 persen proyek E-KTP nyaris selesai apa? Oh ternyata sekadar bisa bikin KTP berlaku seumur hidup doang.

Wahyudi Kumorotomo, Pengamat Administrasi Publik, menilai integrasi fungsi e-KTP dengan kartu-kartu penting dalam kehidupan sehari-hari penduduk yang bejibun butuh prasyarat dasar. Yakni pembenahan di pelbagai sektor. Masalah utama adalah buruknya sistem pencatatan rekam jejak pribadi seperti kelahiran, kematian, catatan kriminal, hingga kewajiban warga negara seperti pembayaran pajak.

"E-KTP harus menuju pada sistem Single Identity Number (SIN). Ini juga untuk memangkas biaya pembuatan pelbagai identitas penduduk. Jadi setiap penduduk di Indonesia memiliki hanya satu identitas diri untuk seluruh keperluannya, dari sejak lahir hingga meninggal dunia," ujar Wahyudi.

Kemendagri saat ini menandatangani MoU dengan 57 lembaga publik untuk mengintegrasikan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Fungsinya mengakomodir pelayanan publik terpadu dalam satu pintu. Tapi dari pemantauan Sukamdi, banyak kekurangan dalam MoU tersebut.

"Mengintegrasikan lembaga itu sulit karena mereka punya sistem masing-masing. Jadi implementasi masih jauh dari kata optimal," kata Sukamdi.

Oke deh. Kesimpulannya masih suram. Impian punya kartu tunggal dan sistem birokrasi yang engga ribet belum akan terwujud di Indonesia dalam waktu dekat. Satu abad lagi, mungkin?